Turunnya
Harga Minyak Dunia
Penurunan harga minyak dunia telah mencapai
40% semenjak Juni 2014 (hingga Desember 2014). Bahkan pada 9 Desember, harga
minyak Brent menyentuh level
terendahnya dalam 5 tahun terakhir (hingga mencapai angka USD 66 per barel).
Bagi negara-negara yang memiliki ketergantungan ekonomi (khususnya ekspor) yang
tinggi terhadap minyak, hal ini merupakan suatu kabar yang kurang menyenangkan.
Venezuela contohnya, dimana komposisi ekspor minyak sebesar 96% dari total
ekspor negara mereka, belum ditambah dengan pasar ekspor utama mereka (Amerika
Serikat) yang semakin gencar menambah produksi dalam negeri. Akibatnya,
penurunan harga minyak telah menyebabkan nilai ekspor mereka menurun,
pendapatan perusahaan-perusahaan minyak (yang merupakan perusahaan negara) pun menjadi
jauh berkurang, sehingga pendapatan negara turut berkurang, selanjutnya pembelian
barang-barang impor (khususnya obat-obatan dan bahan makanan pokok) yang
didanai dari ekspor menjadi tertekan. Akibatnya Maduro (Presiden Venezuela)
harus melakukan penghematan anggaran demi menjaga impor tetap dapat dibiayai,
bahkan Presiden terpaksa merelakan gajinya dipotong, begitupun dengan anggaran
lembaga negara serta belanja publik lainnya. Bagi Indonesia sendiri,
menurunnya harga minyak dunia telah mengurangi nilai impor minyak dan gas
sebesar 2% (mtm) atau sebesar 2,2% (yoy). Sehingga nilai impor turut
berkurang sebesar 1,4% (mtm) secara
keseluruhan, menjadi USD 15,33 milyar selama bulan Oktober. Dengan penurunan
impor tersebut, di bulan yang sama Indonesia mencatatkan trade surplus sebesar USD 20 juta (BPS, 2014). Seterusnya, hal ini menjadikan current account deficit menyempit
menjadi USD 6,8 milyar.
Lebih lanjut, akibat penurunan harga
minyak dunia ini, secara total harga komoditas dunia menjadi menurun (lihat
gambar 1). Hal ini dikarenakan penurunan harga minyak dunia menjadikan
komoditas-komoditas lain yang terkait dengan minyak (baik sebagai faktor
produksi dan distribusi) mengalami penurunan. Sehingga tidak mengherankan bila
tingkat harga dan index komoditas dunia pun turut menjadi turun.
Gambar 1 ; Commodity
Index
Sumber:
IMF (2014)
Penyebab
Turunnya Harga Minyak Dunia
Layaknya tradable goods, perubahan harga (minyak)
yang terjadi tentunya disebabkan adanya tarik-menarik antara supply-demand di pasar (komoditas).
Sehingga penurunan harga (minyak) yang terjadi saat ini cenderung menggambarkan
adanya over-supply di pasar. Setidaknya
terdapat lima hal yang menyebabkan hal ini terjadi.
Pertama, aktivitas ekonomi (yang digambarkan dengan pertumbuhan
ekonomi) dunia yang melambat. Indikasinya terlihat dari pemangkasan proyeksi
pertumbuhan ekonomi dunia 2014. Misalnya yang dilakukan IMF, dimana proyeksi
pertumbuhan ekonomi dunia terpaksa dipangkas sebesar 0,3% dari perkiraan awal
tahun (menjadi 3,4%). Selanjutnya economic
slowdown yang terjadi di China (dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah 0,1% dari perkiraan pemerintah) turut menyebabkan demand produk minyak menurun. Secara tidak langsung, inipun turut
menjadikan CPI (Consumer Price Index)
dan PPI (Producer Price Index) di China semakin menurun. Begitupun dengan
resesi ekonomi yang terjadi di Jepang (terlihat dari deflasi yang mencapai
1,16% di Q3 2014 – yoy), stagnan nya
pertumbuhan ekonomi Eropa (yang berada pada nilai 0,8% dalam 2 kuarter
terakhir), serta pertumbuhan ekonomi dari emerging
economies yang tidak sesuai harapan, turut memberi andil bagi penurunan permintaan
komoditas minyak dunia.
