1. Perkembangan Teori Ekonomi Pembangunan
Basu (1997) mengelompokkan teori pembangunan ekonomi yang berkembang saat ini menjadi tiga, yakni teori Harod-Domar ; Neoclassical model; dan theory of endogenous growth. Seperti namanya, teori Harod-Domar dikembangkan oleh Harod dan Domar yang pada intinya menjelaskan tentang perkembangan dinamis dari Keynesian-macroeconomics bagi perekonomian Kapitalis dengan mendasarkan pemikirannya pada pertumbuhan modal (capital) dan tenaga kerja (labor) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, teori ini disempurnakan melalui Neo-classical model yang dikembangkan oleh Solow dan Swan (1956), yang menambahkan beberapa properties, yakni terjadinya constant return to scale, adanya Law of diminishing return, dan terdapatnya Inada condition dalam perekonomian. Pada perkembangannya, teori neoclassical pun pada semakin disempurnakan dengan suatu teori yang dinamakan Endogenous Growth Theory, dengan menambahkan beberapa factor endogen ke dalam model.
Hal ini sedikit berbeda dengan Salam (2008) yang membagi teori pembangunan ekonomi menjadi lima, yakni ; teori Klasik, teori Karl Marx, teori Neo-Klasik, teori Schumpeter, dan teori Post-Keynesian.
Walaupun begitu banyak dan berbeda-bedanya teori-teori yang menyangkut pembangunan ekonomi, namun dapat disimpulkan bahwa pada intinya teori pembangunan ekonomi mencoba menjelaskan tahapan dan proses pertumbuhan perekonomian dalam rangka mendapatkan kehidupan yang lebih layak bagi manusia.
Dan didalam paper ini saya akan mencoba sedikit menjabarkan teori pembangunan ekonomi melalui pandangan Schumpeterian dalam cakupannya menjelaskan pembangunan ekonomi melalui teori Endogenous Growth. Hal ini didasarkan bahwa masih sedikitnya pembahasan menggunakan teori ini, padahal dalam prakteknya teori ini berguna dalam melihat long-run equilibrium yang dijelaskan melalui kegiatan entrepeneurship dari variabel manusia (labor) di dalam perekonomian. Walaupun teori ini juga memiliki kelemahan, yakni tidak mampu menjelaskan secara gamblang bagaimana perkembangan transisional dinamis yang terjadi dari pertumbuhan ekonomi yang ada.
2. Schumpeterian Growth Theory
Teori ini bermula dari tulisan Joseph Alois Schumpeter pada bukunya Capitalism, Socialism and Democracy (1942), yang menyatakan bahwa;
“The fundamental impulse that sets and keeps the capitalist engine in motion comes from the new consumer goods, the new methods of production, or transportation, the new forms of industrial organization that capitalist enterprise creates. In the case of retail trade the competition that matters arises not from additional shops of the same type, but from the department store, the chain store, the mail-order house and the super market, which are bound to destroy those pyramids sooner or later. Now a theoretical construction which neglects this essential elements of the case neglects all that is most typically capitalist about it; even if correct in logic as well as in fact, it is like Hamlet without the Danish prince.”
Dengan kata lain, terdapat proses historical dari perubahan structural yang ada, yang disebabkan oleh endogenous introduction dari suatu produk dan (atau) karena adanya inovasi (Dinopoulos, dan Şener, 2007). Endogenous disini merujuk pada inovasi yang dhasilkan akibat adanya aksi yang tidak dapat diduga oleh agen ekonomi (firm ataupun konsumen) yang ada, untuk memaksimumkan objective function (profit atau utilitas) mereka.
2.1 Awal Schumpeterian Growth theory
Asumsi yang digunakan pada awal Schumpeterian Growth theory mencakup;
Pertama, angkatan kerja bersifat konstan antar waktu. Dengan kata lain; gL = 0, dan L(t) = L0. Kedua, diasumsikan bahwa R&D sebagai parameter konstan, artinya bahwa X(t) = X0.
Dan dengan menggabungkan kedua asumsi ini, maka
X(t)/L(t) = X0 /L0
Sehingga;
Model diatas menyatakan bahwa Schumpeterian growth tergantung pada kebijakan yang akan mempengaruhi sumber level of R&D, karenanya, yang akan mempengaruhi
Dapat kita katakan bahwa long-run Schumpeterian growth bersifat endogenous pada model ini. Aatupun dapat dikatakan bahwa dalam teori ini terdapat scale-effects property. Maksudnya bahwa rate of technological progress yang berguna dalam melakukan inovasi, diasumsikan proporsional dengan level of R&D investment services (yang diproduksi dari standard constant-returns-to-scale production function) atau . Artinya bahwa peningkatan input terhadap R&D akan menghasilkan level of R&D investment yang sama, dengan kata lain long-run per capita growth rate akan meningkat sebesar peningkatan level of population atau long-run growth of gA.
Dan Jones (1995), melakukan beberapa ubahan dalam teori ini dengan memasukkan beberapa variabel baru. Pertama dengan menghilangkan scale-effects property sehingga teori ini lebih relevan secara empiris. Kedua, dengan menggabungkan Neoclassical dan Schumpeterian growth theories, sehingga scale-invariant dari model Schumpeterian growth akan dapat dilihat. Ketiga, dengan menghitung scale-invariant long-run endogenous growth theory akan mampu membentuk suatu kebijakan yang relevan.
2.2 Exogenous Schumpeterian-Growth Models without Scale Effects
Pada tahap ini, diasumsikan terjadi diminishing technological opportunities merujuk pada Romer (1990), Kortum (1997), dan Segerstrom (1998). Dimana level of R&D difficulties (X(t)) akan meningkat sepanjang waktu sesuai dengan level of technology A(t) yang ada. Sehingga
Dimana merupakan parameter konstan yang merperlihatkan degree of diminishing technological opportunities. Model diatas mengimplikasikan bahwa rate of growth dari X(t) bersifat proporsional dengan rate of growth of technology, atau
Dengan menggabungkan kedua persamaan diatas, maka;
Artinya bahwa growth rate of technology (dan pendapatan per capita) bersifat proporsional terhadap population growth rate (yang bersifat exogen) secara proporsional dengan dengan parameter φ. Atau dapat dikatakan bahwa saat ekonomi berada pada steady-state equilibrium dikarenakan diminishing returns to R&D efforts, individual researchers menjadi kurang produktif akibat peningkatan level of knowledge sepanjang waktu. Untuk tetap mempertahankan constant rate of innovation dan growth, diperlukan penambahan pekerja researchers. Hal ini dimungkinkan bila pertumbuhan populasi bersifat positif. Jika φ mendekati nol, maka, level of R&D difficulty akan bersifat infinity dan pertumbuhan ekonomi akan terhenti.Dan jika φ bersifat infinity, level of R&D difficulty akan menjadi satu dan bersifat time invariant. Artinya level of population meningkat secara eksponensial dan long-run Schumpeterian growth menjadi infinity juga.
