Skip to main content

World Misery Index

Apa sih Misery Index


Misery Index merupakan pengembangan dari Okun Index yang awalnya dikembangkan oleh Arthur Okun (ex-ketua tim pertimbangan ekonomi presiden USA) pada tahun 1960-an. Okun Index sendiri merupakan penjumlahan nilai dari tingkat inflasi dan tingkat pengangguran yang terjadi di satu tahun. Pada 1999, Robert Barro (profesor ekonomi Harvard dan juga kolega dari Okun) menyempurnakan Okun Index dengan menam-bahkan nilai yield government bond 30-tahun dan nilai output gap dari PDB-riil. Penyempurnaan inilah yang dikenal dengan “Barro Misery Index (atau BMI)”. Namun baik Okun Index dan Barro Misery Index hanya digunakan sebatas untuk mengukur bagaimana tingkat kesejahteraan (dan tingkat kesedihan) sosial-ekonomi masyarakat yang ditimbulkan oleh perbedaan kepimpinan (presiden) di Amerika Serikat.

Selanjutnya di tahun 2000-an, Cato Institute melakukan pengembangan dengan melakukan perhitungan World Misery Index (WMI) dengan menjumlahkan data tingkat inflasi, tingkat pengangguran, tingkat bunga pinjaman (lending rates) dan  menguranginya dengan pertumbuhan PDB per-kapita year-on-year (yoy). Seiring dengan perkembangan WMI, maka kegunaan WMI juga diperluas sehingga mampu menggambarkan dan membandingkan bagaimana tingkat kesejahteraan (dan seberapa menyedihkannya) keadaan sosial-ekonomi masyarakat antar negara di tahun tertentu.

World Misery Index 2014

Pada akhir Januari 2015, WMI-2014 dikeluarkan oleh Cato Institute yang berisi daftar dari 108 negara di dunia yang memiliki nilai tingkat inflasi, tingkat pengangguran, tingkat bunga pinjaman (lending rates) dan  tingkat pertumbuhan PDB per-kapita year-on-year (yoy) di tahun tersebut. Dengan cara membaca dimana jika semakin tinggi index suatu negara menggambarkan semakin menyedihkannya kondisi sosial-ekonomi di negara tersebut relatif terhadap negara-negara lainnya. Maka dengan menggunakan data selama tahun 2014, lima negara dengan tingkat sosial-ekonomi yang paling menyedihkan (the most miserable countries) adalah Venezuela, Argentina, Syria, Ukraina, dan Iran. Khusus untuk Ukraina dan Iran, kedua negara ini merupakan negara baru di top-5 WMI menggantikan Sudan dan Republik Sao-Tome&Principe yang berada di posisi yang sama di tahun 2013. Sementara lima negara dengan tingkat sosial-ekonomi yang paling tidak menyedihkan (the least miserable countries) adalah Brunei, Swiss (atau Switzerland), China, Taiwan, dan Jepang).
Predikat Venezuela dan Argentina sebagai “the most miserable country in the world” dikarenakan tingkat inflasi (diindikasikan dengan indeks harga konsumen) yang tumbuh sangat tinggi di kedua negara tersebut dalam satu tahun terakhir. Venezuela, dengan tingkat inflasi tahunan rata-rata sebesar 35% per tahun sejak 1987, selama 2014 bahkan mencatatkan tingkat inflasi tahunan sebesar 63,61% di akhir tahun. Suatu nilai yang sangat fantastis, terlebih dengan government budget deficit (defisit APBN) yang membesar hingga 50% (utamanya setelah harga minyak dunia sebagai pemasukan utama negara anjlok di pertengahan 2014). Hal ini juga ditambah dengan dengan adanya konflik antara kelompok pro-pemerintah dengan kelompok anti-pemerintah yang yang terjadi setelah wafatnya Hugo Chavez, sehingga distribusi barang menjadi tersendat dan menjadikan tingkat inflasi makin tidak terkendali. 
Sementara Argentina, mencatatkan tingkat inflasi tahunan sebesar 23,9% di akhir tahun 2014. Tingkat kepercayaan dunia usaha dan lembaga internasional (khususnya IMF) yang rendah terhadap pemerintah merupakan faktor utama pendorong terjadinya hal tersebut. Untuk memulihkannya, maka pada Februari pemerintah Argentina melakukan revisi perhitungan inflasi (dan Indeks Harga Konsumen) agar data ekonomi yang mereka keluarkan dapat lebih dipercaya oleh para pelaku ekonomi. Suatu hal yang agak sukar dipercaya bila melirik Argentina di tahun 1880-an yang tercatat sebagai negara dengan GDP terbesar ke-dua di dunia saat itu.
Middle income trap mungkin bisa menjadi suatu kutukan bagi Syria. Negara yang pada datu dekade lalu memiliki tingkat perekonomian (tingkat kesehatan dan pendidikan) yang menjanjikan di Timur Tengah (lebih baik dari Tunisia ataupun Yordania), tapi dengan berkecamuknya perang saudara dari tiga tahun lalu membuat semuanya berantakan tidak hanya dari sisi besaran ekonomi (diukur dari GDP) yang mengecil, tapi juga populasi penduduk mereka. IMF (2014) memperkirakan bahwa GDP negara ini menyusut sebesar 40% dalam tiga tahun terakhir, sisi perdagangan (ekspor-impor) menurun lebih dari 90%, inflasi mendekati 50% di bulan May 2014, dan tingkat pengangguran melebihi 50% di akhir tahun 2014. Konflik yang tidak kunjung mereda, juga diikuti dengan sangsi yang diberikan oleh negara-negara barat menjadikan kondisi sosial-ekonomi menjadi lebih buruk. 


