Skip to main content

RENMIMBI CHINA (CNY) SEBAGAI GLOBAL RESERVE CURRENCY BARU?



Setiap 5 tahun sekali para excecutive board-IMF sebagai penerbit SDR (Special Drawing Rights), yang berfungsi sebagai international reserve asset atau aset cadangan internasional, melakukan peninjauan kembali terhadap jumlah, komposisi, alokasi, efektivitas penggunaan SDR dan tingkat suku bunga dalam sistem keuangan cadangan global (basket of global reserve currencies) yang tergabung dalam SDR. Sebagai pengingat, dalam pertemuan terakhir di Washington, yang dikuatkan dengan IMF-Press Release No. 10/434 tertanggal 15 November 2010, terjadi perubahan komposisi pembobotan rata-rata dari nilai mata uang yang digunakan. Dimana dari empat mata uang yang digunakan
(yakni U.S. dollar, euro, pound sterling, dan Japanese yen), euro menjadi mata uang dengan komposisi yang meningkat secara signifikan. Nilai pembobotan baru sendiri dilakukan pada tanggal 30 desember 2010, dan efektif berlaku semenjak tanggal 3 Januari 2011. Disamping itu, perubahan pembobotan komposisi mata uang, juga berakibat pada pembobotan tingkat bunga yang digunakan sebagai penentu suku bunga IMF. Lebih lanjut, penentuan suku bunga sesuai dengan komposisi mata uang dalam SDR kembali dilanjutkan menggunakan metode penentuan nilai rata-rata harian dalam satu minggu sesuai dengan pembobotan dari instrumen suku bunga jangka pendek dari masing-masing mata uang (yakni three-months Treasury bills dari Amerika Serikat, Britania Raya dan Jepang, serta three-month Europe rate) yang tergabung dalam SDR.
Tabel 4.1 Komposisi Pembobotan Mata Uang Dalam SDR
(dalam Persen)
Keterangan:
1: Pada 2010, metode persentase menjadi 1 angka di belakang koma.
Sumber ;  IMF (2015)
Di tahun 2015 ini, kembali excecutive board-IMF dijadwalkan akan bertemu di Lima (Peru) pada tanggal 9-11 Oktober nanti. Saat ini, selain isu komposisi pembobotan mata uang yang tergabung dalam SDR, isu utama akan terfokus pada kemungkinan adanya tambahan mata uang (yakninya CNY atau Chinese Renmimbi) untuk tergabung dalam SDR. Isu ini sendiri sebenarnya telah bergulir pada pertemuan IMF di tahun 2010. Namun disebabkan penggunaan CNY masih berada di urutan ke-17 dari mata uang terbanyak digunakan dalam sirkulasi pasar uang antar negara, disamping kebijakan ekonomi dan moneter yang pada saat itu masih terkesan tertutup, menjadikan wacana penambahan tersebut urung dilakukan. Namun seiring dengan makin terbukanya perekonomian di China dan dukungan dari pemerintahan China (Bloomberg, 11 Desember 2014)[1] dan Bank Sentral China (Bloomberg, 23 Maret 2015)[2] untuk mendorong CNY sebagai salah satu bagian dari SDR, menjadikan isu tergabungnya CNY dalam kelompok SDR kembali menyeruak dalam pasar keuangan dan perekonomian dunia secara gobal. Selain dari dalam negeri, dukungan agar CNY berperan dalam SDR juga mendapat dukungan dari Jerman dan Australia (WSJ, 1 April 2015)[3]. Dukungan penggunaan CNY sebagai salah satu komponen SDR juga diharapkan agar keseimbangan pasar uang global yang selama ini lebih dikuasai oleh USD menjadi lebih berimbang.