2.3 Endogenous Scale-Invariant Schumpeterian-Growth Theory
Disini akan menjelaskan two-dimensional framework dari differensiasi produk secara horizontal dan vertical. Diferensiasi produk horizontal dapat dikatakan sebagai berbagai macam akumulasi dan menghilangkan scale-effects property dari model sebagaimana penggunaan exogenous Schumpeterian growth models. Diferensiasi produk vertical dapat dikatakan sebagi eningkatan kualitas dan proses inovasi dan meng-endogen-kan long-run growth.
Pendekatan ini akan menghasilkan suatu hubungan antara (agregate) R&D difficulty dan jumlah variasi yang dibuat. Hubungan linear akan tercipta antara R&D difficulty dan jumlah populasi akan menghilangkan scale-effects property dan pada nantinya akan menghasilkan variety-expansion mechanism.
Jika suatu perekkonomian terdiri dari n(t) industry yang identik secara structural menghasilkan horizontally differentiated products. Jika diasumsikan tiap output industry adalah
Dimana, z(t) merupakan industry specific output, Al(t) merupakan industry-specific level of technology dan lz adalah jumlah pekerja manufaktur yang bekerja dalam industry tersebut.
Karenanya, knowledge production function akan menjadi;
Dimana gt merupakan rate of industry-specific technological change, dan lA merupakan jumlah R&D researchers yang bekerja pada industri. Persamaan diatas juga mengindikasikan adanya perubahan teknologi dalam suatu industry yang menunjukkan adanya scale effects. Jika jumlah researcher bertambah dua kali lipat, maka doubles, growth rate of technology pun akan bertambah dua kali lipat.
Jika aggregate level of output dalam perekonomian adalah;
Dan growth rate of per capita output, y(t) = Y(t)/L(t), sehingga;
Karenanya constant steady-state growth rate (gY) mensyaratkan bahwa lA dan konstan sepanjang waktu.
Dengan kata lain, diperlukan inovasi sepanjang waktu agar tujuan pembangunan data dicapai. Lebih lanjut, inovasi yang dijelaskan disini, dapat dibagi menjadi empat dimensi (Hartmann, 2009), yakni Invention; Innovation; Diffusion; dan Imitation. Dalam analisis Schumpeter ini, tahapan Invention dan Basic Innovation hanya akan memiliki efek yang kecil, sementara Diffusion dan proses Imitation akan memiliki efek yang lebih besar dalam state of an economy.
Walaupun begitu, hal ini akan menimbulkan suatu tantangan yang dikenal dengan Rent Protection Activities (RPAs) dari para incumbent (yang bersifat monopoli). Hal ini dapat dijelaskan dengan model berikut;
Dengan kata lain, saat steady-state equilibrium, merupakan pertemuan dari supply of labor, yang didapatkan dari jumlah R&D researchers yang bekerja pada challengers dan jumlah lawyers yang dipekerjakan oleh incumbents.
Karenanya long-run growth rate of technology (dan per capita utility) tergantung secara positif pada size of innovations, dan terhadap share of labor yang berada pada R&D sektor. Dan tiap kebijakan yang akan mengubah sumberdaya dari manufaktur ke aktivitas R&D akan meningkatkan level of long-run Schumpeterian growth. Dan perubahan efektif RPA (yang dilihat dari nilai B) atau perubahan fraction of population yang didasarkan pada RPA (diperlihatkan oleh O) akan berefek pada rate of long-run growth.
3. Schumpeterian Growth Model dan Kaitannya dengan Process of Creative Destruction
Sesuai dengan generasi pertama dan kedua Schumpeterian growth models sebagai pendekatan horizontal Schumpeterian-growth theory. Waktu dan proses riset akan membentuk suatu arah baru dalam process of creative destruction.
Dan merujuk pada paper Joseph Schumpeter (1942), perkembangan ekonomi yang terjadi, pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu proses yang harmonis ataupun gradual. Tetapi sesuai perkembagannya, proses pembangunan ekonomi merupakan perubahan yang spontan dan terputus-putus (discontinuous), yang disebabkan oleh timbulnya gangguan terhadap keseimbangan yang telah ada sebelumnya. Perubahan ini mencakup inovasiyang dilakukan oleh entrepreneurship, perubahan dalam selera konsumen, dan perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Perubahan dalam selera konsumen memang ada tetapi perubahan itu bersifat gradual atau sedikit demi sedikit. Walaupun begitu, perubahan dalam fungsi produksi.
3.1 Schumpeter in 1911: The Man of Action versus The Static Person
Secara umum, Schumpeter membagi manusia menjadi dua, yakni The man of Action dan The Static Person. Hal ini dapat dijabarkan dalam tabel dibawah ini;
No. The Man of Action The Static Person
1 Dynamic Static
2 Breaks out of an equilibrium Seeks an equilibrium
3 Does what is new Repeats what has already been done
4 Active, energetic Passive, low energy
5 Leader Follower
6 Puts together new combinations Accepts existing ways of doing things
7 Feels no inner resistance to change Feels strong inner resistance to change
8 Battles resistance to his actions Feels hostility to new actions of others
9 Makes an intuitive choice among a multitude of new alternatives
Makes a rational choice among existing alternatives
10 Motivated by power and joy in creation Motivated exclusively by needs and stops when these are satisfied
11 Commands no re sources but borrows from a bank
Commands no resources and has no use for new resources
Dari tabel diatas, Schumpeter membedakan kelompok The Man of Action sebagai entrepreneur person dan The Static Person sebagai non-entrepenur person. Sebagaimana penjelasan dari tulisan sebelumnya, bahwa entrepenur person merupakan orang yang berinovasi, yang pada nantinya merupakan motor dari kenaikan hasil produksi dalam hal pembangunan ekonomi.
