Superstar! Banyak diantara masyarakat tentunya mau menjadi mereka.
Memiliki popularitas, gaya hidup berkelas dan tentunya uang berlimpah.
Dengan mengasumsikan bahwa superstar adalah 1% kelompok artis dengan pendapatan teratas.
Maka anda tidak akan salah bilang bahwa mereka sangat-sangat memiliki uang
dan mendominasi share pendapatan,
bahkan di kalangan sesama artis sendiri. Hal ini dibuktikan oleh survei yang
dilakukan Midia Consulting selama
2013 terhadap artis yang berasal dari industri musik, dimana tercatat bahwa
secara global superstar membukukan
77% dari share pendapatan artis di
seluruh dunia (gambar 1). Dan yang
paling mencengangkan adalah kenyataan bahwa dominasi mereka sangat terlihat
dari beragam bentuk digital.
|
Gambar 1 : Share Of Artist Recorded Music Income Accounted By Superstar Artist By
Revenue Type - 2013
(Midia
Consulting, 2014)
|
|
Karenanya tidak mengherankan bila artis yang “kurang
menjual” dalam bentuk konvensional (rekaman fisik), akan semakin sulit untuk
bersaing dalam bentuk digital. Akibatnya muncullah istilah “artis karbitan”.
Hits dalam waktu tertentu dan lalu hilang sekejap mata. Apalagi jika tidak
bisa menyesuaikan dengan selera jaman, “superstars
do not exist because of differences in talent, but because of the need of
consumers to have a common culture” (Adler,
2005).
Dalam
ilmu ekonomi, fenomena terpolarisasi pendapatan pertama kali dikembangkan
oleh Rosen (1981)[1],
yang dikenal dengan “economics of
superstar”. Dengan mengasumsikan bahwa setiap orang bermotif untuk
mencapai maximum utility masing-masing
sehingga muncullah imperfect
substitution di sisi demand dan
supply (gambar 1). Akibatnya
konsumsi masyarakat terpusat pada bentuk entertainmen yang paling menghibur
dan “terjangkau” bagi mereka (di perpotongan p dan q).
Sementara jika mengasumsikan bahwa common culture diartikan sebagai
budaya pop dalam masyarakat. Maka kecenderungan masyarakat untuk memilih pilihan entertainmen
yang sedikit di atas kemampuan riil (selama masih dalam batas willingness to pay) mereka akan
terjadi. Akibatnya walaupun terdapat perbedaan kemampuan (pendapatan
masyarakat), misalnya antara garis s1
maupun s2, tetapi pola konsumsi
entertainmen nya akan sama. Ini lah yang akan merubah pola konsumsi masyarakat
menjadi berbentuk patah, kinked curve,
(lingkaran merah, gambar 2). Hal
ini yang menjelaskan kenapa pendapatan artis kembali terpolarisasi kepada
para superstar. Walau bagi konsumen
tipe ini (s2) konsekuensi jumlah
konsumsi riil entertain akan jauh berkurang dibanding konsumen dengan
tipe pendapatan yang lebih tinggi (s1).
| ||
Gambar 2.1 Competitive
Supply Price
|
Gambar 2.2 Equalizing
Differencing Function
|
Secara lebih luas, “economics
of superstar” ini dapat diaplikasikan dalam semua segi sendi kehidupan,
tidak hanya dalam dunia entertainmen. Bagi dunia perbankan, setidaknya teori
ini bisa menjadi salah satu alternatif jawaban bagi pertanyaan “kenapa bank besar tetap menarik bagi
konsumen, padahal terkadang biaya administrasi (dan biaya lain-lain) yang
dikenakan lebih tinggi serta tingkat bunga yang ditawarkan juga lebih kecil?”.