Mengukur Kemungkinan Penggunaan CNY Sebagai Salah Satu Bagian SDR
Kemungkinan penggunaan CNY sebagai bagian dari SDR sendiri setidaknya harus memenuhi 2 fungsi utama SDR, yakni desirable dan accessible. Desirable dapat diartikan bahwa mata uang tersebut dapat digunakan sebagai alat tukar dan memiliki nilai tertentu terhadap semua barang/jasa yang diperdagangkan. Sementara accessible bermakna bahwa mata uang tersebut dapat digunakan secara luas, baik di dalam negeri (negara asal mata uang tersebut) maupun di luar negeri. Dari dua fungsi utama SDR tersebut, sepertinya CNY sudah memenuhi hal-hal tersebut.
Ukuran desirable dan accessible setidaknya dapat dilihat dari indikator berikut:
Pertama, dari sisi penggunaan mata uang CNY dalam perputaran uang dunia secara global.
Dari data terakhir yang dimiliki oleh BIS, dilakukan dengan metode survei setiap 3 tahunan atau dikenal dengan Triennial Central Bank Survey (lihat tabel 4.2, dibawah), pada 2013 CNY berada dalam urutan ke-sembilan sebagai mata uang yang paling banyak digunakan dalam perputaran pasar uang global. Nilai tersebut memang masih rendah dibanding penggunaan Dollar-Australia (AUD), Swiss-Franc (CHF), Dollar-Canada (CAD), Peso-Mexico (MXN), terlebih bila dibandingkan dengan empat mata uang yang telah tergabung dalam SDR (yakni USD, EUR, JPY, ataupun GBP).
Namun ada baiknya pula dengan melihat bagaimana laju share mata uang tersebut dalam beberapa waktu terakhir. Pada tabel 4.2 (dibawah), juga dapat dilihat bagaimana pesatnya pertumbuhan share CNY dalam perputaran pasar uang dunia. Terlihat bahwa pada tahun 1998, 2001, dan 2004, CNY hanya berada di peringkat ke 30, 35, dan 29 dalam perputaran mata uang global. Selanjutnya di tahun 2007 dan 2010, CNY menunjukkan share yang makin baik, dengan berada pada peringkat ke-20 dan ke-17. Dan pada survei terakhir yang dilakukan pada 2013, CNY mengalami peningkatan share yang signifikan, dan berada pada peringkat ke-sembilan. Merujuk pada peningkatan share yang signifikan ini, bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa dalam survei tiga tahunan berikutnya (yakni di tahun 2016) CNY akan menjadi salah satu dari lima besar mata uang yang dipergunakan dalam pasar uang global. Karenanya, dengan merujuk pada hal ini, kemungkinan untuk menjadikan CNY sebagai salah satu komponen SDR adalah suatu hal yang sangat realistis dilakukan.
Tabel 4.2  Distribusi Perputaran Mata Uang Dalam Pasar Uang Global
Net-Net Basis1
(Dalam Rata-Rata Perputaran Persentase Harian di Bulan April2)
Currency
1998
2001
2004
2007
2010
2013
Share
Rank
Share
Rank
Share
Rank
Share
Rank
Share
Rank
Share
Rank
USD
86.80
1
89.90
1
88.00
1
85.60
1
84.90
1
87.00
1
EUR
32
37.90
2
37.40
2
37.00
2
39.10
2
33.40
2
JPY
21.70
2
23.50
3
20.80
3
17.20
3
19.00
3
23.00
3
GBP
11.00
3
13.00
4
16.50
4
14.90
4
12.90
4
11.80
4
AUD
3.00
6
4.30
7
6.00
6
6.60
6
7.60
5
8.60
5
CHF
7.10
4
6.00
5
6.00
5
6.80
5
6.30
6
5.20
6
CAD
3.50
5
4.50
6
4.20
7
4.30
7
5.30
7
4.60
7
MXN³
0.50
9
0.80
14
1.10
12
1.30
12
1.30
14
2.50
8
CNY³
0.00
30
0.00
35
0.10
29
0.50
20
0.90
17
2.20
9
NZD³
0.20
17
0.60
16
1.10
13
1.90
11
1.60
10
2.00
10
OTHER
66.20

