Skip to main content

BBVA-EAGLE’S


Oleh Alicia Garcia-Herrero (Chief Economist for Emerging Market of BBVA)
Seminar di Gedung Energi (23 Februari 2010)
I.                    Pendahuluan
1.1          Latar Belakang
                Adanya perubahan genuine pertumbuhan ekonomi global dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang, yang terutama diakibatkan terjadinya slowdown pertumbuhan ekonomi di negara-negara G-7 dan krisis yang menimpa mereka, telah membuat beberapa ekonom mengidentifikasi negara-negara yang pada nantinya akan menjadi negara-negara penopang ekonomi dunia, yakni negara-negara yang memiliki prospek pembangunan ekonomi yang lebih baik dimasa datang.  Salah satu konsep pembagian tersebut adalah Eagles, yang digagas oleh Alicia Garcia-Herrero.
                EAGLE’s merupakan singkatan dari Emerging and Growth-Leading Economies, hal ini merupakan suatu konsep untuk mengelompokkan negara-negara yang diekspektasikan akan memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata GDP-PPP yang melebihi rata-rata pertumbuhan GDP-PPP negara-negara G-6 (Kanada, Jerman, Prancis, Italia, Jepang dan Inggris) pada 10 tahun ke depan (2020). Dapat diartikan lebih lanjut bahwa konsep Eagles ini didasarkan pada pertumbuhan absolut negara-negara yang mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi global dengan jumlah negara yang tergabung dalam kelompok ini bersifat fleksibel (didasarkan pada kinerja negara bersangkutan dalam kontribusinya terhadap perekonomian global), atau dapat diartikan bersifat dinamis.
Pada dasarnya ada 10 negara yang termasuk ke dalam golongan Eagles ini, yaitu (urutannya didasarkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi global) ;

Walaupun pada dasarnya terdapat  10 negara yang tergabung dalam konsep Eagles ini, namun pada perjalanannya nanti tidak tertutup kemungkinan akan terjadi penyesuaian terhadap negara-negara yang akan tergabung ke dalam konsep ini. Adapun Negara-negara yang berpotensi untuk dapat digabungkan ke dalam golongan Eagles ini (berdasarkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi global yang melebihi Italia-sebagai negara dengan kontribusi terkecil diantara Negara G-7 lainnya), yakninya (urutan didasarkan pada tingkat kontribusi negara tersebut terhadap perekonomian global);



Sumber; BBVA research
1.2               EAGLE’s dan Perbandingannya Dengan Beberapa Konsep Lainnya
Sebelum konsep EAGLE’s, telah ada beberapa konsep dalam membagi negara-negara menjadi suatu kelompok yang diperkirakan akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi (advanced economic development).
Salah satunya adalah BRIC’s (merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, dan China). Ini merupakan konsep yang pertama kalli diperkenalkan oleh Jim O'Neill di tahun 2001 dalam papernya yang berjudul “Building Better Global Economic BRICs”, yang diasosiakan sebagai salah simbol kekuatan perekonomian global yang berasal di negara berkembang.
Namun, konsep BRIC’s ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya;
1.       Berdasarkan Absolute-Size
Besarnya economic-size di negara-negara yang tergabung pada kelompok ini tidak mencerminkan pertumbuhan absolute yang terjadi ataupun pasar potensial yang akan tercipta, sehingga pada nantinya pertumbuhan yang ada di Negara tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global.
2.       Konsep yang statis
Artinya negara yang tergabung hanya Brasil, Rusia, India, dan China tanpa memungkinkan adanya perubahan (adanya inertia). Adapun pada konsep ini menawarkan horizon dalam 20-25 tahun ke depan. Dan dapat ditambahkan disini bahwa, konsep ini tidak terlalu jelas menjelaskan kenapa hanya 4 negara diatas yang masuk ke dalam kelompok ini.

Konsep lainnya adalah CIVETS, yang merupakan akronim dari Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt (Mesir), Turkey dan South Africa (Afrika Selatan) yang diperkenalkan pada akhir 2009 oleh Robert Ward (Global Forecasting Director for the Economist Intelligence Unit). Secara singkat, konsep ini merupakan suatu konsep lanjutan dari BRIC’s (the new BRICs). Konsep ini didasarkan pada potensi yang ada di negara-negara tersebut untuk mendorong perekonomian global, terutama dikarenakan adanya demographic bonus (banyaknya kaum muda) di negara-negara tersebut,  sehingga diharapkan hal ini akan mendorong pergerakan ekonomi di negara-negara tersebut dan pada nantinya juga akan mampu mendorong perekonomian global. Berdasarkan konsep ini, diproyeksikan bahwa pertumbuhan di negara-negara yang tergabung dalam kelompok ini akan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 3 kali lebih cepat dibanding developed countries pada 2010. Sayangnya, konsep ini masih bersifat statis dan melupakan negara-negara yang berpotensi lainnya (seperti; Mexico dan Korea)

