Globalisasi yang diartikan dengan terkoneksi secara
penuh nya semua sendi kehidupan, yakni barang dan jasa
(trade), modal (capital), informasi (information)
dan manusia (people) di seluruh
penjuru dunia tampaknya belumlah terealisasi secara penuh. Senada dengan Friedman (2007), setidaknya tercermin dalam DHL Global Connectedness Index (GCI)[1].
Gambar 1 :
DHL Global Connectedness Index, Depth and
Breadth 2005 -2013 (DHL, 2014)
Dibanding
tahun 2012, GCI telah menunjukkan perbaikan di tahun 2013 (gambar 1). Hal ini ditunjang dengan segi depth (kedalaman) atau yang semakin baik antar waktu (setelah
krisis 2008). Membaiknya depth
menandakan semakin banyak dan makin bervariasi nya bentuk-bentuk interaksi
antar negara di dunia. Dengan kata lain
volume perdagangan (trade), aliran
dana (capital) dan aliran lainnya
(manusia, informasi) yang semakin baik.
Sebaliknya, dari segi luasan (breadth), GCI terlihat memiliki
kecendrungan menurun. Ini dapat diinterpretasikan dengan makin
terpolarisasinya perkonomian dunia. Hal ini dikenal dengan regionalisasi, atau dapat
diarti-kan bahwa interaksi ekonomi north-south
makin berkurang.
Re-regionalisasi sendiri
diakibatkan stagnannya perekonomian di negara-negara maju (north). Sementara di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di
negara-negara berkembang (south)
malah mencatatkan nilai yang baik. Akibatnya interaksi/aliran perekonomian
cenderung menjadi south-south
dibandingkan north-south.
Indonesia sendiri saat ini berada di peringkat
GCI ke 111 dibanding 140 negara yang dilakukan pengukuran (tabel 1). Dari nilai GCI Indonesia, terlihat bahwa hal yang masih
menjadi kendala utama Indonesia berasal dari segi depth, dibanding dari segi breadth
(berdasarkan peringkat GCI masing-masing aspek).
Tabel 1 : Indonesia’s Key Scores&Trends 2011-2013 (DHL, 2014)
Lebih
lanjut, dari segi depth (tabel 2), dapat dilihat bahwa Indonesia
masih memiliki nilai yang rendah terkait faktor trade, people dan information-connectedness. Dari indikator GCI, ditambah dengan laporan Global Competitive Index-Indonesia (WEF,2014) dimana Indonesia di posisi ke-34 (dari 38 di 2013). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Indonesia masih menarik bagi pelaku bisnis. Tetapi pelaku bisnis Indonesia
masih lebih terfokus pada pasar domestik, dibanding ekspansi ke luar negeri.
Tabel 2 : Indonesia’s Depth Rank&Level – GCI (DHL, 2014)
Ada beberapa alasan kenapa hal
ini terjadi. Dengan jumlah penduduk besar (247 juta) dan bersifat konsumtif (54%
PDB berasal dari penggunaan konsumsi rumah tangga). Selain itu, demographic composition yang didominasi kaum muda, SDA yang banyak, kecenderungan
menghindari exchange rate risk
(utamanya dari sektor yang mengandalkan SDA). Atau dapat disimpulkan cenderung menghindari
economic uncertainty. (FCP)
[1]
DHL Global Connectedness Index 2014 :
Analyzing Global Flows And Their Power To Increase Prosperity, Ghemawat dan
Altman (2014)
Post ini telah di publish di Update Makro-Panin Bulan November.
(Jumat, 12 Desember 2014, 16.10 WIB)
Comments