Posisi Indonesia Dalam World Misery Index (WMI) Tahun 2014
Sementara Indonesia berada pada peringkat WMI ke-46 dari 108 negara yang ada di dunia. Indonesia sendiri memiliki nilai indeks sebesar 20.35, nilai yang sama dengan Arab Saudi. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara paling menyedihkan di Asia Tenggara, bahkan berada delapan tingkat diatas Myanmar.
Tingginya peringkat Indonesia pada WMI utamanya dikarenakan tingkat suku bunga dalam negeri yang tinggi, dengan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 7,75% di akhir tahun 2014, namun tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) Indonesia yang diukur dengan suku bunga dasar kredit untuk kelompok kredit korporasi di akhir tahun berada di angka rata-rata 11,87%; kredit ritel di angka rata-rata 13,04%; dan kredit mikro di angka rata-rata 15,46% (BI, 2015). Sementara Myanmar dengan tingkat suku bunga acuan sebesar 10%, tingkat suku bunga pinjaman (lending) mereka berada di angka maksimum 13% (Central Bank of Myanmar, 2015). Sementara itu, Vietnam dengan tingkat suku bunga acuan yang dikenal dengan refinancing rate mencatatkan angka 6,5% di akhir tahun (mengalami penurunan 50 bps dari posisi awal tahun), sedangkan tingkat suku bunga dasar pinjaman atau dikenal dengan interest rate berada di angka 9% (The State Bank of Vietnam, 2015).
Sementara itu, negara-negara ASEAN lainnya relatif memiliki tingkat suku bunga yang jauh lebih rendah dibanding tiga negara yang tertulis sebelumnya. Brunei sebagai negara yang paling less-miserable di dunia, mencatatkan tingkat suku bunga acuan di angka 5,50% (Autoriti Monetari Brunei Darussalam, 2015). Sementara Philipina sendiri mencatatkan tingkat suku bunga acuan di angka 4% di akhir tahun (Bangko Sentral ng Pilipinas, 2015). Selanjutnya Malaysia memiliki tingkat suku bunga di angka 3,25% di akhir tahun 2014 (Central Bank of Malaysia, 2014). Thailand berada di angka 2% di akhir tahun 2014 dan pada Maret 2015 malah menurunkan tingkat suku bunga acuan mereka ke angka 1.75% (Bank of Thailand, 2015). Selanjutnya Singapore, tercatat sebagai negara yang memiliki tingkat suku bunga acuan terendah di kawasan ASEAN. Dimana tingkat suku bunga mereka, yang dikenal dengan SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) hanya berada di angka 0,07% hingga 0,25% selama 2014 (Monetary Authority of Singapore, 2015).
Lebih lanjut berikut perbandingan Indonesia dengan negara-negara ASEAN terkait indikator yang dihitung dalam WMI, dalam persen (posisi akhir tahun 2014):


No.
Negara
Inflation Rate (Consumer Price)
Unemployment Rate
Interest Rate (Bank Central)*
GDP Per Capita Growth
1
Indonesia
        8,36         
6,17
7,75
4,51
2
Myanmar
3,98
4,02
10,00
11,12
3
Vietnam
1,84
2,10
6,50
4,32
4
Phillipines
2,70
6,00
4,00
5,32
5
Thailand
0,60
0,56
1,75
1,42
6
Singapore
-0,20
1,90
0,25
2,18
7
Malaysia
2,70
3,00
3,25
3,00
8
Brunei
1,20
1,10
5,50
-3.05