Selanjutnya The Next Eleven (or N-11) countries, yang terdiri dari Negara Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Mexico, Nigeria, Pakistan, Philippines, Korea Selatan, Turki, dan Vietnam. Ini merupakan kumpulan negara-negara yang diidentifikasi memiliki potensi besar untuk menjadi  the world's largest economies di abad ke-21. Konsep ini diperkenalkan oleh Goldman Sach, dengan catatan bahwa akan terdapat pertumbuhan masa depan yang baik dan investasi yang menjanjikan di negara-negara tersebut (dalam 20-45 tahun ke depan). Namun di dalam konsep ini hanya menggambarkan perekonomian dengn tingkat populasi yang tinggi tanpa memperhatikan pasar potensial yang mungkin timbul. Disisi lain, konsep ini masih bersifat statis dan memungkinkan prediksi pertumbuhan yang diharapkan dapat berasal dari negara-negara ini juga akan terkikis, seiring dengan terdapatnya ketidakstabilan politik di beberapa negara yang tergabung. 

II.            EAGLE’s Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dunia
                Saat ini telah terjadi pergeseran kiblat penunjang perekonomian global, dari negara-negara maju (terutama G-7), menuju ke negara-negara berkembang, atau dapat dikatakan telah terjadi rotation of global growth. Hal ini ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di Negara-negara berekembang sebagai prasyarat dalam menunjang hal tersebut.
                Berdasarkan tingkat GDP yang dihitung berdasarkan PPP yang diperkirakan akan meningkat sebesar (lebih-kurang) USD 40 trillion pada 10 tahun mendatang, dimana Amerika Serikat akan menyumbang tambahan GDP sebesar USD 2.8 trillion, seterusnya negara-negara G-6 sebesar (lebih kurang) USD 2.4 trillion (atau sekitar USD 400 billion per Negara). Sementara menurut forecasts BBVA, dengan memasukkan 10 negara yang tergabung dalam Eagles, negara-negara tersebut akan memilki kontribusi 4 kali lebih besar terhadap pertumbuhan global pada 10 tahun ke depan , hal ini ditunjang pula dengan additional demand yang lebih tinggi dibanding rata-rata negara G-6 akibat adanya faktor demoghraphic bonus serta  factor fundamental makroekonomi yang lebih baik dibanding Negara-negara developed. Keadaan diatas dapat digambarkan sebagai berikut;