Rasional-nya, tentunya seorang konsumen akan cenderung memilih bank yang
mampu memberikan imbal hasil (dalam bentuk tingkat bunga) yang lebih tinggi, dan juga dengan biaya (biaya adminsitrasi dan biaya lain) yang
lebih kecil, dimana ke-dua hal ini lebih
cenderung ditawarkan oleh bank-bank yang lebih kecil. Tetapi nyatanya,
konsumen (masyarakat) lebih cenderung untuk tetap lebih memilih (dan terpusat)
pada “superstar bank” sebagai
penyedia jasa keuangan mereka. Asumsinya “superstar
bank” adalah bank yang memiliki tingkat awareness sangat baik disertai dengan nilai top of mind tertinggi terhadap indikator “bank apa yang akan digunakan oleh konsumen dalam menjawab kebutuhan
perbankan masyarakat”.
Kecenderungan ini dapat tercermin
dari nilai BOPO dan pendapatan operasional dari top-10 bank di Indonesia (gambar 3). Gambar ini tentunya dapat
memunculkan hipotesis bahwa “superstar
bank” di Indonesia (lebih sering digunakan sebagai mediator transaksi
keuangan dibanding bank yang lebih kecil, sehingga
tak mengherankan bila fee-based income
(sebagai salah satu variabel pembentuk pendapatan operasional) akan semakin
tinggi. Sejalan dengan posisinya sebagai “superstar
bank”, maka kemungkinan hipotesis lain, dimana pendapatan operasional
(bunga dan NIM) akan makin baik sehingga akan menekan rasio nilai BOPO menjadi
lebih rendah, akan semakin terbukti.
Gambar 3. BOPO dan Pendapatan
Operasional Selain Bunga
Top 10 Bank -September 2014
(Laporan TiapBank, 2014) |
Jika
memang begitu, tentunya hipotesis yang menyatakan bahwa cara menarik konsumen
(masayarakat) dengan cara konvensional (dengan menawarkan bunga tabungan yang
tinggi dan biaya yang rendah) sudah kurang relevan saat ini. Artinya hal ini
hendaklah digantikan dengan kebutuhan untuk meningkatkan awareness (dan top of mind)
konsumen, serta dengan meningkatkan kepekaan terhadap consumer behavior (needs
and wants, serta lifestyle – common
culture) menjadi suatu hal yang sangat perlu dilakukan saat ini. Tapi tentunya
dengan catatan bahwa selama produk tersebut masih berada dalam willingness to pay (di garis s1 dan s2-gambar 2) masyarakat
(atau konsumen).
Disamping
itu, produk digital yang menjadi sumber utama para superstar juga perlu diperhatikan, apalagi terkait dengan
industri jasa perbankan. Bagaimanapun, bentuk digitalisasi yang breakthrough akan berdampak lebih besar
dalam mendongkrak awareness suatu
bank.
Dalam
bidang lain, digitalisasi ini dapat diperlihatkan dengan berkembangnya
fenomena televisi yang sudah menjadi kebutuhan saat ini, contoh konkritnya
terlihat pada pendapatan para pemain sepakbola. Walau mereka tidak
bersentuhan sama sekali dengan penemuan dan pengembangan teknologi TV, tapi
lihat lah dampaknya. Pele yang dianggap
sebagai bintang sepakbola sepanjang
masa, pada saat jayanya hanya memiliki pendapatan sebesar USD 150,000
per tahun (saat ini kira-kira USD 1,1 juta). Bandingkan dengan Christiano
Ronaldo (dengan kemampuan yang tidak jauh lebih baik) memiliki pendapatan
sebesar USD 17 juta di tahun 2010 (NY-Times,
2010). Bentuk teknologi digital berbentuk makin luasnya jaringan TV yang
sudah menjangkau 200 negara dan 25 juta pemirsa seluruh dunia tentu merupakan
salah satu jawaban perbedaan pendapatan tersebut. (FCP)
[1] The Economics of Superstars, Rosen
(1981)
Di post di Panin, 11 November 2014
Ini juga dimasukkan dalam update Makro Panin bulan November
Comments