Skip to main content

YUNANI DEFAULT! TENANG SAJA INDONESIA


Default-nya Yunani




Dalam beberapa waktu belakangan headline media massa internasional maupun nasional, khususnya di bagian ekonomi dipenuhi oleh berita akan default (atau gagal bayar hutang)-nya Yunani. Pernyataan bangkrutnya Yunani sendiri terjadi pada Selasa (30 Juni 2015). Hal ini segera setelah tenggat pembayaran hutang kepada IMF (International Monetary Fund) yang jatuh tempo sebesar USD 1,7 miliar di hari yang sama tidak dibayarkan oleh pemerintah Yunani. Selain dikarenakan hutang yang tidak dibayarkan oleh pemerintah, jumlah hutang yang juga semakin membengkak, bahkan goodwill (keinginan) dari masyarakat Yunani (dan pemerintahannya yang dikuasai oleh golongan ultra sayap kiri, yakni partai Syriza) juga seakan enggan untuk melakukan pembayaran hutang-hutang mereka. Sehingga tidak mengherankan bila referendum, yang dijadikan alasan oleh pemerintah Yunani untuk menunda pembayaran hutang, yang dilaksanakan pada Minggu (5 Juli 2015) untuk menentukan apakah Yunani akan menerima atau tidak paket kebijakan ECB (European Central Bank), IMF dan negara-negara kreditur lainnya menghasilkan jawaban yang sudah bisa ditebak. Yakni hanya sebesar 38,7% dari masyarakat Yunani yang bersedia mengikuti paket kebijakan yang ditawarkan. Sisanya atau sebesar 61,3% memilih untuk menyatakan tidak mau untuk mengikuti paket kebijakan yang ditawar- kan oleh ECB, IMF dan negara-negara kreditur.

   
Courtesy of YPFP
 
Paket kebijakan yang berisi keharusan pemerintah Yunani untuk melakukan penghematan anggaran melalui pemotongan gaji dan tunjangan bagi PNS serta pensiunan, diikuti dengan adanya ketentuan untuk menaikkan pajak tentunya bukan suatu pilihan yang menarik bagi masyarakat Yunani. Bahkan malah akan memberatkan jika melihat kondisi perekonomian masyarakat Yunani yang berada dalam situasi yang kurang baik atau bisa dibilang berada di fase resesi. Pertumbuhan ekonomi yang relatif bergerak di angka negatif sejak 2008, serta lebih dari seperempat (tepatnya 26,50%) angkatan kerja Yunani yang berstatus tidak bekerja di triwulan-I tahun 2015 bisa dijadikan indikator beratnya situasi ekonomi dalam negeri Yunani saat ini.
Dampak default dan referendum yang memperparah kondisi ini, menjadikan Menteri Keuangan mereka (Yanis Varoufakis) mengundurkan diri sehari setelah referendum selesai dilaksanakan. Di pasar keuangan, bursa saham Yunani, yakni Athens Stock Exchange (ASE), langsung ditutup pada 7 Juli 2015 hingga dua minggu setelahnya (setelah adanya bail-out baru Uni Eropa kepada Yunani). Sementara itu, Bank-bank dan ATM yang ada di Yunani semakin diserbu oleh para nasabah. Untungnya sesaat sebelum Yunani dinyatakan default, pemerintah menghimbau penutupan bank-bank dan dilberlakukan pembatasan pengambilan ATM (yakni maksimal hanya setara EUR 60 per-rekening per-hari). Hal ini demi mencegah adanya bank-run (pengambilan likuiditas besar-besaran di perbankan). Walaupun begitu hal ini juga telah menjadikan hanya sepertiga dari ATM yang masih beroperasi dalam 1 hari setelah referendum diumumkan.
Secara global, default-nya Yunani langsung direspon oleh goncangnya pasar keuangan dunia, khususnya pasar eropa. Pada 6 Juli 2015, Euro turun 0,6% terhadap USD ke posisi USD 1,1059 per EUR hanya dalam waktu 1 hari. Sementara itu, indeks Stoxx Europe 600 turun 1,2% dalam waktu yang sama hingga ke posisi 378,68 poin. Selain itu,hal ini juga diikuti oleh desakan dari negara-negara Uni Eropa agar Yunani segera keluar dari zona ekonomi Uni-Eropa dalam waktu secepatnya (Greexit).
Sayangnya, hal ini juga berdampak ke negara-negara berkembang, bahkan Indonesia. Dampak utamanya adalah munculnya sentimen negatif akan kebijakan hutang di negara berkembang, dan akhirnya juga mengarah ke Indonesia sebagai salah satu kelompok negara berkembang. Selanjutnya karena Yunani menggunakan Euro, maka Euro terkoreksi 0,58% terhadap Rupiah sejak tanggal 6 hingga 8 Juli 2015. Walaupun begitu, patut dilihat bahwa dampak langsung default-nya Yunani terhadap Indonesia relatif tidak signifikan, namun dampaknya lebih bersifat contagion (berdampak rambatan). Dalam artian bahwa dampak default Yunani akan dirasakan setelah melalui perantara negara atau kawasan lain terlebih dahulu, baru setelahnya merambat ke Indonesia. Dari pernyataan sebelumnya dapat diartikan bahwa dampak default Yunani merambat melalui sentimen negara berkembang dan melalui depresiasi Euro.