                ,
III.           Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Eagles dan Tantangan ke depan
Dimasukkannya Indonesia ke dalam kelompok Eagles merupakan suatu kehormatan sekaligus tantangan bagi bangsa ini untuk tetap terus menjaga perekonomiannya dalam tingkat yang stabil dan menggenjot pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan data yang ada, terdapat beberapa faktor penunjang yang memungkinkan Indonesia untuk dikategorikan sebagai salah satu negara Eagles, diantaranya adalah;
·         Pertumbuhan ekonomi riil (GDP-PPP) masih berkisar di angka 6-7% per tahun
·         Adanya faktor demoghraphic bonus, dengan komposisi penduduk yang berumur 50 tahun ke bawah berada dikisaran angka 70%.
·         Semakin naiknya tingkat investasi yang berasal dari dalam negeri, yakni berkisar di angka 28% pada tahun 2009 dan 29% pada tahun 2010 dibanding total investasi yang terjadi di Indonesia. Hal inipun tentunya juga ditunjang dengan investasi yang berasal dari luar negeri (baik berbentuk FDI dan FII), serta investasi yang berasal dari sektor pemerintah.
·         Semakin kuatnya faktor fundamental makroekonomi dalam negeri. Ini tergambar dari semakin terapresiasinya rupiah terhadap USD dalam kurun 2008-2010, semakin meningkatnya cadangan devisa, dan semakin menurunnya rasio hutang pemerintah menjadi 26% terhadap total GDP pada tahun 2010.
Namun begitu, adanya faktor-faktor penunjang tersebut juga menimbulkan beberapa masalah baru, disamping adanya masalah-masalah yang sudah ada sebelumnya, sehingga terakumulasi menjadi suatu tantangan bagi pemegang kebijakan makroekonomi di Indonesia (baik dari sektor fiskal maupun moneter, yang apabila tidak disikapi dengan baik dan arif maka karena dapat menggerus pertumbuhan perekonomian, alih-alih menghambatnya.
Jika dapat diklasifikasikan secara kasar, maka faktor-faktor penghambat tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian. Yakninya faktor ekonomi sendiri, dan faktor-faktor non-ekonomi. Adapun faktor ekonomi yang mungkin dapat menggerus pertumbuhan ekonomi dapat dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal sendiri merupakan goncangan yang berasal dari luar negeri, layaknya transmisi goncangan yang terjadi akibat factor nilai tukar (exchange rate pass-through) maupun akibat adanya faktor perdagangan. Sementara dari sisi internal, goncangan dapat terjadi akibat adanya tingkat inflasi yang tinggi. Dari sisi non-ekonomi sendiri, ini lebih kepada factor social-politik dan lainnya yang dapat mempengaruhi sector ekonomi. Hal ini seperti adanya kerusuhan politik ataupun friksi social yang terjadi dalam struktur masyarakat.
Labih lanjut, menurut Gita Wiryaman (kepala BKPM), factor non-ekonomi yang mungkin dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia diantaranya adalah;
1.       Adanya Unsur Regulatory
Mulai dikembangkannya konsep desentralisasi (otonomi) di Indonesia selain membawa dampak positif, tentunya juga menyebabkan adanya efek negatif. Diantaranya terdapat perundang-undangan dan keinginan yang saling tumpang-tindih antar regulator di daerah (sebagai basis pelaksanaan aktivitas ekonomi). Hal ini ditambahkan oleh Raden Pardede, dengan menyatakan bahwa hal ini juga terkait dengan sistem demokrasi yang “kebablasan” yang terjadi di Indonesia (terutama di tingkat kabupaten/kota), sehingga para pemegang kebijakan di level daerah cendrung bersikap seperti “raja kecil” di daerahnya.
2.       Terdapat Disparitas Yang Cukup Tinggi Antara Pulau Jawa dan Luar Jawa
Adanya disparitas antara Pulau Jawa (sebagai basis perekonomian Indonesia) dengan daerah lainnya (terutama dengan daerah Indonesia timur) dapat mendorong adanya kecemburuan dan faktor lanjutan lainnya yang dapat menggerus kestabilan perekonomian.
Dari sisi regional sendiri, Stephen (ex-head executive IMF for Indonesia), mengatakan bahwa terdapat beberapa tantangan bagi sisi pemegang kebijakan moneter dalam negeri untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, yakninya;
1.       Adanya fenomena pemegang kebijakan moneter regional untuk menerapkan sistem kebijakan moneter ketat (tight-monetary policy) di negara-negara emerging markets.
2.       Terjadinya apresiasi mata uang regional akibat peningkatan permintaan CNY (Yuan-Renmimbi) secara global, serta perekonomian Amerika dan negara-negara G-6 yang masih berada dalam tahap recovery.
                Raden Pardede sendiri, membagi tantangan perekonomian Indonesia ke depan dalam dua horizon waktu. Yakni dalam short-term dan long term. Secara short-term, Raden Pardede lebih menyoroti tantangan akibata adanya goncangan yang berasal dari luar negeri (external origins problem), seterusnya dia mengkategorikan tantangan perekonomian Indonesia menjadi;
1.       Adanya peningkatan capital inflow, terutama berbentuk portofolio, yang tinggi ke dalam perekonomian Indonesia
Hal ini diakibatkan tingkat suku bunga yang masih tinggi dibanding Negara-negara di dalam kawasan. Tterjadinya Capital inflow yang tinggi akan mendorong terjadinya asset bubble, dan pada nantinya dikhawatirkan akan bersifat layaknya “hot-money” yang hanya mencari keuntungan dalam jangka pendek. Dan ditakutkan, jika nantinya perekonomian di Amerika Serikat telah kembali pulih seperti sedia kala, maka capital inflow yang sebelumnya masuk ke Indonesia akan menjadi capital outflow dalam nilai yang besar dan dalam waktu singkat. Artinya hal ini akan mampu membuat suatu goncangan kepada kestabilan sektor financial dan ekonomi secara umum.


