1 Potential of Science-Based Agriculture
Dalam 50 tahun terakhir, populasi dunia meningkat sekitar 2,5 kali lipat, sementara tanah pertanian hanya meningkat kurang dari 30 persen. Walaupun tanah pertanian perkapita yang tersedia menurun hampir setengahnya, namun output biji-bijian (grain) meningkat sebesar 30%. Dan sesuai proyeksi FAO (2003), dimana peningkatan produksi biji-bijian (grain) akan melambat hingga 2030, serta merujuk pada pelambatan tingkat pertumbuhan populasi, output percapita biji-bijian (grain) akan meningkat secara moderat pada level 0,3% per tahun. Merujuk pula pada International Food Policy Research Institute (IFPR) yang memprediksi harga riil biji-bijjian pada pasar internasional akan menurun sebesar 10 persen dari tahun 1997 hingga 2020 (Rosegrant et al.,1995; Pinstrup-Andersen et al., 2001).
Pertanyaannya, kenapa peningkatan produksi makanan dapat terjadi sementara lahan menjadi lebih terbatas. Jawaban paling utama adalah peningkatan “science-based agriculture”. Hal ini dapat terjadi dengan pembangunan mekanisasi dalam sector pertanian (farm-mechanization), terutama di USA pada abad ke-19.
Pendekatan tradisional dalam meningkatkan produktivitas lahan pertanian telah didesain dalam suatu system pertanian yang lebih intensif dalam pemanenan tanpa menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Contohnya terjadi perubahan dari two-field system (rotasi dari panen cereal dan fallow) menjadi three-field system (2 kali pemanen cereal dilanjutkan fallow) yang terjadi di Eropa abad pertengahan (slicher van Bath, 1963). Hal ini selanjutnya mendapat sedikit perubahan menjadi “Nork-Fold Rotation system” yang terjadi di Inggris pada abad ke 17 hingga 18, dimana lahan yang saat fallow ditanami turnip dan clover. Hal ini tentunya akan meningkatkan produksi lahan yang juga akan meningkatkan supply pupuk bagi tanah pertanian, dan dikenal juga dengan “Agricultural Revolution”, yang juga akan berperan dalam mensukseskan revolusi industri, dengan tetap menyediakan makanan yang cukup bagi pekerja industry dan mencegah peningkatan harga makanan, seperti yang ditakutkan Malthus dan Ricardo (Timmer, 1969).
Walaupun begitu, “resources-based agriculture” hanya mampu mencukupi peningkatan permintaan makanan pada level kurang dari 1% per-kapita per-tahun dari tingkat populasi yang ada. Celakanya pada negara-negara developing economies, peningkatan permintaan makanan per-kapita berada pada level 4% per tahunnya. Karenanya diperlukan aplikasi dari chemical fertilizer dan peningkatan dalam varietas bahan makanan berdasarkan scientific research.
Di USA sendiri, peningkatan agricultural production technology telah dimulai dari pertengahan abad ke-19, dan supply of commercial hybrid seeds bagi petani dimulai pada 1930-an (Hayami dan Ruttan, 1985; 208-22). Varietas-varietas modern (yang direpresentasikan dengan jagung hybrid), telah mampu meningkatkan kapasitas nutrisi bagi tanaman yang tercermin dari biji yang dihasilkan. Hal ini juga dilengkapi dengan inovasi pada manufacturing process seperti aerial nitrogen fixation, yang berguna dalam menurunkan harga relative chemical fertilizer terhadap komoditas pertanian sebesar 40 persen pada periode 1900-1930. Artinya dengan menerapkan science-based agriculture telah mampu mengeluarkan dunia dari Malthusian crisis akibat peningkatan populasi dan ekspansi terhadap area pertanian.
2 Perspective on the Green Revolution
Dengan besarnya potensi dari secience-based agriculture, transfer efektif mekanisme ini ke negara-negara dengan perekonomian low-income juga mesti dipertimbangkan agar dapat mengeluarkan mereka dari Ricardian Trap yang mungkin terjadi. Dengan menggunakan adaptive research, transfer teknologi pertanian dapat dilakukan antar lingkungan yang berbeda sekalipun. Contoh yang paling dramatis adalah penyebaran berbagai varietas beras modern dan gandum di Asia tropis pada akhir tahun 1960-an yang dikenal dengan “Green Revolution”.