19.50

18.80

23.90

21.10

19.70

Total
200.00

200.00

200.00

200.00

200.00

200.00

Keterangan:
1; Adjusted for local and cross- border inter- dealer double- counting (ie “ net- net” basis).
2; Because two currencies are involved in each transaction, the sum of the percentage shares of individual currencies totals 200% instead of 100%.
3; Turnover for years prior to 2013 may be underestimated owing to incomplete reporting of offshore trading in previous surveys. Methodological changes in the 2013 survey ensured more complete coverage of activity in emerging market and other currencies.
4; Turnover may be underestimated owing to incomplete reporting of offshore trading.
Sumber ;  BIS (2013)
Kedua, dari besaran dan pengaruh perdagangan China.
Saat ini China tercatat sebagai negara dengan total nilai perdagangan terbesar di dunia, mengalahkan Amerika Serikat, bahkan semenjak tahun 2012 (lihat gambar 4.1, dibawah). Menggunakan data perdagangan yang dihimpun WTO di tahun 2014, tercatat bahwa nilai total perdagangan China telah mencapai USD 4,3 triliun. Jumlah ini setara dengan lebih dari sepersepuluh (tepatnya sebesar 11,3%) dari total nilai perdagangan global di tahun yang sama.
Jumlah total nilai perdagangan ini utamanya ditunjang oleh nilai ekspor dari negara ini yang mencapai USD 2,3 triliun (atau sebesar 12,3% dari total nilai ekspor dunia), sementara impor ke negara ini di tahun yang sama mencapai
Gambar 4.1  Persentase Share Total Perdagangan Dunia
Di 10 Negara
Tahun 1998 – Tahun 2014
Sumber ;  WTO (2015)
USD 2,0 triliun (atau sebesar 10,26% dari total nilai impor dunia). Besarnya nilai ekspor dibanding nilai impor, juga turut mendorong surplus neraca perdagangan negara ini di tahun 2014 menjadi sebesar USD 382,95 miliar di tahun yang sama.
Dengan besarnya nilai perdagangan yang dimiliki (baik secara total ataupun dari sisi ekspor dan impor), serta besaran surplus neraca perdagangan yang dihasilkan, tentu China merupakan negara yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan dalam perdagangan dunia. Sehingga kemungkinan dorongan penggunaan CNY dalam perdagangan antara China dengan mitra dagangnya akan semakin tidak terelakkan. Dengan pengaruh dan penggunaan CNY yang semakin tinggi, kemungkinan negara-negara mitra dagang juga akan turut mendorong CNY sebagai salah satu komponen mata uang SDR.
Gambar 4.2  Persentase Share Total Ekspor Dunia
Di 10 Negara
Tahun 1998 – Tahun 2014
Sumber ;  WTO (2015)
Gambar 4.3  Persentase Share Total Impor Dunia
Di 10 Negara
Tahun 1998 – Tahun 2014
Sumber ;  WTO (2015)
Sementara itu, dengan melihat pada besaran neraca perdagangan yang terjadi dalam 15 hingga 20 tahun terakhir, terlihat bahwa China selalu mencatatkan nilai surplus, hal yang sangat kontras jika dibandingingkan dengan Amerika Serikat, yang berlaku sebaliknya (lihat gambar 4.4, dibawah). Karenanya tidak heran bila negara-negara dunia memperlihatkan keberpihakan mereka pada China dalam mendorong CNY sebagai salah satu komponen SDR. Setidaknya hal ini memiliki dasar berupa pemikiran yang berasal dari Robert Triffin pada awal berlakunya sistem Bretton Wood-1, atau dikenal dengan Triffin Dillema.[4]
Secara sederhana, Triffin Dillema menggambarkan bagaimana besarnya pengaruh ketidakseimbangan transaksi berjalan yang akan mengakibatkan besarnya volatilitas nilai tukar USD, dan dalam jangka panjang beresiko dalam menurunkan nilai riil cadangan devisa yang diletakkan dalam bentuk mata uang USD sebesar peningkatan defisit external (transaksi berjalan) yang terjadi di Amerika Serikat sendiri. Salah satu hal yang mampu memunculkan defisit transaksi berjalan adalah defisit neraca perdagangan Amerika Serikat yang mengakibatkan aliran USD semakin besar keluar dari Amerika Serikat, dengan kata lain akan mendorong peningkatan likuiditas global. Sayangnya, dengan flexible exchange rate system yang dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia, keadaan tersebut akan mengakibatkan depresiasi USD terhadap mata-mata uang dunia lainnya. Di sisi lain, hal ini juga akan mendorong penurunan tingkat kepercayaan terhadap USD sebagai mata uang cadangan internasional dikarenakan adanya penurunan nilai riil USD dibandingkan dengan emas sebagai base money-nya (USD-gold parity).
Karenanya pemikiran akan ketergantungan yang sangat besar pada satu (dan hanya pada beberapa) mata uang utama sebagai mata uang cadangan dunia hendaknya diperkecil, atau di diversifikasi. Hal ini dikarenakan ketergantungan yang besar dirasa tidak hanya akan berakibat buruk pada sistem perekonomian dunia secara umum, berupa polarisasi perekonomian, tapi juga risk sharing yang juga terpolarisasi hanya di satu (dan beberapa) mata uang asal penerbit mata uang tersebut. Sehingga dengan memasukkan CNY sebagai salah satu komponen SDR, polarisasi perekonomian begitupun dengan risk sharing antar negara juga dapat lebih berimbang dan ter-diversifikasi.
Gambar 4.4  Nilai Net Ekspor 10 Negara Di Dunia
Tahun 1998 – Tahun 2014
(Dalam Milyar USD)

