Skip to main content

Menteri Enterpreneur dan Peluang Perbankan



Relatif datarnya reaksi pasar, tergambar pada nilai IHSG dan kurs yang tidak sefantastis seperti yang diekspektasikan pelaku pasar sebelumnya, tentunya bisa dimaklumi. Banyaknya muka baru yang belum teruji sebagai birokrat, serta faktor eksternal yang turut menghambat akselerasi data perekonomian semenjak pelantikan (per 27 oktober 2014) merupakan alasan utama. Walaupun begitu, harapan untuk Indonesia yang lebih baik tentunya tetap diletakkan di pundak para tim ekonomi ini. Satu hal yang menarik dilihat dari para tim ekonomi (tabel 1) ini adalah komposisi menteri yang sebagiannya berlatar belakang dari bisnis (enterpreneur). Setidaknya hal ini sangat terlihat dari sosok Menteri Peridustrian (Saleh Husin), Menteri Perdagangan (Rachmat Gobel), Menteri BUMN (Rini Soemarno), Menteri Perhubungan (Ignasius Jonan) sosok Menteri Kelautan dan Perikanan (Susi Pudjiastuti). 
Disamping itu, perlu diingat bahwa beberapa menteri yang duduk saat ini juga pernah menjadi komisaris di beberapa perusahaan. Dengan mencoba sedikit menelisik cara pandang “men-teri entrepreneur” ini, yang lebih menganut paham pragmatis. Ditambah ideologi yang dikenal dengan common-sense utilitarianism, dimana tujuan utama lebih kepada best-practice, efisiensi dan  cenderung bersikap profit oriented, maka birokrasi yang controlism mulai ditinggalkan.

Tabel 1 : Nama Tim Ekonomi Kabinet Kerja Jokowi-JK


Nama
Jabatan
Sofyan Djalil
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Bambang Brodjonegoro
Menteri Keuangan
Andrinof Chaniago
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Saleh Husin
Menteri Perindustrian
Rachmat Gobel
Menteri Perdagangan
Rini Soemarno
Menteri BUMN
Ignasius Jonan
Menteri Perhubungan
Sudirman Said
Menteri Energi Sumber Daya Mineral
Amran Sulaiman
Menteri Pertanian
Susi Pudjiastuti
Menteri Kelautan dan Perikanan
Basuki Hadimuljono
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Indroyo Susilo
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman
























Merujuk pada hasil laporan World Economic Forum dalam Global Competitive Index Report Indonesia 2014-2015 (gambar 1). Dimana 2 dari 5 hal utama yang menjadi masalah utama dalam melakukan bisnis yang terkait dengan birokrasi, yakni korupsi (corruption) dan birokrasi yang inefisien (inefficient government bureaucracy). Tentunya kemungkinan besar para “menteri entrepreneur” akan menjadikan 2 hal tersebut sebagai target awal yang akan diminimalisir di masa kepemimpin mereka. Kembali merujuk penelitian Kuncoro (2006)[1] yang menyatakan bahwa banyak pelaku bisnis di Indonesia cenderung melakukan strategi less-visible dan less-formal (tidak menca-tatkan perusahaan mereka) ke pihak terkait (BPS dan lainnya). Utamanya oleh pelaku bisnis Kecil-Menengah (dengan jum-lah tenaga kerja 20 orang).


Tabel  2 : The Most Problematic Factors For Doing Business In Indonesia (WEF, 2014)


Corruption                               ; 15,7%
Acces to financing                    ; 10,6%
Inflation                                   ; 9,5%
Inefficient govt bureaucracy    ; 8,3%
Inequality of infrastructure      ; 7,5%
Policy instability                      ; 6,9%
Foreign currency regulation     ; 5,9%
Poor work ethic of labor force ; 5,3%
Tax rates                                  ; 5,3%
Government instability/coups  ; 5,2%
Restrictive labor regulation     ; 4,9%
Crime and theft                       ; 4,5%
Tax regulation                          ; 2,9%
Poor public health                   ; 2,3%
Insufficient capacity to innovate ; 1,3%


Ini dilakukan demi menghindari perlakuan birokrasi (petugas pajak, regulasi, pemimpin daerah dan biaya lainnya), yang mendorong terciptanya high-cost economy. Sehingga apabila menteri entrepreneur” mampu meminimalisir efek jeleknya birokrasi (dengan bantuan “middle manager” mereka sebagai “agent of change”), maka akan membuat pelaku bisnis semakin bergairah. Salah satu bentuknya melalui pencatatan usaha mereka. Bagi Bank, tentu ini prospek yang sangat baik (utamanya bagi bisnis Kecil-Menengah), dengan terpenuhinya aspek collateral, sehingga kemungkinan permintaan kredit di bisnis yang terkait akan semakin tinggi. (FCP)



[1] Decentralization and Corruption in Indonesia:Manufacturing Firms Survival under Decentralization, Kuncoro (2006)





 Telah di publish di Update Makro Panin-November

12 December 2014 (16.20 WIB)

Comments

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...