2.1 Development and diffusion of modern varieties
Salah satu tantangan dalam mengaplikasikan transfer teknologi adalah adanya karakteristik yang berbeda antar varietas yang ada di negara maju dengan negara berkembang. Namun hal ini dapat diatasi dengan dibuatnya suatu prototype varietas modern yang cocok di kondisi tropis. Contohnya adalah ”Mexican dwarf wheats” yang dikembangkan di subcontinent India, yang diasimilasi terhadap kondisi alam yang baru melalui penyilangan dengan berbagai varietas lokal (Hayami dan Ruttan, 1985: 264-74).
Contoh lainnya adalah varietas beras modern, yang dikenal dengn IR8, yang ditemukan di Filipina pada 1962 dan disebarluaskan oleh International Rice Research Institute (IRRI), yang merupakan penyilangan dari Taiwan-dwarf variety (Dee-Geowoo-Gen) dan Indonesia variety (Peta).
Kesuksesan program ini tercermin dengan swasembada pangan yang dicapai India dan Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an. Artinya green-revolution melalui development and diffusion modern varieties telah mampu menciptakan suatu biological-technology baru yang mendukung hipotesis T.W Schultz (1964) dengan menciptakan petani yang rasional dan efisien dalam alokasi sumberdaya yang ada serta peningkatan profit dengan adanya perubahan teknologi dan market-demand.
Namun, kesuksesan ini bukan berarti tidak mendapat hambatan, terutama berasal dari hama dan bencana (seperti yang terjadi pada varietas IR5 di Indonesia yang diserang brown plant-hopper). Karenanya dalam membentuk suatu “miracle rice variety” diperlukan suatu proses berkesinambungan dari peningkatan teknologi melalui aplikasi ilmu pengetahuan terhadap masalah-masalah biologis, dalam hal berkompetisi demi menanggulangi serangan (bencana) alam yang mungkin terjadi.
2.2 Conditions of technology transfer
Dalam perspective sejarah, green revolution dapat dikatakan sebagai transfer of the mechanism for developing land-saving technologies kepada negara tropis Asia dari Jepang (sebagai penggagas mekanisme ini).
Kesuksesan transfer rice technology pertama kalli terjadi di Taiwan. Mereka mengadopsi varietas Jepang pada lingkungan mereka, dan menghasilkan Ponlai-varieties, namun hal yang berbeda terjadi di Korea. Karena dibutuhkan sistem pengairan yang baik pada sawah yang ada. Hal ini yang kurang diperhatikan di Korea, sehingga yang dihasilkan sawah menjadi lebih sedikit, namun setelah dilakukan permbangunan sistem pengairan (irigasi) pada 1920-an, hasil sawah mereka pun meningkat dengan tajam pada 1930-an. Hal yang sama dengan Korea juga terjadi di Philipina, dengan pembangunan irigasi pada 1950-an dan pada 1960-an mereka telah mendapatkan hasilnya.
2.3 External and internal land augmentation
Tekanan populasi akan menekan cultivation frontier ke dalam inferior land, marjinal cost dari peningkatan produksi melalui ekspansi dari peningkatan area yang diolah relatif meningkat terhadap marjinal cost dari intensifikasi. Artinya internal augmentation menjadi less-costly.
3 Barriers to Induced Innovation
Secara umum, Green-Revolution merupakan suatu inovasi dalam agricultural production technology yang diakibatkan tekanan populasi dalam limited land resources.
3.1 Problems in Africa
Di Afrika, terutama Afrika timur, dengan kepadatan penduduk lebih rendah, namun kebanyakan tanah pertanian dimiliki oleh suku, sehingga dalam private property rights terjadi lag dalam rangka menfasilitasi long-term investment pada land-infrastructure. Merujuk pada survey di daerah tropis humid dan subhumid Afrika yang mencakup 18 negara, didapati bahwa jumlah daerah pertanian yang telah diirigasi pada kurun waktu 1987-9 hanya 2,5% (atau hanya sepersepuluh dibanding India).
Selanjutnya, dengan banyaknya negara-negara Afrika yang memilih system ekonomi sosialis juga memperburuk keadaan ini. Selain terjadi intervensi pemerintahan yang menyebabkan inefisiensi dan korupsi, hal ini juga diperparah dengan eksploitas lahan pertanian yang digunakan sebagai lahan industri.
Karenanya, diperlukan political motivation dalam mencapai new-social optima yang bertujuan keluar dari Ricardian Trap akibat tekanan populasi pada sumber daya alam yang terbatas.