Sumber ;  WTO (2015)
Ketiga, dari sisi tingkat suku bunga (interest parity).
Perlu diketahui bahwa SDR selain bertindak sebagai global reserve currency, juga bertindak sebagai penentu tingkat pinjaman negara-negara di dunia, utamanya terkait pinjaman yang melalui IMF. Karenanya, SDR selain memiliki tingkat nilai tukar terhadap keseluruhan mata uang di dunia, juga memiliki tingkat suku bunga (SDR interest rate). Dimana  tingkat nilai tukar dan tingkat suku bunga akan ditentukan setiap minggu-nya sesuai dengan komposisi nilai mata uang dari masing-masing mata uang yang tergabung dalam SDR.
Jika tingkat nilai tukar, terlebih dalam sistem flexible exchange rate yang saat ini dianut oleh negara-negara dunia, maka tingkat nilai tukar akan mengikuti pergerakan di pasar uang global. Sementara tingkat suku bunga akan ditentukan oleh otoritas moneter di masing masing negara (utamanya oleh bank sentral di masing-masing negara). Sayangnya, tingkat
suku bunga China yang relatif sangat tinggi dibanding empat negara (atau kawasan) yang telah tergabung sebagai komponen SDR bisa menjadi ganjalan bagi kemungkinan penggunaan CNY sebagai reserve currency.
Keempat, dari sisi historical dan financial-political power.
Dari sisi sejarah, CNY ataupun China belum pernah menjadi sosok sentral sebagai reserve currency dunia ataupun berada di pusat sistem perekonomian dunia (lihat gambar 4.6, dibawah).  Namun seiring dengan
Gambar 4.5. Perkembangan Tingkat Suku Bunga
Dari Negara Utama Dunia
Sumber ;  Bank Indonesia (2015)
 sistem Bretton Wood (Bretton Wood-I dan Post-Bretton Wood) yang dimulai dari semenjak 1949 dan dianut hingga saat ini, perlu dilihat bahwa reserve currency yang dipilih (selain harus bersifat accessible dan desirable) juga merupakan mata uang yang memiliki kecenderungan nilai riil yang tetap. Pada era Bretton Wood-I (periode 1949 hingga 1969) emas lah yang dijadikan sebagai reserve currency dunia. Namun dengan alasan accessible, dikarenakan berat emas yang sulit dipindahtangankan terlebih jika dilakukan transaksi dalam jumlah yang besar, maka reserve currency diganti menjadi USD. Alasan utamanya adalah kemudahan melakukan transaksi, disamping itu juga dikarenakan saat itu lebih kurang sebesar dua pertiga dari cadangan emas dunia dipegang oleh Amerika Serikat. Besarnya cadangan emas Amerika Serikat sendiri merupakan dampak dari dominasi Amerika Serikat dalam perekonomian dunia (dominasi terhadap total perdagangan dunia sebanyak  14,09% dalam periode 1948 hingga 1968, dengan rata-rata surplus perdagangan sebesar 2,68 milyar USD per tahun), disertai dengan rasio jumlah hutang Amerika Serikat dibanding dengan cadangan emas (dalam gram) yang sama.
Gambar 4.6. Sejarah Perkembangan Dominasi Mata Uang Internasional
Dalam Perkembangan Ekonomi Global

