Tulisan ini sudah dibuat di awal Noevember tahun lalu sih (2014), dan dikirimkan ke salah satu koran ternama dalam negeri, sayangnya gak tembus..hehehehe.
Daripada terbuang sayang
Penurunan
harga minyak dunia telah mencapai 40% semenjak Juni 2014 (hingga Desember
2014). Bahkan pada 9 Desember, harga minyak Brent
menyentuh level terendahnya dalam 5 tahun terakhir (hingga mencapai angka USD
66 per barel). Bagi negara-negara yang memiliki ketergantungan ekonomi
(khususnya ekspor) yang tinggi terhadap minyak, hal ini merupakan suatu kabar
yang kurang menyenanngkan. Venezuela contohnya, dimana komposisi ekspor minyak
sebesar 96% dari total ekspor negara mereka, belum ditambah dengan pasar ekspor
utama mereka (Amerika Serikat) yang semakin gencar menambah produksi dalam
negeri. Akibatnya, penurunan harga minyak telah menyebabkan nilai ekspor mereka
menurun, pendapatan perusahaan-perusahaan minyak (yang merupakan perusahaan
negara) pun menjadi jauh berkurang, sehingga pendapatan negara turut berkurang,
selanjutnya pembelian barang-barang impor (khususnya obat-obatan dan bahan
makanan pokok) yang didanai dari ekspor menjadi tertekan. Akibatnya Maduro
(Presiden Venezuela) harus melakukan penghematan anggaran demi menjaga impor
tetap dapat dibiayai, bahkan Presiden terpaksa merelakan gajinya dipotong,
begitupun dengan anggaran lembaga negara serta belanja publik lainnya. Sebaliknya,
bagi negara-negara net-importir, tentu hal ini akan berlaku sebaliknya.
Layaknya tradable goods, perubahan harga (minyak)
yang terjadi tentunya disebabkan adanya tarik-menarik antara supply-demand di pasar (komoditas).
Sehingga penurunan harga (minyak) yang terjadi saat ini cenderung menggambarkan
adanya over-supply di pasar. Setidaknya
terdapat lima hal yang menyebabkan hal ini terjadi.
Pertama, aktivitas ekonomi (yang
digambarkan dengan pertumbuhan ekonomi) dunia yang melambat. Indikasinya
terlihat dari pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2014. Misalnya
yang dilakukan IMF, dimana proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia terpaksa
dipangkas sebesar 0,3% dari perkiraan awal tahun (menjadi 3,4%). Selanjutnya economic slowdown yang terjadi di China
(dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah 0,1% dari perkiraan pemerintah)
turut menyebabkan demand produk
minyak menurun. Secara tidak langsung, inipun turut menjadikan CPI dan PPI di
China semakin menurun. Begitupun dengan resesi ekonomi yang terjadi di Jepang
(tergambar dari deflasi yang mencapai 1,16% di Q3 2014 – yoy), stagnan nya pertumbuhan ekonomi Eropa (yang berada pada nilai
0,8% dalam 2 kuarter terakhir), serta pertumbuhan ekonomi dari emerging economies yang tidak sesuai
harapan, turut memberi andil bagi penurunan permintaan komoditas minyak dunia.
Kedua, adanya geopolitical risk yang terjadi di beberapa negara penghasil minyak
dunia. Ketegangan politik yang terjadi di Libya dan Irak, yang secara total memiliki
jumlah produksi sebesar 4 juta barel per hari, telah menjadi perhatian pelaku
minyak dunia. Ini diperparah dengan konflik yang terjadi di Crimea, yang
menyebabkan Rusia dikenai sanksi ekonomi oleh Uni-Eropa, padahal Rusia dikenal
sebagai negara penghasil minyak terbesar kedua di dunia (dengan jumlah produksi
sebesar 9,920 juta barel per hari). Untuk menyiasati hal tersebut, saat ini
Rusia lebih memfokuskan untuk melakukan ekspor minyaknya ke China dan Jepang.
Disamping itu, ketegangan Iran dengan Amerika Serikat dan sekutunya yang belum
mereda, turut menambah kekahwatiran dunia terkait produksi minyak dunia.
Ketiga, adanya ekspektasi akan
meningkatnya jumlah produksi minyak di dunia. Hal ini utamanya didorong oleh
Amerika Serikat yang semakin gencar menambah jumlah produksi lading minyak
mereka. Peningkatan ini dikarenakan utamanya berasal dari ladang minyak yang
berada di Teluk Mexico (Lousiana dan Alabama), Texas, Colorado dan North
Dakota. Sehingga saat ini diperkirakan terjadi penambahan jumlah produksi
minyak di Amerika Serikat secara keseluruhan sebesar 36% dibanding tahun 2008.