3.2 Whither or Green Revolution?
Kegagalan Green Revolution mulai popular pada 1970-an dengan banyaknya varietas rusak terkena serangan serangga dan hama. Pada 1980-an teknologi Green Revolution telah memperlambat pertumbuhan beras per hektar. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah yang merupakan pionir dari penyebaran varietas modern, seperti; Central Luzon (Philipina), Jawa (Indonesia), dan Punjab di India. Akibat pelambatan ini, terjadi stagnasi produksi beras di Asia hingga 1990-an.
Daerah north-east Asia (terutama Jepang)-pun memberlakukan proteksi eras dengan menerapkan harga domestik yang tinggi dibanding harga internasional, bahkan melebihi harga equilibrium domestic saat autarky. Hal ini menyebabkan Jepang untuk memulai peningkatan teknologi pertanian dalam meningkatkan hasil pertaniannya. Untuk itu diperlukan suatu skema baru dalam mengatasi pengurangan hasil pertanian ini. Maka dimulailah laju investasi infrastruktur produksi dasar dari dana luar negeri ke negara-negara yang memiliki kekurangan dana pertanian (terutama ke Indonesia dan Philipina). Namun hal ini menyebabkan harga makanan yang jatuh akibat tingginya supply di pasar. Sehingga patut dipertanyakan efisiensi dalam perubahan alokasi terhadap bantuan pada infrastruktur dasar yang terlalu cepat tanpa mempertimbangkan fluktuasi harga jangka pendek yang juga tergantung pada variasi cuaca.
4 Development via Natural Resources Slack
Tak dapat dipungkiri aktivitas ekonomi (terutama ekspor) di negara-negara berkembang sangat bergantung pada sumber daya alam yang ada (terutama mineral, kehutanan, dan sumber daya alam lainnya) yang memproduksi komoditas primary.
4.1 Colonialism and Vent-For-Surplus Theory
Dikenalkan oleh seorang ekonom Burma, Hla-Myint (1971), yang berfokus pada proses pembangunan “empty land” yang memiliki kepadatan rendah, daerah yang tidak digunakan, dan sumberdaya alam yang berlimpah terutama ditemukan di Asia Tenggara dan Afrika sebagai awal dari terjadinya kolonialisasi Barat. Walaupun begitu pembangunan vent-for-surplus tidak membawa peningkatan signiikan pada level pendapatan dan kehidupan masyarakat asli. Ini disebabkan pemerintahan kolonial dan perusahaan asing berkolusi dalam menekan pendidikan dan kemampuan dari pekerja asli untuk menciptakan sumber tenaga kerja yang murah.
4.2 The Staple Theory
Teori ini hamper sama dengan vent-for-surplus theory, dengan berfokus pada pola transisi pembangunan ekonomi empty land dari ekploitasi sumberdaya alam untuk ekspor menuju pertumbuhan domestic commerce dan idustri.
Staple disini diartikan sebagai komoditas utama yang memainkan peranan penting dalam ekspansi ekspor dari empty lands. Walaupun begitu, diperlukan waktu dalam mencapai suatu tingkatan dimana local population dapat mencapai skala perekonomian commerce dan industry, dan jika terjadi slack sumberdaya dari produksi suatu staple sebelum tingkat yang ditentukan, maka pertumbuhan ekonomi yang diinginkan tidak bisa dicapai.
4.3 The Dutch Disease
Melimpahnya sumber daya alam merupakan suatu asset yang besar bagi pembangunan ekonomi, namun tak jarang merupakan perangkap awal bagi penurunan perekonomian. Ini dikenal dengan “Dutch disease”, sebagai pengalaman Netherland saat terjadi penemuan gas alam yang banyak di North-Sea pada akhir 1950-an.
Kejadian yang sama terjadi di Nigeria, sebagai salah satu negara pengekspor minyak utama, yang mendapatkan untung besar saat terjadi export-boom di dua periode krisis minyak. Dan kejadian yang hampir sama terjadi di negara-negara pengekspor minyak lainnya, seperti Mexico, dan Indonesia.
Untuk keluar dari perangkap ini, maka diperlukan kebijakan yang tepat dalam menyikapi sumber daya perekonomian yang ada pada masing-masing negara.