Artinya disini bahwa, seorang the man of Action (entrepeneurship) merpakan seorang yang selalu menambah R&D yang dimiliki nya dan bergerak maju. Keadaan ini pada jangka panjang akan bergerak meluas dan konsekuensinya, akan tercipta keseimbangan baru yang ditimbulkan dengan adanya orang-orang seperti ini, baik itu menggunakan scale-effect ataupun tidak.
Namun kenaikan hasil produksi ini tentunya melalui suatu proses, yang oleh Schumpeter dinamakan sebagai process of creative destruction, akibat semakin banyaknya entrepenur dengan semakin luasnya R&D dalam perekonomian.
Process of creative destruction ini meramalkan bahwa suatu waktu akan terjadi keruntuhan sistem kapitalis karena semakin pintarnya masyarakat (melalui proses R&D) serta hilangnya sistem monopolistik yang selama ini dikuasai oleh para kapitalis (incumbent). Hal ini didasarkan oleh;
a. Hilangnya fungsi entrepreneurship
b. Runtuhnya kerangka kehidupan masyarakat kapitalis yang bersifat monopolis
c. Runtuhnya golongan-golongan politikus
3.2 Hilangnya Fungsi Entrepeneurship
Dengan semakin majunya teknologi dan perkembangan R&D yang semakin meluas dan bersifat big-scale effect maupun tanpa efek , akan menimbulkan R&D difficulties yang semakin tinggi, sehingga terjadi diminishing return of R&D. Hal ini diakibatkan dengan makin tingginya R&D difficulties, maka fungsi entrepreneurship akan makin berkurang dalam kaitannya sebagai motor dari pembangunan ekonomi melalui inovasi yang mereka dilakukan.
3.3 Runtuhnya Kerangka Kehidupan Masyarakat Kapitalis Yang Bersifat Monopolis
Dengan makin majunya R&D suatu masyarakat, maka kekuatan ekonomi akan mulai berpindah dari pemilik modal kepada masyarakat umum. Kegiatan ini didasarkan dengan kemampuan masing-masing individu yang makin baik. Sehingga kepemilikan kapitalis yang bersifat monopolis akan habis dengan munculnya entrepenuer yang makin berinovasi dan makin menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada (saling memaksimumkan profit dan utitas).
3.4 Runtuhnya Golongan Politikus
Pada awalnya golongan politikus merupakan incumbent yang membantu tumbuhnya sistem industri dan perdagangan. Kekuatan politis ini akan sangat menguntungkan karena mereka dapat membuat dan menjalankan aturan-aturan yang akan menguntungkan mereka. Dan seiring waktu, para entrepeneur akan mulai merambah ranah politik, kaitanya untu memaksimumkan profitnya. Namun dalam jangka panjang, entrepreneur yang terjun ke dunia politik ini akan semakin tidak berarti karena kemajuan R&D dari masyarakat sehingga aturan yang ada akan semakin baik dan manfaat yang dapat diambil sebagai politisi akan makin berkurang.
4. Indonesia dan Kaitannya dengan Schumpeter Growth Theory
4.1 Entrepeneurship dan Kondisi R&D di Indonesia
Secara umum pembangunan ekonomi yang dijelaskan dalam Schumpeterian theory menjelaskan tentang perlunya R&D dan entrepeneurship dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian Fauzi Aziz mengatakan, jumlah “entrepreneur” (wirausaha) di Indonesia baru sekitar 0,18 persen dari seluruh jumlah penduduk (matanews.com, 2009). Ini masih jauh dibawah Cina, yang mencapai 4% dari penduduknya; bahkan lebih kecil dari Singapura yang mencapai angka 7% dari total penduduknya.
Dengan makin menggeliatnya ekonomi Asia, terutama didorong oleh Cina, India, dan Indonesia sebagai negara-negara yang menjadi pusat ekonomi dunia, ditambah dengan tersendatnya ekonomi Eropa dan Amerika akibat krisis keuangan yang terjadi; maka hal ini dapat mendorong tumbuhnya entrepreneur baru di Indonesia sendiri. Dan dengan berlimpahnya sumber daya alam dan manusia (populasi) yang besar, ini merupakan keuntungan tersendiri bagi manusia-manusia yang bisa menjadikan dirinya sebagai The Man in Action (entrepeneurship).
Walaupun begitu, perlu disadari bahwa masih terdapat banyak tantangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui jalur riset dan development (dan entrepeneurship) yang disarankan oleh Schumpeterian theory. Dari data yang dikeluarkan UNDP (per-oktober 2009), mencatat Human development Index yang Indonesia masih berada pada kelas negara-negara Medium human development (developing economies), atau berada di urutan ke-111 dari 182 negara. Ini masih jauh di bawah Malaysia yang berada di urutan ke 66, apalagi dengan Singapura yang berada di urutan ke-23.
Data lainnya juga menyebutkan bahwa pada tahun 2004, jurnal penelitian ilmiah yang mampu dihasilkan pada researcher di Indonesia baru mencapai 522 paper ilmiah, yang hanya sedikit lebih baik dari Vietnam yang mencapai 453 paper. Jumlah paper ilmiah Indonesia, hanya 1/3 dari jumlah paper yang dihasilkan Malaysia yang mencapai jumlah 1438. Kondisi ini setidaknya bisa merefleksikan bagaimana kondisi penelitian di Indonesia jika dibandingkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia. Adalah realitas bahwa negara kita masih sangat lemah dari sisi pengembangan IPTEK bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara di tetangga.
Karenanya , Yulianto (2008) menyarankan beberapa hal dalm pengembangan IPTEK di Indonesia;
Pertama, menghidupkan pertemuan ilmiah. Hal ini selain dapat merangsang semangat meneliti, pertemuan ilmiah oleh komunitas ilmu tertentu akan dapat membantu mahasiswa dan peneliti mengetahui perkembangan terbaru dari riset di bidangnya. Selain itu pertemuan ilmiah yang juga menjadi ajang yang sangat penting untuk terbangunnya kerja sama antar laboratorium.
Kedua, mendorong terjadinya sinergi antar laboratorium. Adalah hal yang kita ketahui bersama bahwa pendanaan merupakan kendala terbesar bagi kemajuan riset di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan tersebut, selayaknya dilakukan kerjasama dari dua atau bahkan beberapa laboratorium untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kerja sama antar laboratoirum juga akan mampu menekan penelitian yang berulang yang sebenarnya telah dilakukan sebelumnya.