Kedua, adanya geopolitical
risk yang terjadi di beberapa negara penghasil minyak dunia. Ketegangan
politik yang terjadi di Libya dan Irak, yang secara total memiliki jumlah
produksi sebesar 4 juta barel per hari, telah menjadi perhatian pelaku minyak
dunia. Ini diperparah dengan konflik yang terjadi di Crimea, yang menyebabkan
Rusia dikenai sanksi ekonomi oleh Uni-Eropa, padahal Rusia dikenal sebagai
negara penghasil minyak terbesar kedua di dunia (dengan jumlah produksi sebesar
9,920 juta barel per hari). Untuk menyiasati hal tersebut, saat ini Rusia lebih
memfokuskan untuk melakukan ekspor minyaknya ke China dan Jepang. Disamping
itu, ketegangan Iran dengan Amerika Serikat dan sekutunya yang belum mereda,
turut menambah kekhawatiran dunia terkait produksi minyak dunia.
Ketiga, adanya ekspektasi akan
meningkatnya jumlah produksi minyak di dunia. Hal ini utamanya didorong oleh
Amerika Serikat yang semakin gencar menambah jumlah produksi lading minyak
mereka. Peningkatan ini dikarenakan utamanya berasal dari ladang minyak yang
berada di Teluk Mexico (Lousiana dan Alabama), Texas, Colorado dan North
Dakota. Sehingga saat ini diperkirakan terjadi penambahan jumlah produksi
minyak di Amerika Serikat secara keseluruhan sebesar 36% dibanding tahun 2008.
Indikator lainnya terlihat dari jumlah stok minyak yang meningkat secara
signifikan dalam 6 tahun terakhir (tertinggi semenjak tahun 1975), disamping
itu jumlah impor minyak Amerika Serikat pun memiliki kecenderungan menurun. Selain
Amerika Serikat, cadangan minyak baru juga ditemukan di beberapa negara Afrika Bagian
Tengah. Negara-negara baru yang akan menjadi produsen minyak dunia baru
tersebut adalah Kenya, Uganda, Ghana, dan Sierra Leon
Gambar 2 ; Harga
Minyak Dunia
Sumber: EIA (2014)
Keempat,
OPEC pada 27 November 2014 tetap bersepakat untuk tidak menurunkan jumlah
produksi nya, yakni sebesar 30 juta barel per hari. Hal ini sebagai dampak
kekhawatiran Arab Saudi dan negara-negara teluk lainnya, yakni apabila mereka
melakukan penurunan produksi kilang minyak mereka maka dikhawatirkan market share mereka juga akan turut
berkurang. Hal ini juga untuk tetap menjaga agar produksi minyak OPEC tidak
dilampaui oleh Amerika Serikat yang berencana menambah produksi minyak mereka 1
juta barel per hari di tahun ini, dan pada tahun 2015 akan tetap menambah jumlah
produksi minyak nya sebesar 1 juta barel per hari.