(Fikri.C.Permana)
digunakan sebagai salah satu tugas eko.pembangunan PPIE-UI
Dalam 50 tahun terakhir, populasi dunia meningkat sekitar 2,5 kali lipat, sementara tanah pertanian hanya meningkat kurang dari 30 persen. Walaupun tanah pertanian perkapita yang tersedia menurun hampir setengahnya, namun output biji-bijian (grain) meningkat sebesar 30%. Dan sesuai proyeksi FAO (2003), dimana peningkatan produksi biji-bijian (grain) akan melambat hingga 2030, serta merujuk pada pelambatan tingkat pertumbuhan populasi, output percapita biji-bijian (grain) akan meningkat secara moderat pada level 0,3% per tahun. Merujuk pula pada International Food Policy Research Institute (IFPR) yang memprediksi harga riil biji-bijjian pada pasar internasional akan menurun sebesar 10 persen dari tahun 1997 hingga 2020 (Rosegrant et al.,1995; Pinstrup-Andersen et al., 2001).
Pertanyaannya, kenapa peningkatan produksi makanan dapat terjadi sementara lahan menjadi lebih terbatas. Jawaban paling utama adalah peningkatan “science-based agriculture”. Hal ini dapat terjadi dengan pembangunan mekanisasi dalam sector pertanian (farm-mechanization), terutama di USA pada abad ke-19.
Pendekatan tradisional dalam meningkatkan produktivitas lahan pertanian telah didesain dalam suatu system pertanian yang lebih intensif dalam pemanenan tanpa menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Contohnya terjadi perubahan dari two-field system (rotasi dari panen cereal dan fallow) menjadi three-field system (2 kali pemanen cereal dilanjutkan fallow) yang terjadi di Eropa abad pertengahan (slicher van Bath, 1963). Hal ini selanjutnya mendapat sedikit perubahan menjadi “Nork-Fold Rotation system” yang terjadi di Inggris pada abad ke 17 hingga 18, dimana lahan yang saat fallow ditanami turnip dan clover. Hal ini tentunya akan meningkatkan produksi lahan yang juga akan meningkatkan supply pupuk bagi tanah pertanian, dan dikenal juga dengan “Agricultural Revolution”, yang juga akan berperan dalam mensukseskan revolusi industri, dengan tetap menyediakan makanan yang cukup bagi pekerja industry dan mencegah peningkatan harga makanan, seperti yang ditakutkan Malthus dan Ricardo (Timmer, 1969).
Walaupun begitu, “resources-based agriculture” hanya mampu mencukupi peningkatan permintaan makanan pada level kurang dari 1% per-kapita per-tahun dari tingkat populasi yang ada. Celakanya pada negara-negara developing economies, peningkatan permintaan makanan per-kapita berada pada level 4% per tahunnya. Karenanya diperlukan aplikasi dari chemical fertilizer dan peningkatan dalam varietas bahan makanan berdasarkan scientific research.
Di USA sendiri, peningkatan agricultural production technology telah dimulai dari pertengahan abad ke-19, dan supply of commercial hybrid seeds bagi petani dimulai pada 1930-an (Hayami dan Ruttan, 1985; 208-22). Varietas-varietas modern (yang direpresentasikan dengan jagung hybrid), telah mampu meningkatkan kapasitas nutrisi bagi tanaman yang tercermin dari biji yang dihasilkan. Hal ini juga dilengkapi dengan inovasi pada manufacturing process seperti aerial nitrogen fixation, yang berguna dalam menurunkan harga relative chemical fertilizer terhadap komoditas pertanian sebesar 40 persen pada periode 1900-1930. Artinya dengan menerapkan science-based agriculture telah mampu mengeluarkan dunia dari Malthusian crisis akibat peningkatan populasi dan ekspansi terhadap area pertanian.
2 Perspective on the Green Revolution
Dengan besarnya potensi dari secience-based agriculture, transfer efektif mekanisme ini ke negara-negara dengan perekonomian low-income juga mesti dipertimbangkan agar dapat mengeluarkan mereka dari Ricardian Trap yang mungkin terjadi. Dengan menggunakan adaptive research, transfer teknologi pertanian dapat dilakukan antar lingkungan yang berbeda sekalipun. Contoh yang paling dramatis adalah penyebaran berbagai varietas beras modern dan gandum di Asia tropis pada akhir tahun 1960-an yang dikenal dengan “Green Revolution”.