Ketiga, dengan mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Jurnal ilmiah ini juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan.
Keempat, membuat prioritas penelitian. Hal ini bukan berarti untuk melupakan bidang lainnya, namun hal ini sebagai awal dalam penciptaan sebuah trade mark tersendiri sebagai dasar kompetensi bangsa Indonesia. Terdapat beberapa negara yang juga melakukan ini, seperti Singapura yang berfokus pada bidang Bioteknologi, serta Kuba dan India yang juga berfokus pada bidang Bioteknologi dan IT-nya.
Pembangunan sektor R&D dan entrepreneurship di Indonesia diharapkan dapat menggeser steady-state equilibrium ekonomi Indonesia menjadi lebih baik . Hal ini tentunya juga sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tercakup dalam pembukaan UUD’1945, yakni mensejahterakan kehidupan bangsa melalui peningkatan kecerdasan masyarakat umum.
4.2 Peran Pemerintah sebagai Fasilitator
DRI (Department R&D Institution) di beberapa departemen dapat dilihat dari tabel dibawah ini;
No. Departemen Jumlah DRI
1 Pertanian 31
2 Komunikasi 4
3 Energy dan Sumber Daya Mineral 4
4 Kehutanan 19
5 Industry dan Perdagangan 27
6 kesehatan 14
7 Kelautan dan Perikanan 15
Sumber; Dari berbagai sumber
Dari data APBN di Indonesia, dapat dilihat data pembelanjaan negara menurut fungsinya sebagai Litbang dari tiap bidang, yang dapat dilihat pada tabel berikut (dalam milyar rupiah);
Alokasi yang diberikan pada sector R&D masih kecil. Walaupun pendidikan sebagai dasar bagi pembangunan melalui sector R&D dalam hubungannya membentuk para entrepreneur dalam perekonomian telah mencapai angka 20% dari share belanja di APBN. Namun jumlah ini masih belum murni dalam mengembangkan sektor IPTEK (R&D) di Indonesia tapi juga mesti dibagi pula dengan belanja pegawai yang share-nya bahkan lebih besar.
Kita ketahui bahwa walaupun dalam Schumpeterian, R&D hanya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara long-run, namun bukan berarti hal ini patut diabaikan. Karena secara factor sejarah, malah pembangunan manusia merpakan factor yang sangat penting dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini tidak hanya tercermin dari Schumpeterian Growth Model, juga secara tersirat dapat dilihat pada Solow Growth Theory, Learning By-Doing Theory maupun Endogenous Growth Theory lainnya yang memasukkan factor sumberdaya manusia yang ber-IPTEK akan mampu mem-boost perekonomian menjadi lebih baik, dan dapat mengurangi ketertinggalan dari negara-negara maju dengan lebih cepat.
Disamping beberapa kekurangan yang masih dirasakan dalam mendorong sector R&D serta entrepreneurship kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, tentunya juga terdapat beberapa pencapaian keberhasilan yang didorong oleh sektor pemerintah dalam menciptakan entrepreneur-entrepeneur baru. Pertama, mulai adanya kesadaran dari pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dalam membangun sistem pendidikan dan kesehatan bagi masyarakatnya dengan lebih baik. Bahkan di beberapa daerah kita mendengar adanya sistem pendidikan dan kesehatan gratis. Kedua, mulai bermunculannya kota-kota yang data disebut sebagai puat pertumbuhan industry kreatif Indonesia sebut saja Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta. Munculnya daerah-daerah pusat industry kreatif ini akan dapat menjadikan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut lebih baik dan cepat. Disamping semakin bervariasinya tenaga kerja dan semakin spesifik nya pekerjaan yang pada nantinya akan membawa efisiensi dalam menghasilkan produk yang lebih baik.
4.3 Process of Creative Destruction Di Indonesia
Walaupun secara gamblang, belum ada paper yang menjelaskan terjadinya proses creative destruction di Indonesia. Namun disini saya akan mencoba memperlihatkan beberapa contoh dari proses creative destruction yang terjadi di Indonesia sebagai suatu proses transformasi historical karena adanya proses peningkatan R&D dan muculnya entrepreneur di Indonesia.
Pertama, dipicu dengan mulai berkembangnya serikat-serikat dagang yang oleh para pedagang di islam di dalam melawan nominasi dan monopoli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, ini dirintis dengan munculnya Serikat Islam pada 1911. Hal ini-pun memicu kesadaran bagi terjadinya sumpah pemuda pada 1928. Tak dapat dipungkiri bahwa semakin berkembangnya rasa-cipta-dan karsa bangsa Indonesia (dalam proses R&D) ini merupakan hasil dari suatu proses pendidikan akibat adanya sistem balas budi yang dilakukan kolonial-Belanda yang dimulai pada akhir abad ke-19. Sehingga pada gilirannya menciptakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia pada 17 agustus 1945 sebagai tonggak pembangunan ekonomi bagi Indonesia seutuhnya.
Contoh kedua, process of creative destruction dapat dilihat pada proses reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Hal ini dimulai dengan krisis keuangan yang terjadi di Indonesia akibat ulah spekulan (entrepenuer nakal), yang merusak sistem ekonomi Indonesia. Dan secara berangsur-angsur berkembang ke berbagai bidang kehidupan lainnya yang menyebabkan tumbangnya kekuasaan dominan (bersifat monopolistic) yang direpresentasikan dengan turunnya Soeharto (yang telah berkuasa selama 32 tahun). Dan sadar ataupun tidak, bahwa reformasi ini merupakan suatu akumulasi dari perkembangan R&D dan entrepenurship dari masyarakat Indonesia yang telah mulai cerdas dan mulai “sulit diatur” dalam kaitannya merespon berbagai kebijakan yang dilakukan oleh incumbent.