Kelima,
khususnya untuk negara berteknologi tinggi, konsumsi minyak mulai di subtitusi
dengan sumber energi alternatif lain yang lebih ramah lingkungan. Saat ini,
diperkirakan pembangkit berbentuk renewable
energy telah memasok sekitar 25 persen dari total energi yang ada di dunia
(REN21, 2014). Hal ini utamanya didorong oleh China yang tercatat memiliki
tingkat konsumsi minyak terbesar di dunia. Semenjak 2010, China merupakan
negara dengan jumlah investasi renewable
energy terbesar di dunia. Saat ini sendiri, tercatat sebanyak 130 juta
rumah tangga di China telah menggunakan energi matahari. Selain itu, saat ini
pembangkit listrik tenaga angin yang dikembangkan di China telah mampu
menghasilkan daya lebih dari 80 Gigawatt. Selain China, Jepang juga melakukan
alih pembangkit listrik menuju energi angin dan surya, sehingga secara total
akan mampu menghasilkan 30 persen listrik mereka dari renewable energy. Selanjutnya Brazil juga saat ini telah mampu menghasilkan
sebanyak 80% dari daya listrik yang mereka punyai berasal dari renewable energy. Bahkan di Kota
Kopenhagen (Denmark), telah dicanangkan bahwa kota tersebut akan menjadi kota
bebas karbondioksida di tahun 2025 (pertama di dunia). Rencana tersebut akan
difasilitasi dengan pembangunan gedung hemat energi, pembangkit listrik yang
bersifat green, serta dilengkapi
dengan kebijakan yang menguntungkan pejalan kaki dan pengemudi sepeda serta
mobilitas elektrik.
Secara ekonomi, semakin berkembangnya renewable energy dikarenakan ongkos yang
rendah. Apalagi energi yang berasal dari tenaga angin dan matahari yang
merupakan public goods dan relatif
sangat mudah didapatkan. Menurut sejumlah pakar industri, hingga 2050 instalasi
panel surya dengan daya sebesar 8000 Gigawatt akan mampu memproduksi 80 kali
lebih banyak energi ketimbang saat ini.
Harga
Minyak Dunia Ke Depan
Turunnya harga minyak dunia yang
terjadi saat ini, dan diikuti dengan penurunan harga komoditas dunia (khususnya
metal), diperkirakan akan tetap berlangsung dalam beberapa waktu ke depan (setidaknya
hingga 1 tahun ke depan). Bahkan IMF (2014) memperkirakan harga minyak dan
komoditas dunia cenderung akan tertekan di kuarter-1 hingga kuarter-2 tahun
2015. Harga minyak dunia sendiri diperkirakan akan mengalami penurunan tajam di
kuarter-2 2015. Dimana kemungkinan harga akan menyentuh nilai rata-rata dalam 1
kuarter akan berada hingga di angka USD 82,1 Per Barel. Namun seiring waktu, tekanan
terhadap harga minyak dunia ini diperkirakan akan berangsur berkurang dan
perlahan akan terjadi rebound,
sehingga pada akhir tahun 2015 akan berada di angka USD 85,2 Per Barel.
Dengan harga minyak dunia yang
cenderung berada di harga yang masih rendah (dibawah 90 USD per barel) selama
2015, IMF (2014) akan berakibat pada relatif rendahnya harga komoditas dunia
lainnya. Sejalan dengan penurunan harga minyak dunia, harga komoditas secara
umum juga diperkirakan akan berlangsung selama kuarter-1 2dan kuarter-2 tahun 015,
namun sejalan dengan membaiknya harga minyak dunia, harga komoditas juga akan makin membaik.
Cenderung rendahnya harga minyak dunia
(dan komoditas dunia) selama 2015 turut diperkirakan menyebabkan inflasi secara
umum di berbagai berlahan dunia (terkecuali Eropa) akan terjaga, sehingga
pertumbuhan ekonomi dapat lebih dipacu.
Karenanya tidak mengherankan bila
lembaga-lembaga keuangan dunia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia
akan membaik di 2015 dibanding 2014 akibat rendahnya inflasi. Hal ini terlihat
dari proyeksi IMF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan berada di
angka 3,4% di tahun 2015 (dibanding 3,2% di 2014). Kecenderungan membaiknya
perekonomian dunia juga diamini oleh WorldBank (2014) yang memperkirakan
pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2015 akan menjadi 3,8% (dibanding 3,5% di
2014). (FCP)
Ditulis pada tanggal 11 Desember 2014
Salah satu tulisan yang di post di Update Makro Panin bulan Desember
Di Post di meja sebelah jendela :)
Comments