2.       Menguatnya nilai tukar Rupiah
Walaupun di satu pihak, peningkatan nilai tukar rupiah merupakan suatu keuntungan bagi konsumen akibat nilai barang impor yang akan dirasa relative lebih murah, namun disisi lain apresiasi yang terjadi akan menjadi disinsentif bagi eksportir karena nilai barang ekspor yang dikirim ke luar negeri akan menjadi relative mahal jika dibandingkan mata uang Negara tujuan. Hal ini tentunya akan menyebabkan current account balance domestic lebih mengarah ke sisi impor dibanding ekspor.
3.       Inflasi yang tinggi
Perlu disadari bahwa inflasi tentunya akan menggerus nilai nominal dari pertumbuhan ekonomi yang ada. Sehingga penjagaan terhadap tingkat inflasi merupakan suatu keharusan bagi pemegang kebijakan ekonomi di Indonesia. Walaupun pada teorinya, penjagaan tingkat inflasi akan menyebabkan trade off terhadap tingkat pertumbuhan sendiri, begitupun dengan tingkat pengangguran (Philips curve theorry).
                Sementara secara long-term, dia mengkategorikan tantangan perekonomian Indonesia lebih bersifat internal (internal origins problem), yakninya;
1.       Penerapan otonomi (di bidang demokrasi dan desentralisasi fiscal pemerintahan)
Walaupun juga disadari bahwa penerapan otonomi merupakan suatu langkah maju untuk lebih menerapkan pemertaan pembangunan dan swadaya masyarakat agar tercipta lebih baik. Namun terkadang dalam pelaksanaannya factor otonomi merupakan factor “pembentuk raja kecil” di daerah-daerah dan menyebabkan timbulnya ketumpang-tindihan dalam peraturan yang ada sehingga tentunya akan menghambat pembentukan investasi  baru ataupun menggerakkan perekonomian menjadi lebih cepat.
2.       Tingkat keamanan dan kestabilan bahan pokok masyarakat (air, makanan dan energy security)
Perlu disadari bahwa penyediaan bahan makanan pokok di masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah karena bagaimanapun hal ini akan menyangkut kepada seluruh elemen masyarakat yang ada di Negara tersebut. Karenanya penjagaan kestabilan bahan pokok harus disadari merupakan hal yang sangat perlu bagi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan.
                Karenanya ntuk dapat mengurangi dampak-dampak negatif yang mungkin dapat timbul karena berbagai tantangan yang ada, maka diperlukan suatu sistem macroprudential yang baik dalam kaitannya menjaga kestabilan perekonomian nasional, dan hal ini tentunya melibatkan seluruh elemen masyarakat di semua tingkatan. Karena bagaimanapun adanya hal-hal positif yang ada terhadap perekonomian Indonesia sendiri, seperti adanya capital inflow yang masuk ke dalam negeri, kenaikan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang utama dunia (terutama USD), serta ancaman inflasi global akibat dorongan sector supply, mau tidak mau akan mendorong perekonomian Indonesia sendiri ke arah overheating.
                Raden Pardede sendiri menyarankan bagi pemegang kebijakan untuk dapat melakukan kebijakan sebagai berikut;  
1.       Melakukan pengaturan yang lebih baik terkait masalah minyak, terutama menyangkut subsidi, serta melakukan penjagaan terhadap tingkat inflasi terkait masalah harga barang kebutuhan pokok (terutama makanan)
2.       Agar otoritas moneter melakukan kebijakan yang bersifat forward looking
3.       Agar secepatnya disiapkan financial safety-net
Seterusnya Gita Wiryawan juga menyarankan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut, terkait dengan penggenjotan pertumbuhan ekonomi Indonesia;
1.       Percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia
Pembangunan disini diharapkan dapat mencakup dua aspek, yakni soft infrastructure (berupa pembangunan pendidikan dan kesehatan, terkait dengan pembangunan indeks pembangunan manusia), dan hard infrastucture (terkait pembangunan jalan, pembangkit listrik/power, serta airport dan sarana fisik lainnya).
2.       Industrialisasi
Hal ini terkait dengan modernisasi, disamping sebagai pembangunan sektor ekonomi penyerap tenaga kerja yang lebih tinggi (terutama menyangkut sektor  manufaktur), hal ini juga terkait dengan efisiensi ekonomi dan penciptaan kehidupan yang lebih baik ke depan.
3.       Pemerataan capital distribution
Walaupun pada saat ini pembangunan Indonesia telah menganut konsep desentralisasi (otonomi), namun pada kenyataannya secara geografis perekonomian masih ditunjang oleh Pulau Jawa. Karenanya diperlukan pemerataan barang modal diantara daerah-daerah di Indonesia, sehingga penciptaan lapangan kerja pun akan lebih merata, pembangunan ekonomi juga dapat dinikmati oleh daerah-daerah luar Jawa, dan ketimpangan dapat dikurangi.

Disamping itu, Gita Wiryawan juga menambahkan diperlukan adanya pembangunan knowledge-economy, sehingga pertumbuhan ekonomi yang ada akan melibatkan dan dapat dinikmati seluruh elemen masyarakat, dari golongan manapun, dengan tingkat pendidikan apapun, dan tanpa memandang hal-hal berbau SARA (suku, adat, ras, dan agama) sehingga kerukunan dapat tercapai dan pertumbuhan ekonomi dapat dipacu demi kesejahteraan bangsa yang lebih baik.






Publish @Markas,
Saturday, 2012, 7th July


11.01 PM


Comments

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...