Namun, seiring dengan perang Vietnam di periode 1960-an yang menjadikan defisit anggaran dan perdagangan Amerika Serikat semakin membesar, sehingga mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk mencetak uang lebih banyak. Akibatnya USD mengalami depresiasi nilai, begitupun dengan rasio hutang terhadap cadangan emas yang membesar, akibatnya IMF mencoba membuat reserve currency baru, menggantikan USD, yang dikenal dengan SDR (Bordo, 1991)[5], dengan komposisi USD, GBP, JPY, DEM dan FRF (dua mata uang terakhir diganti dengan EUR semenjak 1999). Pemilihan komponen mata uang tersebut didasarkan pada besaran total perdagangan, besaran penggunaan mata uang negara-negara tersebut di dunia, dan juga political power mereka di IMF (sesuai dengan penyertaan modal di IMF).
Adapun besaran komposisi voting dalam pengambilan keputusan di IMF sendiri dapat dilihat pada tabel 4.3 (disamping). Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa Amerika Serikat merupakan negara terbesar yang memiliki peranan dalam pengambilan keputusan di IMF, termasuk pengambilan keputusan terkait komposisi ataupun selanjutnya pada mata uang yang termasuk dalam komponen SDR. Sebagai pertimbangan, perubahan komposisi dari empat mata uang yang tergabung dalam SDR saat ini sendiri setidaknya mesti disepakati oleh paling kurang oleh 85% hak voting yang tergabung dalam IMF (foreign policy, 16 Juni 2015).[6]
Tabel 4.3  Besaran Komposisi Voting
10 Negara Terbesar di IMF
Negara
Post-2008 Reform
Post-2010
United States
16.72
16.47
Japan
6.22
6.14
Germany
5.80
5.31
France
4.28
4.02
United Kingdom
4.28
4.02
China
3.80
6.07
Italy
3.15
3.02
Saudi Arabia
2.80
2.01
Canada
2.55
2.21
Russia
2.39
2.59
Lainnya
48.00
48.15
Sumber: IMF (2015)[7]
Jika cara pengambilan keputusan yang sama juga berlaku bagi pengambilan keputusan terhadap penambahan CNY sebagai tambahan komponen yang tergabung dalam SDR. Maka secara matematika sederhana, kalaupun semua negara yang tergabung dalam IMF menyetujui keputusan tersebut, namun apabila Amerika Serikat sendiri tidak menyetujui, maka usulan tersebut tentunya akan langsung mentah. Disamping pengaruh dan hak voting Amerika Serikat yang cukup besar dalam forum IMF, perlu diingat juga bahwa Amerika Serikat juga memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan di badan ini. Tentu bukan suatu hal yang mudah bagi Amerika Serikat untuk menyetujui memasukkan CNY dalam komponen SDR. Karena hal ini juga dapat diartikan dengan menurunkan pengaruh mereka secara sukarela dalam sistem perekonomian, dan lebih lanjut pada sistem politik dunia. Walau saat ini, government bonds (surat hutang Amerika Serikat) sendiri lebih banyak dipegang oleh investor-investor dari China, tapi tentunya suatu lobi ekonomi dan politik yang sangat kuat mutlak diperlukan oleh China untuk mendorong Amerika Serikat setuju untuk menjadikan CNY sebagai salah satu komponen SDR.
Kesimpulan Kemungkinan CNY Sebagai Global Currency Baru
Pada bulan Oktober 2011 sebelumnya, IMF Excecutive Board telah membuka diri akan adanya kemungkinan perluasan mata uang yang tergabung dalam SDR.[8] Dari dua faktor pendorong (yakni jumlah penggunaan mata uang dan besaran pengarh perdagangan) serta dua faktor penghambat (yakni tingginya tingkat suku bunga dan financial-political power yang dimiliki), dimana keduanya relatif memiliki kekuatan yang sama. Perhatian lebih perlu dialamatkan pada bagaimana bentuk hubungan ekonomi dan politik China dan Amerika Serikat yang terlihat “saling bermitra” sekaligus “saling sikut” satu sama lain.
