JAKARTA, investor.id –
Pasar obligasi pada 2020 dinilai masih cukup prospektif. Meski demikian, tidak akan sebaik tahun ini. Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia Michael Tjoajadi mengatakan, saat ini, investor asing masih stay di pasar obligasi domestik. “Indonesia masih memiliki interest rate dan yield yang positif,” kata dia di sela acara Market Outlook 2020 di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (10/12).
Sejalan dengan itu, Presiden Direktur PT Mandiri Manajemen Investasi Nurdiaz Alvin Pattisahusiwa mengatakan, tahun ini ada pemotongan suku bunga The Fed sebanyak empat kali dan diikuti pemotongan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 100 basis poin. Menurut Alvin, dengan adanya pemotongan suku bunga tersebut, pada tahun 2020 masih ada return positif. Namun, tidak sebaik tahun 2019 yang mengalami peningkatan hingga 14%. Hal serupa juga disampaikan Michael Tjoajadi. Menurut dia, tahun depan, pasar obligasi tidak akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh pemangkasan suku bunga tidak akan terjadi lagi pada tahun depan.
Sementara itu, market share reksa dana saham mengalami penurunan 26% hingga bulan November 2019 dari sebelumnya yang diperkirakan mencapai 30%. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Perang dagang mengakibatkan penurunan perekonomian dunia. “Kami melihat volume transaksi ekspor dan impor dunia sejak Donald Trump melancarkan perang dagang itu menurun, dan itu berpengaruh ke seluruh dunia termasuk Indonesia,” ujar Michael. Adapun instrumen yang tidak terpengaruh oleh kondisi pasar saat ini adalah reksa dana terproteksi. Market share reksa dana ini lebih besar dibandingkan dengan reksa dana saham. Kemudian reksa dana fixed income dan pasar uang. Lebih lanjut, secara keseluruhan, kondisi pasar pada 2020 diperkirakan bergerak positif. Pasalnya, di Amerika Serikat, akan dilaksanakan pemilihan Presiden. Jika Donald Trump ingin terpilih lagi, maka dia harus memperbaiki ekonomi Amerika.
Nilai Emisi
Sebelumnya, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memperkirakan nilai emisi surat utang tahun ini mencapai Rp 135,2 triliun. Jumlah tersebut naik tipis 2,4% dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebanyak Rp 132 triliun. Economic Research Pefindo Fikri C Permana mengatakan, hingga Oktober 2019, nilai penerbitan surat utang telah mencapai Rp 125,4 triliun. “Kami optimistis hingga akhir tahun ini bisa mencapai Rp 135,2 triliun, bahkan bisa lebih baik,” kata dia, baru-baru ini.
Salah satu faktor yang memicu penerbitan surat utang adalah penurunan imbal hasil (yield) SUN yang lebih banyak dibandingkan dengan tingkat suku bunga acuan BI. Terhitung sejak awal 2019, suku bunga acuan turun 100 basis poin. Sedangkan yield surat utang turun 120 basis poin. “Kami harapkan tahun depan ada penurunan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin, dan yield bisa turun lebih dari 50 basis poin,” jelas Fikri. Untuk surat utang 2020, pihaknya memproyeksikan nilai emisinnya sebesar Rp 158,5 triliun.
Beberapa faktor akan mendorong peningkatan tersebut, salah satunya penurunan tingkat suku bunga. Dengan adanya tren penurunan, Pefindo melihat adanya ruang untuk peningkatan nilai emisi surat utang. “Tren penurunan tingkat suku bunga dapat menekan cost of fund. Begitu juga dengan yield surat utang korporasi,” ujar Fikri. Lebih lanjut dia mengungkapkan, tahun depan, surat utang yang jatuh tempo cukup besar, yaitu Rp 126,4 triliun. Pihaknya mengharapkan adanya varian dalam penerbitan surat utang, sehingga bisa membantuk menggairahkan pasar. “Selain obligasi korporasi, ada pula sukuk, MTN, dan lainnya. Ini juga banyak diburu investor,” ujarnya.
Comments