Ket: * data interest rate dalam WMI menggunakan lending rate
Sumber: berbagai sumber (2015)

Perkiraan Nilai Indeks WMI Indonesia Di Akhir 2015
Pada awalnya WMI dimaksudkan untuk mengukur kesejahteraan di masing-masing era kepemimpinan presiden di Amerika, namun seiring waktu semakin berkembang dan menjadi salah satu indeks untuk mengukur kondisi sosial-ekonomi masyarakat di dunia. Walau hanya dibatasi oleh empat indikator utama, tapi setidaknya sangat membantu untuk menjawab indikator apa yang menjadi isu utama bagi kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Dengan membandingkan data Indonesia dan negara-negara di kawasan ASEAN, dapat dilihat bahwa Indonesia berada di tingkat yang relatif kurang baik selama tahun 2014. Terlebih tingkat inflasi yang tinggi selama 2014, yang tercatat sebesar 8,36%, merupakan tertinggi di negara-negara kawasan. Namun perlu diingat bahwa kenaikan tingkat inflasi lebih didorong karena perubahan kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah terkait harga BBM bersubsidi dalam negeri. Namun seiring dengan harga minyak dunia yang masih berada di tingkat yang rendah dan shock inflasi yang mereda juga telah menggiring inflasi Indonesia ke tingkat yang lebih rendah. Hal ini diindikasikan dengan deflasi yang tercatat sebesar 0,24% di bulan Januari, sehingga juga mendorong bank sentral turut menurunkan suku bunga sebesar 25 bps (basis poin) di bulan Februari.
Ke depan, dari sisi inflasi-consumer price, seiring dengan pemerintah (dan kebijakan fiskal) yang bersifat pro-growth dan tercakup dalam program NAWA CITA-nya, maka diharapkan tekanan inflasi dari sisi manageable price (harga yang diatur pemerintah) dapat ditekan. Terlebih dengan harga minyak dunia yang masih berada di tingkat yang rendah, maka kemungkinan kemungkinan kelompok inflasi ini lebih dapat dijaga. Sementara dari sisi supply makanan yang mempengaruhi kelompok core-inflation (inflasi inti), dengan kondisi cuaca yang relatif baik dan kemungkinan shortage barang-barang kebutuhan pokok lain yang dijamin untuk diminimalisir oleh pemerintah serta ditambah dengan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas maka kemungkinan laju kelompok inflasi ini juga akan dapat ditahan. Sementara itu, tekanan inflasi dari kelompok volatile food (barang bergejolak) kemungkinan akan berlaku sebaliknya. Hal ini utamanya berasal dari barang-barang impor. Nilai tukar Rp-USD yang terdepresiasi, sementara penggunaan valuta USD terkait impor masih sebesar 60% ditambah dengan nilai share impor Amerika Serikat yang merupakan negara importir ke-enam di Indonesia (posisi Januari 2015-BI) menjadikan switching invoice currency dari USD ke mata uang lain menjadi semakin sulit. Begitupun dengan aktivitas hedging yang masih terbatas dilakukan oleh importir turut menjadikan tekanan harga dari sisi barang-barang impor semakin kuat.
Namun mengingat komponen inflasi yang lebih dipacu oleh core inflation, maka sangat beralasan bila BI menyatakan target inflasi pada 2015 akan bergerak di angka 4% (±1%). Sesuai dengan konsep ITF (inflation targetting framework) yang dianut BI dan adanya trilema kebijakan moneter, maka kemungkinan penurunan suku bunga bukanlah suatu hal yang aneh. Disamping juga didorong oleh penurunan suku bunga yang terlebih dahulu dilakukan oleh beberapa bank sentral di dunia, seperti Kanada, China dan India. Namun tapering-off yang dilakukan oleh The Fed memungkinkan adanya kekeringan likuiditas di dunia, termasuk Indonesia. Sehingga akan sangat beralasan bila dengan alasan-alasan diatas, tingkat suku bunga acuan BI akan bergerak di angka 7,5% (± 50 bps), dengan kecenderungan turun. Dengan asumsi kemungkinan terjadinya hal tersebut, maka lending rate Indonesia untuk kelompok korporasi akan mampu ditekan ke angka 10,00% hingga 11,00% di akhir tahun 2015. 