Seperti diketahui, kedua negara saat ini sedang getol-getolnya untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Karenanya saat PBOC tiba-tiba melakukan devaluasi CNY terhadap USD pada 12 Agustus 2015 dengan alasan untuk menjaga stabilitas mata uangnya, disaat yang sama juga memberikan sinyal pada currency war antara dua negara tersebut. Dorongan akan apresiasi USD (sekaligus capital inflow ke Amerika Serikat) kemungkinan akan berdampak pada tertundanya peningkatan The-Fed untuk sementara waktu. Kemungkinan hal ini dilakukan demi mengurangi over-valued USD, seterusnya dalam mengurangi competitive dis-advantage bagi produk-produk ekspor Amerika Serikat akibat nilai USD yang “terasa lebih mahal” dari sebelumnya. Suatu hal yang tentunya kurang disukai oleh Amerika Serikat. Sebaliknya, mengingat besarnya pengaruh China terhadap perekonomian Amerika Serikat. Dimana China merupakan sebagai mitra dagang utama Amerika Serikat serta merupakan negara mitra ekonomi terbesar Amerika Serikat saat ini, ditambah dengan catatan bahwa lebih dari USD 1.6 triliun dolar (2013) hutang pemerintah Amerika Serikat dimiliki oleh China, dan diperkirakan meningkat dalam 2 tahun terakhir, maka bukan suatu hal yang mustahil bagi China untuk mendesak Amerika Serikat dalam memilih CNY masuk sebagai bagian dari SDR.
Disamping itu, bagi negara-negara lain, devaluasi CNY secara tiba-tiba yang dilakukan pada 12 Agustus 2015 selain memperlihatkan kuatnya posisi cadangan devisa China,[9] juga memperlihatkan intervensi yang berlebihan PBOC dalam pasar keuangan. Suatu hal yang kurang disukai, terlebih bila hanya untuk mementingkan kepentingan dalam negeri China sendiri. Namun disisi lain, pertumbuhan ekonomi China juga menghadirkan harapan akan membaiknya harga komoditas dunia, tumbuhnya industri global dan pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan.
Bagi China, isu menyeimbangkan global risk sharing dalam perekonomian dunia merupakan kunci utama dalam meyakinkan Amerika Serikat dan negara-negara lain dalam mendorong penggunaan CNY sebagai salah satu komponen SDR. Selain juga dapat ditambah dengan gimmick bahwa hal ini bertujuan untuk menciptakan daya beli dan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik bagi bangsa-bangsa di dunia (Obstfeld, 1994).[10]
Sebagai jalan tengah, agar pengaruh Amerika Serikat (dan USD) dalam perekonomian dunia tidak berkurang drastis serta tingkat suku bunga IMF tetap terjaga dalam nilai yang wajar, maka kemungkinan CNY masuk sebagai komponen SDR akan memiliki syarat bahwa komposisi mata uang tersebut tidak terlalu besar dalam SDR. Jika menunjuk suatu angka, maka kemungkinan komposisi CNY dalam SDR juga akan bergerak di angka yang sama dengan voting share yang dimiliki oleh China (lebih kurang di angka 5% hingga 10%). (FCP)


[4] Penjelasan lebih lanjut terkait Triffin Dillema dapat dilihat pada http://www.bis.org/review/r111005a.pdf dan https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2011/wp11190.pdf).
[9] Walau diperkirakan telah menguras USD 40 miliar cadangan devisa negara China sendiri.


Tulisan ini sudah di publish di
  • Update Ekonomi Makro Bank Panin Bulan Agustus 2015
  • http://infobanknews.com/peluang-yuan-masuk-global-reserve-currency/

Comments

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...