Sebagai penutup, proses penggenjotan sector R&D dan pembentukan sisi entreprenurship merupakan suatu cara dalam mencapai pertumbuhan ekonomi sehingga pembangunan yang ingin dicapai dapat dicapai dengan lebih cepat. Namun patut dicatat bahwa hal ini membutuhkan waktu yang lama. Walaupun begitu, hendaknya process of creative destruction disini diartikan sebagai pembangunan ekonomi yang bersifat positif yang pada nantinya akan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
(Fikri.C.Permana)
Dibuat sebagai pengganti UTS-Eko.Pembangunan PPIE-UI
Basu (1997) mengelompokkan teori pembangunan ekonomi yang berkembang saat ini menjadi tiga, yakni teori Harod-Domar ; Neoclassical model; dan theory of endogenous growth. Seperti namanya, teori Harod-Domar dikembangkan oleh Harod dan Domar yang pada intinya menjelaskan tentang perkembangan dinamis dari Keynesian-macroeconomics bagi perekonomian Kapitalis dengan mendasarkan pemikirannya pada pertumbuhan modal (capital) dan tenaga kerja (labor) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, teori ini disempurnakan melalui Neo-classical model yang dikembangkan oleh Solow dan Swan (1956), yang menambahkan beberapa properties, yakni terjadinya constant return to scale, adanya Law of diminishing return, dan terdapatnya Inada condition dalam perekonomian. Pada perkembangannya, teori neoclassical pun pada semakin disempurnakan dengan suatu teori yang dinamakan Endogenous Growth Theory, dengan menambahkan beberapa factor endogen ke dalam model.
Hal ini sedikit berbeda dengan Salam (2008) yang membagi teori pembangunan ekonomi menjadi lima, yakni ; teori Klasik, teori Karl Marx, teori Neo-Klasik, teori Schumpeter, dan teori Post-Keynesian.
Walaupun begitu banyak dan berbeda-bedanya teori-teori yang menyangkut pembangunan ekonomi, namun dapat disimpulkan bahwa pada intinya teori pembangunan ekonomi mencoba menjelaskan tahapan dan proses pertumbuhan perekonomian dalam rangka mendapatkan kehidupan yang lebih layak bagi manusia.
Dan didalam paper ini saya akan mencoba sedikit menjabarkan teori pembangunan ekonomi melalui pandangan Schumpeterian dalam cakupannya menjelaskan pembangunan ekonomi melalui teori Endogenous Growth. Hal ini didasarkan bahwa masih sedikitnya pembahasan menggunakan teori ini, padahal dalam prakteknya teori ini berguna dalam melihat long-run equilibrium yang dijelaskan melalui kegiatan entrepeneurship dari variabel manusia (labor) di dalam perekonomian. Walaupun teori ini juga memiliki kelemahan, yakni tidak mampu menjelaskan secara gamblang bagaimana perkembangan transisional dinamis yang terjadi dari pertumbuhan ekonomi yang ada.
2. Schumpeterian Growth Theory
Teori ini bermula dari tulisan Joseph Alois Schumpeter pada bukunya Capitalism, Socialism and Democracy (1942), yang menyatakan bahwa;
“The fundamental impulse that sets and keeps the capitalist engine in motion comes from the new consumer goods, the new methods of production, or transportation, the new forms of industrial organization that capitalist enterprise creates. In the case of retail trade the competition that matters arises not from additional shops of the same type, but from the department store, the chain store, the mail-order house and the super market, which are bound to destroy those pyramids sooner or later. Now a theoretical construction which neglects this essential elements of the case neglects all that is most typically capitalist about it; even if correct in logic as well as in fact, it is like Hamlet without the Danish prince.”
Dengan kata lain, terdapat proses historical dari perubahan structural yang ada, yang disebabkan oleh endogenous introduction dari suatu produk dan (atau) karena adanya inovasi (Dinopoulos, dan Şener, 2007). Endogenous disini merujuk pada inovasi yang dhasilkan akibat adanya aksi yang tidak dapat diduga oleh agen ekonomi (firm ataupun konsumen) yang ada, untuk memaksimumkan objective function (profit atau utilitas) mereka.
2.1 Awal Schumpeterian Growth theory
Asumsi yang digunakan pada awal Schumpeterian Growth theory mencakup;
Pertama, angkatan kerja bersifat konstan antar waktu. Dengan kata lain; gL = 0, dan L(t) = L0. Kedua, diasumsikan bahwa R&D sebagai parameter konstan, artinya bahwa X(t) = X0.
Dan dengan menggabungkan kedua asumsi ini, maka
X(t)/L(t) = X0 /L0
Sehingga;
Model diatas menyatakan bahwa Schumpeterian growth tergantung pada kebijakan yang akan mempengaruhi sumber level of R&D, karenanya, yang akan mempengaruhi
Dapat kita katakan bahwa long-run Schumpeterian growth bersifat endogenous pada model ini. Aatupun dapat dikatakan bahwa dalam teori ini terdapat scale-effects property. Maksudnya bahwa rate of technological progress yang berguna dalam melakukan inovasi, diasumsikan proporsional dengan level of R&D investment services (yang diproduksi dari standard constant-returns-to-scale production function) atau . Artinya bahwa peningkatan input terhadap R&D akan menghasilkan level of R&D investment yang sama, dengan kata lain long-run per capita growth rate akan meningkat sebesar peningkatan level of population atau long-run growth of gA.
Dan Jones (1995), melakukan beberapa ubahan dalam teori ini dengan memasukkan beberapa variabel baru. Pertama dengan menghilangkan scale-effects property sehingga teori ini lebih relevan secara empiris. Kedua, dengan menggabungkan Neoclassical dan Schumpeterian growth theories, sehingga scale-invariant dari model Schumpeterian growth akan dapat dilihat. Ketiga, dengan menghitung scale-invariant long-run endogenous growth theory akan mampu membentuk suatu kebijakan yang relevan.
2.2 Exogenous Schumpeterian-Growth Models without Scale Effects
Pada tahap ini, diasumsikan terjadi diminishing technological opportunities merujuk pada Romer (1990), Kortum (1997), dan Segerstrom (1998). Dimana level of R&D difficulties (X(t)) akan meningkat sepanjang waktu sesuai dengan level of technology A(t) yang ada. Sehingga
Dimana merupakan parameter konstan yang merperlihatkan degree of diminishing technological opportunities. Model diatas mengimplikasikan bahwa rate of growth dari X(t) bersifat proporsional dengan rate of growth of technology, atau
Dengan menggabungkan kedua persamaan diatas, maka;
Artinya bahwa growth rate of technology (dan pendapatan per capita) bersifat proporsional terhadap population growth rate (yang bersifat exogen) secara proporsional dengan dengan parameter φ. Atau dapat dikatakan bahwa saat ekonomi berada pada steady-state equilibrium dikarenakan diminishing returns to R&D efforts, individual researchers menjadi kurang produktif akibat peningkatan level of knowledge sepanjang waktu. Untuk tetap mempertahankan constant rate of innovation dan growth, diperlukan penambahan pekerja researchers. Hal ini dimungkinkan bila pertumbuhan populasi bersifat positif. Jika φ mendekati nol, maka, level of R&D difficulty akan bersifat infinity dan pertumbuhan ekonomi akan terhenti.Dan jika φ bersifat infinity, level of R&D difficulty akan menjadi satu dan bersifat time invariant. Artinya level of population meningkat secara eksponensial dan long-run Schumpeterian growth menjadi infinity juga.
