JAKARTA, investor.id – PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan kepemilikan asing pada pasar surat utang Indonesia akan bertambah menjadi 40% pada 2020. Menariknya, surat utang negara (SUN) didukung oleh selisih imbal hasil atau spread yield yang cukup jauh dengan US Treasury yakni berkisar 500 basis poin (bps).
Ekonom Pefindo Fikri C Permana mengatakan, dengan spread yield SUN dengan US Treasury yang masih di atas 500 bps dan real yield untuk SUN tenor 10 tahun masih sangat besar di kisaran 300 bps hingga 400 bps, membuat instrumen surat utang Indonesia sangat menarik di mata investor asing. “Dibanding tahun lalu sebesar 38%, kemungkinan porsi asing pada SUN akan meningkat menjadi 40%,” kata dia di Jakarta, baru-baru ini.
Pasar surat utang Indonesia sekarang sangat cantik dibandingkan negara berkembang lainnya. “Dengan tingkat inflasi saat ini 2,7%, mau cari ke mana real yield segitu? Hal itu yang membuat ketertarikan instrumen surat utang di Indonesia masih akan tinggi,” tutur Fikri.
Dia menambahkan, terjaganya fundamental ekonomi Indonesia juga akan menopang positifnya pasar surat utang di Indonesia. “Kalau saya lihat kenapa asing masuk ke kita karena memang kondisi makro kita sangat baik. Real yield baik, inflasi juga terjaga sehingga pertumbuhan ekonomi kita dianggap lebih baik. Ditambah sovereign rating Indonesia sudah investment rate dan Rupiah juga masih stabil. Makanya saya lihat surat utang kita secara agregat sangat positif,” ujarnya.
Menurut Fikri, apabila tahun 2020 tren suku bunga turun masih terjadi, maka dengan inflasi di kisaran 3,2%, spread real yield surat utang Indonesia masih berada di kisaran 250 bps hingga 300 bps akan masih menarik. ”Apalagi untuk surat utang berdenominasi dolar AS, dinilai lebih menarik seiring dengan stabilnya nilai tukar rupiah, serta posisi yield US Treasury dan inflasi AS yang masih rendah,” ungkapnya. Selain faktor likuiditas, masuknya investor asing pada SUN juga dipengaruhi oleh kepercayaan investor asing pada kesanggupan pemerintah Indonesia untuk membayar SUN. “Pertumbuhan ekonomi yang terjaga di kisaran 5% dan inflasi di kisaran 3,2% menunjukkan kemampuan negara untuk membayar SUN,” ujarnya.
Adapun dengan potensi tersebut, kemungkinan investor asing akan lebih memilih untuk menaruhkan investasinya pada SUN karena memiliki risiko yang rendah. “Yang akan jadi pilihan mereka adalah yang risk free yaitu ke SUN. SUN masih dianggap likuiditasnya lebih baik dari instrumen lain seperti surat utang korporasi,” kata dia. Kendati demikian, Fikri menyatakan bahwa tak menutup kemungkinan asing juga bisa masuk ke instrumen lain seperti obligasi korporasi. “Saya lihat masih mungkin, karena risiko obligasi korporasi kita masih rendah. Default rate kita paling hanya sekitar 0,7%. Tapi mungkin literasi terhadap surat utang korporasi rendah,” ujarnya Sementara itu, faktor eksternal masih menjadi tantangan bagi pasar surat utang di Indonesia.
Antara lain perkembangan konflik AS dengan Iran, serta perkembangan negosiasi dagang antara AS dengan Tiongkok. "Geopolitik dunia masih volatile besar, sangat fragile bukan hanya trade war yang menjadi headline. Konflik AS dan Iran kemungkinan akan membuat perubahan arah investasi global," pungkasnya.
Emisi Surat Utang
Sementara itu, Pefindo memperkirakan penerbitan surat utang jangka menengah (Medium Term Notes/MTN) akan mendominasi tahun ini. Hal ini didasarkan data permintaan pemeringkatan emisi surat utang yang telah mencapai Rp 40,69 triliun hingga 15 Januari 2020.
Kepala Pemeringkatan Jasa Keuangan Pefindo Hendro Utomo mengatakan, Pefindo telah mendapatkan mandat pemeringkatan MTN dengan total Rp 10,22 triliun. MTN mendominasi daftar pipeline surat utang yang bakal diperingkat Pefindo. “Memang mandate MTN tergolong banyak, ada 19 emiten yang akan terbitkan MTN tahun ini,” katanya.
Maraknya penerbitan MTN tahun ini, ungkap dia, kemungkinan dipengaruhi terbitnya peraturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) POJK Nomor 20/POJK.04/2019 tentang penerbitan efek bersifat utang atau sukuk yang dilakukan tanpa penawaran umum (EBUS) atau yang biasa disebut surat utang jangka menegah atau MTN yang akan berlaku mulai Juni 2020. “Peraturan tersebut akan memperketat penerbitan MTN dengan target mulai berlaku Juni 2020.
Hal ini kemungkinan mendorong sejumlah korporasi mempercepat emisi atau dilakukan sebelum peraturan baru tersebut berlaku. Ini pendapat saya pribadi,” ujarnya. Dalam daftar penerbitan obligasi Pefindo terungkap bahwa permintaan pemeringkatan Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) baru telah mencapai Rp 7,75 triliun dan rencana realisasi PUB sebesar Rp 9,69 triliun.
Kemudian obligasi dengan target emisi sebesar Rp 6,35 triliun, Sekuritisasi senilai Rp 3,97 triliun, Sukuk mencapai Rp 1,7 triliun, dan Surat Berharga Komersial (SBK) senilai Rp 1 triliun. Pefindo mengungkap bahwa sektor perbankan masih mendominasi penerbitan surat utang tahun ini. Hal ini terlihat dari data permintaan pemeringkatan hingga 15 Januari 2020 bahwa nilai emisi surat utang perbankan mencapai Rp 6,97 triliun dengan jumlah empat perusahaan.
Sedangkan di posisi kedua, ada sektor jalan Tol dengan nilai rencana emisi sebesar Rp 4,85 triliun dengan jumlah perusahaan sebanyak empat. Kemudian sektor multifinance di posisi nomor tiga dengan rencana emisi sebesar Rp 3,8 triliun berasal dari lima perusahaan. Keempat, sektor pulp and paper dengan nilai rencana emisi sebanyak Rp 3,6 triliun. Kelima, sektor perkebunan dengan nilai rencana emisi sebesar Rp 2,6 triliun, sedangkan sisanya berasal dari sektor lain dengan total 45 perusahaan.
Sumber : Investor Daily
Tulisan diatas juga dapat dilihat pada tautan berikut:
Comments