2.1 Development and diffusion of modern varieties
Salah satu tantangan dalam mengaplikasikan transfer teknologi adalah adanya karakteristik yang berbeda antar varietas yang ada di negara maju dengan negara berkembang. Namun hal ini dapat diatasi dengan dibuatnya suatu prototype varietas modern yang cocok di kondisi tropis. Contohnya adalah ”Mexican dwarf wheats” yang dikembangkan di subcontinent India, yang diasimilasi terhadap kondisi alam yang baru melalui penyilangan dengan berbagai varietas lokal (Hayami dan Ruttan, 1985: 264-74).
Contoh lainnya adalah varietas beras modern, yang dikenal dengn IR8, yang ditemukan di Filipina pada 1962 dan disebarluaskan oleh International Rice Research Institute (IRRI), yang merupakan penyilangan dari Taiwan-dwarf variety (Dee-Geowoo-Gen) dan Indonesia variety (Peta).
Kesuksesan program ini tercermin dengan swasembada pangan yang dicapai India dan Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an. Artinya green-revolution melalui development and diffusion modern varieties telah mampu menciptakan suatu biological-technology baru yang mendukung hipotesis T.W Schultz (1964) dengan menciptakan petani yang rasional dan efisien dalam alokasi sumberdaya yang ada serta peningkatan profit dengan adanya perubahan teknologi dan market-demand.
Namun, kesuksesan ini bukan berarti tidak mendapat hambatan, terutama berasal dari hama dan bencana (seperti yang terjadi pada varietas IR5 di Indonesia yang diserang brown plant-hopper). Karenanya dalam membentuk suatu “miracle rice variety” diperlukan suatu proses berkesinambungan dari peningkatan teknologi melalui aplikasi ilmu pengetahuan terhadap masalah-masalah biologis, dalam hal berkompetisi demi menanggulangi serangan (bencana) alam yang mungkin terjadi.
2.2 Conditions of technology transfer
Dalam perspective sejarah, green revolution dapat dikatakan sebagai transfer of the mechanism for developing land-saving technologies kepada negara tropis Asia dari Jepang (sebagai penggagas mekanisme ini).
Kesuksesan transfer rice technology pertama kalli terjadi di Taiwan. Mereka mengadopsi varietas Jepang pada lingkungan mereka, dan menghasilkan Ponlai-varieties, namun hal yang berbeda terjadi di Korea. Karena dibutuhkan sistem pengairan yang baik pada sawah yang ada. Hal ini yang kurang diperhatikan di Korea, sehingga yang dihasilkan sawah menjadi lebih sedikit, namun setelah dilakukan permbangunan sistem pengairan (irigasi) pada 1920-an, hasil sawah mereka pun meningkat dengan tajam pada 1930-an. Hal yang sama dengan Korea juga terjadi di Philipina, dengan pembangunan irigasi pada 1950-an dan pada 1960-an mereka telah mendapatkan hasilnya.
2.3 External and internal land augmentation
Tekanan populasi akan menekan cultivation frontier ke dalam inferior land, marjinal cost dari peningkatan produksi melalui ekspansi dari peningkatan area yang diolah relatif meningkat terhadap marjinal cost dari intensifikasi. Artinya internal augmentation menjadi less-costly.
3 Barriers to Induced Innovation
Secara umum, Green-Revolution merupakan suatu inovasi dalam agricultural production technology yang diakibatkan tekanan populasi dalam limited land resources.
3.1 Problems in Africa
Di Afrika, terutama Afrika timur, dengan kepadatan penduduk lebih rendah, namun kebanyakan tanah pertanian dimiliki oleh suku, sehingga dalam private property rights terjadi lag dalam rangka menfasilitasi long-term investment pada land-infrastructure. Merujuk pada survey di daerah tropis humid dan subhumid Afrika yang mencakup 18 negara, didapati bahwa jumlah daerah pertanian yang telah diirigasi pada kurun waktu 1987-9 hanya 2,5% (atau hanya sepersepuluh dibanding India).
Selanjutnya, dengan banyaknya negara-negara Afrika yang memilih system ekonomi sosialis juga memperburuk keadaan ini. Selain terjadi intervensi pemerintahan yang menyebabkan inefisiensi dan korupsi, hal ini juga diperparah dengan eksploitas lahan pertanian yang digunakan sebagai lahan industri.
Karenanya, diperlukan political motivation dalam mencapai new-social optima yang bertujuan keluar dari Ricardian Trap akibat tekanan populasi pada sumber daya alam yang terbatas.