2.3 Endogenous Scale-Invariant Schumpeterian-Growth Theory
Disini akan menjelaskan two-dimensional framework dari differensiasi produk secara horizontal dan vertical. Diferensiasi produk horizontal dapat dikatakan sebagai berbagai macam akumulasi dan menghilangkan scale-effects property dari model sebagaimana penggunaan exogenous Schumpeterian growth models. Diferensiasi produk vertical dapat dikatakan sebagi eningkatan kualitas dan proses inovasi dan meng-endogen-kan long-run growth.
Pendekatan ini akan menghasilkan suatu hubungan antara (agregate) R&D difficulty dan jumlah variasi yang dibuat. Hubungan linear akan tercipta antara R&D difficulty dan jumlah populasi akan menghilangkan scale-effects property dan pada nantinya akan menghasilkan variety-expansion mechanism.
Jika suatu perekkonomian terdiri dari n(t) industry yang identik secara structural menghasilkan horizontally differentiated products. Jika diasumsikan tiap output industry adalah
Dimana, z(t) merupakan industry specific output, Al(t) merupakan industry-specific level of technology dan lz adalah jumlah pekerja manufaktur yang bekerja dalam industry tersebut.
Karenanya, knowledge production function akan menjadi;
Dimana gt merupakan rate of industry-specific technological change, dan lA merupakan jumlah R&D researchers yang bekerja pada industri. Persamaan diatas juga mengindikasikan adanya perubahan teknologi dalam suatu industry yang menunjukkan adanya scale effects. Jika jumlah researcher bertambah dua kali lipat, maka doubles, growth rate of technology pun akan bertambah dua kali lipat.
Jika aggregate level of output dalam perekonomian adalah;
Dan growth rate of per capita output, y(t) = Y(t)/L(t), sehingga;
Karenanya constant steady-state growth rate (gY) mensyaratkan bahwa lA dan konstan sepanjang waktu.
Dengan kata lain, diperlukan inovasi sepanjang waktu agar tujuan pembangunan data dicapai. Lebih lanjut, inovasi yang dijelaskan disini, dapat dibagi menjadi empat dimensi (Hartmann, 2009), yakni Invention; Innovation; Diffusion; dan Imitation. Dalam analisis Schumpeter ini, tahapan Invention dan Basic Innovation hanya akan memiliki efek yang kecil, sementara Diffusion dan proses Imitation akan memiliki efek yang lebih besar dalam state of an economy.
Walaupun begitu, hal ini akan menimbulkan suatu tantangan yang dikenal dengan Rent Protection Activities (RPAs) dari para incumbent (yang bersifat monopoli). Hal ini dapat dijelaskan dengan model berikut;
Dengan kata lain, saat steady-state equilibrium, merupakan pertemuan dari supply of labor, yang didapatkan dari jumlah R&D researchers yang bekerja pada challengers dan jumlah lawyers yang dipekerjakan oleh incumbents.
Karenanya long-run growth rate of technology (dan per capita utility) tergantung secara positif pada size of innovations, dan terhadap share of labor yang berada pada R&D sektor. Dan tiap kebijakan yang akan mengubah sumberdaya dari manufaktur ke aktivitas R&D akan meningkatkan level of long-run Schumpeterian growth. Dan perubahan efektif RPA (yang dilihat dari nilai B) atau perubahan fraction of population yang didasarkan pada RPA (diperlihatkan oleh O) akan berefek pada rate of long-run growth.
3. Schumpeterian Growth Model dan Kaitannya dengan Process of Creative Destruction
Sesuai dengan generasi pertama dan kedua Schumpeterian growth models sebagai pendekatan horizontal Schumpeterian-growth theory. Waktu dan proses riset akan membentuk suatu arah baru dalam process of creative destruction.
Dan merujuk pada paper Joseph Schumpeter (1942), perkembangan ekonomi yang terjadi, pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu proses yang harmonis ataupun gradual. Tetapi sesuai perkembagannya, proses pembangunan ekonomi merupakan perubahan yang spontan dan terputus-putus (discontinuous), yang disebabkan oleh timbulnya gangguan terhadap keseimbangan yang telah ada sebelumnya. Perubahan ini mencakup inovasiyang dilakukan oleh entrepreneurship, perubahan dalam selera konsumen, dan perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Perubahan dalam selera konsumen memang ada tetapi perubahan itu bersifat gradual atau sedikit demi sedikit. Walaupun begitu, perubahan dalam fungsi produksi.
3.1 Schumpeter in 1911: The Man of Action versus The Static Person
Secara umum, Schumpeter membagi manusia menjadi dua, yakni The man of Action dan The Static Person. Hal ini dapat dijabarkan dalam tabel dibawah ini;
No. The Man of Action The Static Person
1 Dynamic Static
2 Breaks out of an equilibrium Seeks an equilibrium
3 Does what is new Repeats what has already been done
4 Active, energetic Passive, low energy
5 Leader Follower
6 Puts together new combinations Accepts existing ways of doing things
7 Feels no inner resistance to change Feels strong inner resistance to change
8 Battles resistance to his actions Feels hostility to new actions of others
9 Makes an intuitive choice among a multitude of new alternatives
Makes a rational choice among existing alternatives
10 Motivated by power and joy in creation Motivated exclusively by needs and stops when these are satisfied
11 Commands no re sources but borrows from a bank
Commands no resources and has no use for new resources
Dari tabel diatas, Schumpeter membedakan kelompok The Man of Action sebagai entrepreneur person dan The Static Person sebagai non-entrepenur person. Sebagaimana penjelasan dari tulisan sebelumnya, bahwa entrepenur person merupakan orang yang berinovasi, yang pada nantinya merupakan motor dari kenaikan hasil produksi dalam hal pembangunan ekonomi.