Indikator lainnya terlihat dari jumlah stok minyak yang meningkat secara
signifikan dalam 6 tahun terakhir (tertinggi semenjak tahun 1975), disamping
itu jumlah impor minyak Amerika Serikat pun memiliki kecenderungan menurun. Selain
Amerika Serikat, cadangan minyak baru juga ditemukan di beberapa negara Afrika Bagian
Tengah. Negara-negara baru yang akan menjadi produsen minyak dunia baru
tersebut adalah Kenya, Uganda, Ghana, dan Sierra Leone.
Gambar 1 ; Harga Minyak Dunia
Sumber: EIA
(2014)
|
Gambar 2 ; Commodity Index
Sumber: IMF (2014)
|
Keempat, OPEC pada 27 November 2014
tetap bersepakat untuk tidak menurunkan jumlah produksi nya, yakni sebesar 30
juta barel per hari. Hal ini sebagai dampak kekhawatiran Arab Saudi dan
negara-negara teluk lainnya, yakni apabila mereka melakukan penurunan produksi
kilang minyak mereka maka dikhawatirkan market
share mereka juga akan turut berkurang. Hal ini juga untuk tetap menjaga
agar produksi minyak OPEC tidak dilampaui oleh Amerika Serikat yang berencana
menambah produksi minyak mereka 1 juta barel per hari di tahun ini, dan pada
tahun 2015 akan tetap menambah jumlah produksi minyak nya sebesar 1 juta barel
per hari.
Kelima, khususnya untuk negara
berteknologi tinggi, konsumsi minyak mulai di subtitusi dengan sumber energi
alternatif lain yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, diperkirakan pembangkit
berbentuk renewable energy telah
memasok sekitar 25 persen dari total energi yang ada di dunia (REN21, 2014). Hal
ini utamanya didorong oleh China yang tercatat memiliki tingkat konsumsi minyak
terbesar di dunia. Semenjak 2010, China merupakan negara dengan jumlah
investasi renewable energy terbesar
di dunia. Saat ini sendiri, tercatat sebanyak 130 juta rumah tangga di China
telah menggunakan energi matahari. Selain itu, saat ini pembangkit listrik
tenaga angin yang dikembangkan di China telah mampu menghasilkan daya lebih
dari 80 Gigawatt. Selain China, Jepang juga melakukan alih pembangkit listrik
menuju energi angin dan surya, sehingga secara total akan mampu menghasilkan 30
persen listrik mereka dari renewable
energy. Selanjutnya Brazil juga saat ini telah mampu menghasilkan sebanyak
80% dari daya listrik yang mereka punyai berasal dari renewable energy. Bahkan di Kota Kopenhagen (Denmark), telah
dicanangkan bahwa kota tersebut akan menjadi kota bebas karbondioksida di tahun
2025 (pertama di dunia). Rencana tersebut akan difasilitasi dengan pembangunan gedung
hemat energi, pembangkit listrik yang bersifat green, serta dilengkapi dengan kebijakan yang menguntungkan pejalan
kaki dan pengemudi sepeda serta mobilitas elektrik.
Secara
ekonomi, semakin berkembangnya renewable
energy dikarenakan ongkos yang rendah. Apalagi energi yang berasal dari tenaga
angin dan matahari yang merupakan public
goods dan relatif sangat mudah didapatkan. Menurut sejumlah pakar industri,
hingga 2050 instalasi panel surya dengan daya sebesar 8000 Gigawatt akan mampu
memproduksi 80 kali lebih banyak energi ketimbang saat ini.
Akibat penurunan
harga minyak dunia ini, secara total harga komoditas dunia menjadi menurun
(lihat gambar 2). Hal ini dikarenakan penurunan harga minyak dunia menjadikan
komoditas-komoditas lain yang terkait dengan minyak (baik sebagai faktor
produksi dan distribusi) mengalami penurunan. Sehingga tidak mengherankan bila
tingkat harga dan index komoditas dunia pun turut menjadi turun.
Bagi Indonesia
sendiri, menurunnya harga minyak dunia telah mengurangi nilai impor minyak dan
gas sebesar 2% (mtm) atau sebesar
2,2% (yoy). Sehingga nilai impor
turut berkurang sebesar 1,4% (mtm)
secara keseluruhan, menjadi USD 15,33 milyar selama bulan Oktober. Dengan
penurunan impor tersebut, di bulan yang sama Indonesia mencatatkan trade surplus sebesar USD 20 juta (BPS,
2014). Seterusnya, hal ini menjadikan
current account deficit menyempit
menjadi USD 6,8 milyar. (FCP)
Di post-kan di Meja Tengah
30 September 2015
10.20 WIB
Comments