3.2 Whither or Green Revolution?
Kegagalan Green Revolution mulai popular pada 1970-an dengan banyaknya varietas rusak terkena serangan serangga dan hama. Pada 1980-an teknologi Green Revolution telah memperlambat pertumbuhan beras per hektar. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah yang merupakan pionir dari penyebaran varietas modern, seperti; Central Luzon (Philipina), Jawa (Indonesia), dan Punjab di India. Akibat pelambatan ini, terjadi stagnasi produksi beras di Asia hingga 1990-an.
Daerah north-east Asia (terutama Jepang)-pun memberlakukan proteksi eras dengan menerapkan harga domestik yang tinggi dibanding harga internasional, bahkan melebihi harga equilibrium domestic saat autarky. Hal ini menyebabkan Jepang untuk memulai peningkatan teknologi pertanian dalam meningkatkan hasil pertaniannya. Untuk itu diperlukan suatu skema baru dalam mengatasi pengurangan hasil pertanian ini. Maka dimulailah laju investasi infrastruktur produksi dasar dari dana luar negeri ke negara-negara yang memiliki kekurangan dana pertanian (terutama ke Indonesia dan Philipina). Namun hal ini menyebabkan harga makanan yang jatuh akibat tingginya supply di pasar. Sehingga patut dipertanyakan efisiensi dalam perubahan alokasi terhadap bantuan pada infrastruktur dasar yang terlalu cepat tanpa mempertimbangkan fluktuasi harga jangka pendek yang juga tergantung pada variasi cuaca.
4 Development via Natural Resources Slack
Tak dapat dipungkiri aktivitas ekonomi (terutama ekspor) di negara-negara berkembang sangat bergantung pada sumber daya alam yang ada (terutama mineral, kehutanan, dan sumber daya alam lainnya) yang memproduksi komoditas primary.
4.1 Colonialism and Vent-For-Surplus Theory
Dikenalkan oleh seorang ekonom Burma, Hla-Myint (1971), yang berfokus pada proses pembangunan “empty land” yang memiliki kepadatan rendah, daerah yang tidak digunakan, dan sumberdaya alam yang berlimpah terutama ditemukan di Asia Tenggara dan Afrika sebagai awal dari terjadinya kolonialisasi Barat. Walaupun begitu pembangunan vent-for-surplus tidak membawa peningkatan signiikan pada level pendapatan dan kehidupan masyarakat asli. Ini disebabkan pemerintahan kolonial dan perusahaan asing berkolusi dalam menekan pendidikan dan kemampuan dari pekerja asli untuk menciptakan sumber tenaga kerja yang murah.
4.2 The Staple Theory
Teori ini hamper sama dengan vent-for-surplus theory, dengan berfokus pada pola transisi pembangunan ekonomi empty land dari ekploitasi sumberdaya alam untuk ekspor menuju pertumbuhan domestic commerce dan idustri.
Staple disini diartikan sebagai komoditas utama yang memainkan peranan penting dalam ekspansi ekspor dari empty lands. Walaupun begitu, diperlukan waktu dalam mencapai suatu tingkatan dimana local population dapat mencapai skala perekonomian commerce dan industry, dan jika terjadi slack sumberdaya dari produksi suatu staple sebelum tingkat yang ditentukan, maka pertumbuhan ekonomi yang diinginkan tidak bisa dicapai.
4.3 The Dutch Disease
Melimpahnya sumber daya alam merupakan suatu asset yang besar bagi pembangunan ekonomi, namun tak jarang merupakan perangkap awal bagi penurunan perekonomian. Ini dikenal dengan “Dutch disease”, sebagai pengalaman Netherland saat terjadi penemuan gas alam yang banyak di North-Sea pada akhir 1950-an.
Kejadian yang sama terjadi di Nigeria, sebagai salah satu negara pengekspor minyak utama, yang mendapatkan untung besar saat terjadi export-boom di dua periode krisis minyak. Dan kejadian yang hampir sama terjadi di negara-negara pengekspor minyak lainnya, seperti Mexico, dan Indonesia.
Untuk keluar dari perangkap ini, maka diperlukan kebijakan yang tepat dalam menyikapi sumber daya perekonomian yang ada pada masing-masing negara.
(Fikri.C.Permana)
digunakan sebagai salah satu tugas eko.pembangunan PPIE-UI
Comments