Paket kebijakan yang berisi keharusan pemerintah Yunani untuk melakukan penghematan anggaran melalui pemotongan gaji dan tunjangan bagi PNS serta pensiunan, diikuti dengan adanya ketentuan untuk menaikkan pajak tentunya bukan suatu pilihan yang menarik bagi masyarakat Yunani. Bahkan malah akan memberatkan jika melihat kondisi perekonomian masyarakat Yunani yang berada dalam situasi yang kurang baik atau bisa dibilang berada di fase resesi. Pertumbuhan ekonomi yang relatif bergerak di angka negatif sejak 2008, serta lebih dari seperempat (tepatnya 26,50%) angkatan kerja Yunani yang berstatus tidak bekerja di triwulan-I tahun 2015 bisa dijadikan indikator beratnya situasi ekonomi dalam negeri Yunani saat ini.
Dampak default dan referendum yang memperparah kondisi ini, menjadikan Menteri Keuangan mereka (Yanis Varoufakis) mengundurkan diri sehari setelah referendum selesai dilaksanakan. Di pasar keuangan, bursa saham Yunani, yakni Athens Stock Exchange (ASE), langsung ditutup pada 7 Juli 2015 hingga dua minggu setelahnya (setelah adanya bail-out baru Uni Eropa kepada Yunani). Sementara itu, Bank-bank dan ATM yang ada di Yunani semakin diserbu oleh para nasabah. Untungnya sesaat sebelum Yunani dinyatakan default, pemerintah menghimbau penutupan bank-bank dan dilberlakukan pembatasan pengambilan ATM (yakni maksimal hanya setara EUR 60 per-rekening per-hari). Hal ini demi mencegah adanya bank-run (pengambilan likuiditas besar-besaran di perbankan). Walaupun begitu hal ini juga telah menjadikan hanya sepertiga dari ATM yang masih beroperasi dalam 1 hari setelah referendum diumumkan.
Secara global, default-nya Yunani langsung direspon oleh goncangnya pasar keuangan dunia, khususnya pasar eropa. Pada 6 Juli 2015, Euro turun 0,6% terhadap USD ke posisi USD 1,1059 per EUR hanya dalam waktu 1 hari. Sementara itu, indeks Stoxx Europe 600 turun 1,2% dalam waktu yang sama hingga ke posisi 378,68 poin. Selain itu,hal ini juga diikuti oleh desakan dari negara-negara Uni Eropa agar Yunani segera keluar dari zona ekonomi Uni-Eropa dalam waktu secepatnya (Greexit).
Sayangnya, hal ini juga berdampak ke negara-negara berkembang, bahkan Indonesia. Dampak utamanya adalah munculnya sentimen negatif akan kebijakan hutang di negara berkembang, dan akhirnya juga mengarah ke Indonesia sebagai salah satu kelompok negara berkembang. Selanjutnya karena Yunani menggunakan Euro, maka Euro terkoreksi 0,58% terhadap Rupiah sejak tanggal 6 hingga 8 Juli 2015. Walaupun begitu, patut dilihat bahwa dampak langsung default-nya Yunani terhadap Indonesia relatif tidak signifikan, namun dampaknya lebih bersifat contagion (berdampak rambatan). Dalam artian bahwa dampak default Yunani akan dirasakan setelah melalui perantara negara atau kawasan lain terlebih dahulu, baru setelahnya merambat ke Indonesia. Dari pernyataan sebelumnya dapat diartikan bahwa dampak default Yunani merambat melalui sentimen negara berkembang dan melalui depresiasi Euro.

