Skip to main content

Relationship Marketing




Apa Itu Relationship Marketing
 
Secara umum, relationship marketing merupakan suatu strategi dalam memenangkan persaingan di industri yang hendaknya diarahkan untuk mendapatkan retention (perhatian) dan loyalitas (loyalty) nasabah yang tidak hanya untuk periode saat ini, tapi juga di masa depan. Karenanya fokus pada hubungan yang stabil dan terbina dengan baik dengan menghadirkan tingkat kepuasan (satisfaction) terbaik merupakan harga yang mesti disediakan oleh produsen 
(ataupun penyedia jasa) di sepanjang waktu, saat berinteraksi dengan konsumen (ataupun nasabah). Hal ini semata agar hubungan yang terjalin dapat bersifat jangka panjang (long-term).
Pada awalnya sendiri, konsep relationship marketing berangkat dari suatu konsep marketing dalam lingkup antar instansi/perusahaan (B to B marketing), dimana fokus yang dituju bukanlah jumlah sales ataupun jumlah transaksi, tapi lebih pada tingkat ingatan/perhatian konsumen terhadap produk (customer retention) dan tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction) sehingga mampu menimbulkan loyalitas (loyalty) dan jaringan (networking) yang lebih luas.
Pada 1990-an, relationship marketing semakin meluas, sehingga dikenal dengan suatu konsep untuk mengenal kebutuhan, keinginan dan ekspektasi spesifik dari konsumen dari horizon jangka waktu pendek (short-term) menuju jangka waktu yang lebih panjang (medium and long-term)[1]. Secara spesifik, hal ini tergambar dalam pernyatan Pathmarajah (1993) yang
menyatakan bahwa relationship marketing menandakan perubahan dari pola mass-marketing kepada cara niche-marketing (cara marketing yang lebih spesifik pada masing-masing konsumen), sehingga nantinya akan mampu menciptakan hubungan yang saling menguntungkan (profitable), personal, profesional dan bersifat jangka panjang.
Semenjak tahun 2000-an, khususnya seiring dengan perkembangan teknologi dan media komunikasi, konsep relationship marketing pun turut semakin meluas. Sehingga tidak mengherankan pula jika konsep ini mulai bertransformasi pada konsep marketing communication, atau media dan cara menyampaikan program marketing yang hendak disampaikan kepada calon (ataupun existing) konsumen. Sehingga istilah relationship marketing pun semakin berkembang dan bertransformasi ke dalam bentuk marketing program (berupa outbond-marketing dan inbound-marketing), namun tentunya tetap berpegang pada value-added berupa pengenalan nasabah secara lebih spesifik.
Marketing Program (Outbond VS Inbound Marketing)
Layaknya hubungan yang horizontal (horizontal relationship) sesama manusia,  bentuk marketing program berupa outbond ataupun inbound marketing lebih merujuk pada bagaimana dan cara yang ditempuh oleh produsen (ataupun penyedia jasa) dalam berinteraksi dengan  para konsumen (ataupun nasabah)-nya. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa baik inbound maupun outbond marketing lebih dibedakan pada bagaimana cara dan media berkomunikasi yang dipilih dalam menyampaikan informasi yang ingin disebarluaskan oleh produsen (atau penyedia jasa) pada konsumen (ataupun nasabah) mereka.
Secara sederhana, outbond marketing[2] dapat diartikan sebagai suatu proses proaktif dalam menemukan, mempromosikan dan berinteraksi dengan konsumen potensial agar mereka memiliki ketertarikan untuk seterusnya melakukan pilihan untuk meng-konsumsi (ataupun melakukan akuisisi) terhadap produk yang ditawarkan. Bentuk marketing seperti ini merupakan bentuk marketing yang relatif tradisional dan sudah mahfum dilihat sedari dulu. Menggunakan tenaga marketing dengan mendatangi konsumen potensial secara face to face, membuat dan menyebarluaskan iklan di TV serta radio, mengirimkan email blast, pengiriman surat promo ke alamat yang bersangkutan, menggunakan telemarketing dalam menghubungi konsumen, ataupun aktivitas public relation lainnya merupakan beberapa contoh outbond marketing yang sudah lazim dilakukan. Secara sederhana, hal yang paling men-ciri-kan outbond marketing ini adalah interaksi yang lebih bersifat satu arah (one-way) dari produsen (atau penyedia jasa) ke konsumen (ataupun nasabah) eksisting dan potensial mereka.
 
Sebaliknya, inbound marketing relatif dapat diartikan sebagai bentuk promosi produk dengan mengharapkan adanya respon (getting found) ataupun tindakan pro-aktif dari konsumen potensial, dengan konten promosi yang biasanya relatif menggambarkan kualitas suatu produk ataupun bentuk advokasi kepada para konsumen potensial tersebut. Bentuk marketing seperti ini dapat dicontohkan berupa white-paper, promosi berbentuk interaksi (ataupun quiz) di sosial media (twitter, facebook,LinkedIn ataupun blog), dan bentuk lainnya. Dan karena inbound marketing mengharapkan adanya respon oleh konsumen, maka tidak heran bila hal utama yang mencirikan bentuk marketing ini adalah adanya interaksi dua arah yang timbul antara konsumen dengan produsen (ataupun penyedia jasa).