Artinya disini bahwa, seorang the man of Action (entrepeneurship) merpakan seorang yang selalu menambah R&D yang dimiliki nya dan bergerak maju. Keadaan ini pada jangka panjang akan bergerak meluas dan konsekuensinya, akan tercipta keseimbangan baru yang ditimbulkan dengan adanya orang-orang seperti ini, baik itu menggunakan scale-effect ataupun tidak.
Namun kenaikan hasil produksi ini tentunya melalui suatu proses, yang oleh Schumpeter dinamakan sebagai process of creative destruction, akibat semakin banyaknya entrepenur dengan semakin luasnya R&D dalam perekonomian.
Process of creative destruction ini meramalkan bahwa suatu waktu akan terjadi keruntuhan sistem kapitalis karena semakin pintarnya masyarakat (melalui proses R&D) serta hilangnya sistem monopolistik yang selama ini dikuasai oleh para kapitalis (incumbent). Hal ini didasarkan oleh;
a. Hilangnya fungsi entrepreneurship
b. Runtuhnya kerangka kehidupan masyarakat kapitalis yang bersifat monopolis
c. Runtuhnya golongan-golongan politikus
3.2 Hilangnya Fungsi Entrepeneurship
Dengan semakin majunya teknologi dan perkembangan R&D yang semakin meluas dan bersifat big-scale effect maupun tanpa efek , akan menimbulkan R&D difficulties yang semakin tinggi, sehingga terjadi diminishing return of R&D. Hal ini diakibatkan dengan makin tingginya R&D difficulties, maka fungsi entrepreneurship akan makin berkurang dalam kaitannya sebagai motor dari pembangunan ekonomi melalui inovasi yang mereka dilakukan.
3.3 Runtuhnya Kerangka Kehidupan Masyarakat Kapitalis Yang Bersifat Monopolis
Dengan makin majunya R&D suatu masyarakat, maka kekuatan ekonomi akan mulai berpindah dari pemilik modal kepada masyarakat umum. Kegiatan ini didasarkan dengan kemampuan masing-masing individu yang makin baik. Sehingga kepemilikan kapitalis yang bersifat monopolis akan habis dengan munculnya entrepenuer yang makin berinovasi dan makin menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada (saling memaksimumkan profit dan utitas).
3.4 Runtuhnya Golongan Politikus
Pada awalnya golongan politikus merupakan incumbent yang membantu tumbuhnya sistem industri dan perdagangan. Kekuatan politis ini akan sangat menguntungkan karena mereka dapat membuat dan menjalankan aturan-aturan yang akan menguntungkan mereka. Dan seiring waktu, para entrepeneur akan mulai merambah ranah politik, kaitanya untu memaksimumkan profitnya. Namun dalam jangka panjang, entrepreneur yang terjun ke dunia politik ini akan semakin tidak berarti karena kemajuan R&D dari masyarakat sehingga aturan yang ada akan semakin baik dan manfaat yang dapat diambil sebagai politisi akan makin berkurang.
4. Indonesia dan Kaitannya dengan Schumpeter Growth Theory
4.1 Entrepeneurship dan Kondisi R&D di Indonesia
Secara umum pembangunan ekonomi yang dijelaskan dalam Schumpeterian theory menjelaskan tentang perlunya R&D dan entrepeneurship dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian Fauzi Aziz mengatakan, jumlah “entrepreneur” (wirausaha) di Indonesia baru sekitar 0,18 persen dari seluruh jumlah penduduk (matanews.com, 2009). Ini masih jauh dibawah Cina, yang mencapai 4% dari penduduknya; bahkan lebih kecil dari Singapura yang mencapai angka 7% dari total penduduknya.
Dengan makin menggeliatnya ekonomi Asia, terutama didorong oleh Cina, India, dan Indonesia sebagai negara-negara yang menjadi pusat ekonomi dunia, ditambah dengan tersendatnya ekonomi Eropa dan Amerika akibat krisis keuangan yang terjadi; maka hal ini dapat mendorong tumbuhnya entrepreneur baru di Indonesia sendiri. Dan dengan berlimpahnya sumber daya alam dan manusia (populasi) yang besar, ini merupakan keuntungan tersendiri bagi manusia-manusia yang bisa menjadikan dirinya sebagai The Man in Action (entrepeneurship).
Walaupun begitu, perlu disadari bahwa masih terdapat banyak tantangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui jalur riset dan development (dan entrepeneurship) yang disarankan oleh Schumpeterian theory. Dari data yang dikeluarkan UNDP (per-oktober 2009), mencatat Human development Index yang Indonesia masih berada pada kelas negara-negara Medium human development (developing economies), atau berada di urutan ke-111 dari 182 negara. Ini masih jauh di bawah Malaysia yang berada di urutan ke 66, apalagi dengan Singapura yang berada di urutan ke-23.
Data lainnya juga menyebutkan bahwa pada tahun 2004, jurnal penelitian ilmiah yang mampu dihasilkan pada researcher di Indonesia baru mencapai 522 paper ilmiah, yang hanya sedikit lebih baik dari Vietnam yang mencapai 453 paper. Jumlah paper ilmiah Indonesia, hanya 1/3 dari jumlah paper yang dihasilkan Malaysia yang mencapai jumlah 1438. Kondisi ini setidaknya bisa merefleksikan bagaimana kondisi penelitian di Indonesia jika dibandingkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia. Adalah realitas bahwa negara kita masih sangat lemah dari sisi pengembangan IPTEK bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara di tetangga.
Karenanya , Yulianto (2008) menyarankan beberapa hal dalm pengembangan IPTEK di Indonesia;
Pertama, menghidupkan pertemuan ilmiah. Hal ini selain dapat merangsang semangat meneliti, pertemuan ilmiah oleh komunitas ilmu tertentu akan dapat membantu mahasiswa dan peneliti mengetahui perkembangan terbaru dari riset di bidangnya. Selain itu pertemuan ilmiah yang juga menjadi ajang yang sangat penting untuk terbangunnya kerja sama antar laboratorium.
Kedua, mendorong terjadinya sinergi antar laboratorium. Adalah hal yang kita ketahui bersama bahwa pendanaan merupakan kendala terbesar bagi kemajuan riset di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan tersebut, selayaknya dilakukan kerjasama dari dua atau bahkan beberapa laboratorium untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kerja sama antar laboratoirum juga akan mampu menekan penelitian yang berulang yang sebenarnya telah dilakukan sebelumnya.