Dengan kondisi di atas, maka kemungkinan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibanding tahun 2014 akan sangat-sangat dimungkinkan. Karenanya tidak salah juga bila kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun 2015 akan berada di angka 5,5% - 6,5%, dan akan diikuti dengan pertumbuhan pendapatan per kapita akan berada di angka 4,5%-5,5%. Dengan skenario ini dan business as usual yang biasa terjadi di Indonesia, maka unemployment rate sendiri nantinya akan dapat ditekan menuju angka 5% hingga 6%.
Dengan kemungkinan asumsi-asumsi diatas, maka dengan perhitungan sederhana dimungkinkan bila nilai indeks WMI Indonesia di akhir tahun 2015 akan berada di angka 14,5 hingga 17,5. Merujuk pada nilai indeks WMI di 2014, ceteris paribus, maka peringkat WMI Indonesia akan berada diantara urutan ke-58 hingga urutan ke-69. Suatu penurunan peringkat yang cukup baik dibanding 2014, namun jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan, maka peringkat Indonesia hanya akan berada dibawah Myanmar ataupun Vietnam di akhir tahun 2015, itupun bila kedua negara tersebut masih berada pada path yang sama dengan 2014.
Tantangan Indonesia Di 2015
Diakui bahwa data dan analisis diatas masih bersifat sangat terbatas dan masih belum mencakup semua hal serta sudut pandang yang diperlukan. Terlebih tantangan utama perekonomian Indonesia saat ini lebih dikarenakan uncontrollable variable yang digunakan oleh pemegang kebijakan. Dari dalam negeri, situasi politik Indonesia yang belum settle dan terkadang malah sangat mampu berimbas pada perekonomian, baik melalui intervensi pada kebijakan fiskal dan moneter ataupun dengan merubah wajah investasi Indonesia secara langsung, akan tetap menjadi tantangan yang sangat kuat bagi perekonomian Indonesia ke depan.
Tantangan selanjutnya adalah dari sisi luar negeri. Dengan perekonomian yang terintegrasi, tentunya pergerakan ekonomi yang dilakukan oleh negara lain juga akan berdampak pada perekonomian Indonesia, khususnya dengan negara-negara mitra dagang dan mitra modal. Dari sisi perdagangan (baik ekspor maupun impor), negara-negara seperti China, Jepang, negara-negara ASEAN, Amerika Serikat dan Jerman dianggap sebagai negara-negara yang akan sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia.
Hal ini juga diikuti dengan beberapa isu yang berkembang di negara masing-masing, seperti isu tappering-off dan data ekonomi Amerika Serikat (khususnya pengangguran) yang semakin rendah telah mendorong aliran modal masuk kembali ke Amerika Serikat sehingga berakibat pada apresiasi USD terhadap semua mata uang dunia semenjak awal tahun; perlambatan ekonomi China yang diperkirakan oleh Citibank hanya akan mencapai 7,0%  di akhir tahun 2015 yang tidak hanya menggambarkan sisi demand China yang semakin tertekan, tetapi juga dunia, yang juga diikuti dengan pemotongan suku bunga acuan People Bank of China (Bank Sentral China) di Februari; agenda Abenomics yang bertujuan untuk mengakhiri stagnansi ekonomi Jepang melalui stimulus dalam negeri khususnya dengan mendorong konsumsi dalam negeri; agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan bergulir di akhir 2015 sehingga akan menurunkan trade barrier relatif mendekati nol; begitupun stimulus pasar keuangan yang mulai bergulir di Eropa melalui intervensi European Central Bank (Bank Sentral Uni Eropa) dirasa akan berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Hal ini juga diikuti dengan isu harga energi dunia yang anjlok (khususnya minyak dunia) yang bisa dikatakan sebagai blessing in disguise bagi Indonesia, dengan posisi Indonesia sebagai net-importir minyak dunia. Sebagai pelengkap, tentunya Invisible Hand merupakan hal yang sama sekali tidak bisa diatur oleh siapapun di dunia ini. Cuaca buruk,iklim yang tidak menentu, dan kejadian-kejadian lainnya utamanya yang akan menggeser supply curve ataupun demand curve tentu akan merubah hasil analisis ke tingkat yang berbeda dari yang diperkirakan. (FCP)




Tulisan ini juga telah di post di Update Makro Panin, edisi bulan Maret




Selasa, 31 Maret 2015
Meja samping jendela yang di samping komputer ada foto kamu nya :)

Comments

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...