Karena bentuk, nature, keunggulan dan perilaku (ataupun target) konsumen yang berbeda-beda, maka tidak heran bila kedua bentuk marketing program tersebut hendaknya bersifat komplementer (saling melengkapi) satu sama lain, bukannya malah bersifat saling mengkerdilkan (inferior). Bagaimanapun jika berbicara lama (waktu) pencapaian dan hasil nyata yang dapat dilihat dari cara marketing program, outbond marketing dirasa akan lebih unggul dibanding inbound marketing. Sementara jika melihat dari biaya (cost) yang dikeluarkan dan tenaga (effort) yang dikeluarkan dalam menggaet konsumen, tentunya inbound marketing akan relatif lebih efisien dibanding outbond marketing.
Marketing Program dan Relationship Marketing
Sesuai dengan konsep relationship marketing yang lebih mengedepankan pada pengenalan secara spesifik konsumen (baik eksisting maupun potensial), tentunya akan lebih baik jika marketing program yang dilakukan pun diarahkan pada tujuan akan terciptanya satisfaction (kepuasan) dan loyalty (loyalitas) nasabah di masa ini dan masa depan,  sehingga networking yang dihasilkan pun semakin maksimal. Walau hasil yang didapatkan bukanlah dalam bentuk hal yang instan dan terkadang hanya terukur secara samar (karena tidak adanya tambahan macam/bentuk ataupun nilai produk yang digunakan secara langsung), tetapi lebih pada konsistensi hubungan kedua belah pihak (konsumen-produsen) dan networking yang semakin berkembang, atau bahkan mungkin saja dapat mengembalikan konsumen yang sebelumnya telah berpaling (get back). Mengingat perlunya hal ini, maka tidak mengherankan bila terkadang marketing program yang digunakan oleh para marketer adalah networking (ataupun pihak yang bekerjasama) dengan mereka, dibanding dengan keunggulan produk yang mereka punya, terlebih di dalam industri yang bersifat jasa (misal: perbankan, perdagangan, konsultan, dll).
Adapun bentuk hubungan yang terbentuk antara produsen dan konsumen dalam kaitannya dengan loyalitas mereka, kira-kira dapat digambarkan pada gambar di bawah. Pertama, hubungan antara konsumen dan produsen (ataupun penyedia jasa) tentunya terbentuk dikarenakan adanya interaksi berupa marketing program. Marketing program, baik dalam bentuk iklan di TV dan radio (atau dinamakan dengan outbond marketing), serta melalui inisiatif konsumen ataupun nasabah nya sendiri (ataupun inbound marketing) inilah yang menimbulkan awareness (tahu) dari konsumen. Jika hal ini terjadi secara berkelanjutan dan membekas di ingatan konsumen, maka tahapan berikutnya dari customer journey akan beranjak pada tahapan retention (ingat).

 

Setelah tahapan aware (tahu) dan retention (ingat), maka proses selanjutnya bagi produsen adalah menarik dan menyakinkan konsumen untuk melakukan konsumsi (ataupun akuisisi) terhadap produk yang ditawarkan. Jika produk tersebut dirasa sesuai dengan needs and wants (kebutuhan dan keinginan) konsumen, apalagi secara spesifik, tentu hal ini akan semakin mempermudah konsumen tertarik dengan produk tersebut, untuk selanjutnya terciptalah proses konsumsi (atau akuisisi). Dalam proses konsumsi ini, tentunya akan menimbulkan efek puas (satisfied) atau kurang puas /tidak puas (unsatisfied) dari konsumen. Tingkat kepuasan (baik satisfied dan unsatisfied) sendiri merupakan suatu proses untuk mengukur apakah produk tersebut sesuai/kurang/tidak sesuai dengan ekspektasi konsumen saat awal memutuskan apakah akan melakukan konsumsi. Saat seorang konsumen merasa satisfied, tahapan berikutnya adalah menjadikan konsumen tersebut untuk loyal (setia atau selalu menggunakan) produk yang ditawarkan tersebut.
Saat konsumen sudah mencapai tingkat loyal terhadap suatu produk, ini lah tingkatan tertinggi dari customer journey. Layaknya seorang patriot yang cinta pada tanah airnya, seorang konsumen yang loyal juga terkadang akan mati-matian menjadi “tentara berani mati” yang mempromosikan produk yang digunakannya (melalui word of mouth), ataupun menjadi ksatria yang bersedia membela produk tersebut.
Mengingat customer journey yang terbentuk dan tahapan yang diperlukan untuk mencapai loyal-nya seorang nasabah, maka sinergitas yang baik dari tahapan awal hingga kontinuitas interaksi antara produsen dengan konsumen (ataupun nasabah) mestilah diperhatikan. Karenanya, tidaklah sulit untuk menyimpulkan bahwa antara marketing program dan konsep relationship marketing hendaknya saling sinergi dalam mencapai tujuan saat ini dan masa depan, memperbesar market share misalnya. Pasar yang bergerak dan berkembang secara dinamis (utamanya perbankan) dengan berbagai variabel konektivitas antar pelaku di dalamnya, baik dari sisi perbankan nya sendiri (sisi operasional, supporting ataupun pesaing) dan dari sisi konsumen (utamanya perubahan pola konsumsi masyakarat), tentu dirasa akan menjadi tantangan yang mau-tidak mau mesti dihadapi. Namun dengan konsep yang jelas, terarah dan tergambar dalam satu kesatuan yang utuh tentu tantangan yang ada akan bisa diminimalisir, sebaliknya malah akan mampu menjadikan tantangan sebagai keunggulan komparatif dibanding pelaku industri lainnya. (FCP)
 







[1] Chirica, Catalina, (2013), Relationship Marketing - Best Practice In The Banking Sector, Amfilteatru Economic
[2] Holmes, Tyrone A., (unknown), Inbound vs. Outbound Marketing for Your Business
[4] Disarikan dari berbagai sumber
 




Ditulis juga di Update Makro Panin-Bulan Februari 2015
(ini gw tulis sebelum jalan ke Derawan) 

Di post di meja samping jendela, lantai 7
Tgl 4 Maret 2015, jam 11.00 WIB

Comments

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...