Ketiga, dengan mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Jurnal ilmiah ini juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan.
Keempat, membuat prioritas penelitian. Hal ini bukan berarti untuk melupakan bidang lainnya, namun hal ini sebagai awal dalam penciptaan sebuah trade mark tersendiri sebagai dasar kompetensi bangsa Indonesia. Terdapat beberapa negara yang juga melakukan ini, seperti Singapura yang berfokus pada bidang Bioteknologi, serta Kuba dan India yang juga berfokus pada bidang Bioteknologi dan IT-nya.
Pembangunan sektor R&D dan entrepreneurship di Indonesia diharapkan dapat menggeser steady-state equilibrium ekonomi Indonesia menjadi lebih baik . Hal ini tentunya juga sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tercakup dalam pembukaan UUD’1945, yakni mensejahterakan kehidupan bangsa melalui peningkatan kecerdasan masyarakat umum.
4.2 Peran Pemerintah sebagai Fasilitator
DRI (Department R&D Institution) di beberapa departemen dapat dilihat dari tabel dibawah ini;
No. Departemen Jumlah DRI
1 Pertanian 31
2 Komunikasi 4
3 Energy dan Sumber Daya Mineral 4
4 Kehutanan 19
5 Industry dan Perdagangan 27
6 kesehatan 14
7 Kelautan dan Perikanan 15
Sumber; Dari berbagai sumber
Dari data APBN di Indonesia, dapat dilihat data pembelanjaan negara menurut fungsinya sebagai Litbang dari tiap bidang, yang dapat dilihat pada tabel berikut (dalam milyar rupiah);
Alokasi yang diberikan pada sector R&D masih kecil. Walaupun pendidikan sebagai dasar bagi pembangunan melalui sector R&D dalam hubungannya membentuk para entrepreneur dalam perekonomian telah mencapai angka 20% dari share belanja di APBN. Namun jumlah ini masih belum murni dalam mengembangkan sektor IPTEK (R&D) di Indonesia tapi juga mesti dibagi pula dengan belanja pegawai yang share-nya bahkan lebih besar.
Kita ketahui bahwa walaupun dalam Schumpeterian, R&D hanya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara long-run, namun bukan berarti hal ini patut diabaikan. Karena secara factor sejarah, malah pembangunan manusia merpakan factor yang sangat penting dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini tidak hanya tercermin dari Schumpeterian Growth Model, juga secara tersirat dapat dilihat pada Solow Growth Theory, Learning By-Doing Theory maupun Endogenous Growth Theory lainnya yang memasukkan factor sumberdaya manusia yang ber-IPTEK akan mampu mem-boost perekonomian menjadi lebih baik, dan dapat mengurangi ketertinggalan dari negara-negara maju dengan lebih cepat.
Disamping beberapa kekurangan yang masih dirasakan dalam mendorong sector R&D serta entrepreneurship kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, tentunya juga terdapat beberapa pencapaian keberhasilan yang didorong oleh sektor pemerintah dalam menciptakan entrepreneur-entrepeneur baru. Pertama, mulai adanya kesadaran dari pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dalam membangun sistem pendidikan dan kesehatan bagi masyarakatnya dengan lebih baik. Bahkan di beberapa daerah kita mendengar adanya sistem pendidikan dan kesehatan gratis. Kedua, mulai bermunculannya kota-kota yang data disebut sebagai puat pertumbuhan industry kreatif Indonesia sebut saja Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta. Munculnya daerah-daerah pusat industry kreatif ini akan dapat menjadikan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut lebih baik dan cepat. Disamping semakin bervariasinya tenaga kerja dan semakin spesifik nya pekerjaan yang pada nantinya akan membawa efisiensi dalam menghasilkan produk yang lebih baik.
4.3 Process of Creative Destruction Di Indonesia
Walaupun secara gamblang, belum ada paper yang menjelaskan terjadinya proses creative destruction di Indonesia. Namun disini saya akan mencoba memperlihatkan beberapa contoh dari proses creative destruction yang terjadi di Indonesia sebagai suatu proses transformasi historical karena adanya proses peningkatan R&D dan muculnya entrepreneur di Indonesia.
Pertama, dipicu dengan mulai berkembangnya serikat-serikat dagang yang oleh para pedagang di islam di dalam melawan nominasi dan monopoli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, ini dirintis dengan munculnya Serikat Islam pada 1911. Hal ini-pun memicu kesadaran bagi terjadinya sumpah pemuda pada 1928. Tak dapat dipungkiri bahwa semakin berkembangnya rasa-cipta-dan karsa bangsa Indonesia (dalam proses R&D) ini merupakan hasil dari suatu proses pendidikan akibat adanya sistem balas budi yang dilakukan kolonial-Belanda yang dimulai pada akhir abad ke-19. Sehingga pada gilirannya menciptakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia pada 17 agustus 1945 sebagai tonggak pembangunan ekonomi bagi Indonesia seutuhnya.
Contoh kedua, process of creative destruction dapat dilihat pada proses reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Hal ini dimulai dengan krisis keuangan yang terjadi di Indonesia akibat ulah spekulan (entrepenuer nakal), yang merusak sistem ekonomi Indonesia. Dan secara berangsur-angsur berkembang ke berbagai bidang kehidupan lainnya yang menyebabkan tumbangnya kekuasaan dominan (bersifat monopolistic) yang direpresentasikan dengan turunnya Soeharto (yang telah berkuasa selama 32 tahun). Dan sadar ataupun tidak, bahwa reformasi ini merupakan suatu akumulasi dari perkembangan R&D dan entrepenurship dari masyarakat Indonesia yang telah mulai cerdas dan mulai “sulit diatur” dalam kaitannya merespon berbagai kebijakan yang dilakukan oleh incumbent.
Sebagai penutup, proses penggenjotan sector R&D dan pembentukan sisi entreprenurship merupakan suatu cara dalam mencapai pertumbuhan ekonomi sehingga pembangunan yang ingin dicapai dapat dicapai dengan lebih cepat. Namun patut dicatat bahwa hal ini membutuhkan waktu yang lama. Walaupun begitu, hendaknya process of creative destruction disini diartikan sebagai pembangunan ekonomi yang bersifat positif yang pada nantinya akan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
(Fikri.C.Permana)
Dibuat sebagai pengganti UTS-Eko.Pembangunan PPIE-UI
Comments