Hubungan Langsung Perekonomian Indonesia dan Yunani
Dampak yang tidak langsung, tetapi berbentuk contagion ini semakin diperkuat oleh nilai hubungan ekonomi langsung antara Indonesia dengan Yunani yang sangat kecil. Hal ini bisa dilihat dari beberapa bentuk-bentuk hubungan ekonomi yang tercipta.
Pertama, dari posisi pinjaman. Jumlah pinjaman pemerintah ataupun swasta (termasuk perbankan) Yunani, sebagaimana terlihat pada gambar 4.1 (dibawah), memperlihatkan bahwa kreditur terbesar Yunani berasal dari Jerman, diikuti oleh Perancis, seterusnya Italia. Sementara khusus untuk pinjaman dari Indonesia kepada Yunani relatif tidak ada, terkecuali pinjaman melalui penyertaan Indonesia yang ada di IMF. Namun tentunya bentuk penyertaan di IMF merupakan hak pengelolaan sepenuhnya dari lembaga tersebut, tanpa campur tangan Indonesia.
 
Gb.4.1 Asal dan Besaran Negara Kreditur Pinjaman Yunani
(dalam EUR)
Sumber ;  Bloomberg, Eurostat, Public Debt Management Agency (2015)

 Kedua, dari nilai perdagangan. Besaran ekspor Indonesia terhadap Yunani selama kurun waktu 2000 hingga 2013 berada pada besaran kurang dari 0,25% dari total ekspor Indonesia (lihat gambar 4.2, dibawah). Bahkan menurut data terakhir, pada akhir 2013, besaran ekspor Indonesia ke Yunani hanya bernilai USD 149,2 juta atau setara dengan 0,08% dari total ekspor Indonesia. Suatu nilai yang sangat kecil tentunya. Terlebih jika melihat data impor Yunani ke Indonesia yang relatif tidak memiliki nilai dalam 1 dekade terakhir (sejak 2004 hingga 2013). 
  Gb.4.2 Nilai Ekspor Indonesia Ke Yunani
dan Persentase Ekspor Ke Yunani Terhadap Total Ekspor Indonesia
Periode 2000 - 2013
 
 Sumber ;  BPS, diolah (2015)
  Gb.4.3 Nilai Impor Yunani Ke Indonesia
dan Persentase Impor Dari Yunani Terhadap Total ImporIndonesia
Periode 2000 – 2013
 Sumber ;  BPS, diolah (2015)

Ketiga, dari nilai investasi. Berdasarkan nilai investasi yang berbentuk investasi saham ataupun investasi langsung (FDI), nilai investasi Yunani ke Indonesia relatif juga tidak memiliki nilai signifikan, begitupun sebaliknya. Keempat, dari hubungan ketenagakerjaan. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Yunani, ataupun sebaliknya jumlah tenaga kerja Yunani di Indonesia relatif memiliki nilai yang kecil dan tidak tercatat secara khusus di biro statistik ataupun lembaga ketenagakerjaan kedua negara. Hal ini juga sejalan dengan nilai remitansi dari kedua negara yang juga relatif mencatatkan nilai yang tidak terlalu signifikan.
Setidaknya dari empat indikator diatas, hendaknya kecemasan akan kebangkrutan Yunani dapat disikapi secara arif. Dalam artian bahwa kecemasan akan adanya pengaruh default Yunani terhadap ekonomi Indonesia tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.

Perbedaan Kondisi Perekonomian Indonesia dan Yunani
Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam membedakan bagaimana kondisi perekonomian Indonesia dengan Yunani. Dalam hal ini, penulis membedakan indikator kondisi perekonomian tersebut menjadi enam indikator pertama.
Pertama adalah nilai (atau besaran) ekonomi, serta pertumbuhan ekonomi yang tercipta di masing-masing negara. Kedua, adalah kondisi daya beli masyarakat. Ketiga, yakni kondisi tenaga kerja. Keempat, adalah kondisi keuangan pemerintah. Kelima, berupa kondisi neraca perdagangan dan cadangan devisa. Serta keenam, yakni kondisi pasar keuangan.
  




1. Nilai (Atau Besaran) Ekonomi
Gb.4.4 Nilai PDB Harga Berlaku Yunani-Indonesia
Periode 2004 – 2014
(dalam Milyar USD)
Sumber ;  Worldbank (2015)
Dari gambar 4.4 (disamping), terlihat bahwa besaran ekonomi Yunani (diindikasikan oleh nilai PDB) di tahun 2014 adalah sebesar USD 237,6 Milyar, atau lebih kurang hanya seperempat (tepatnya sebesar 26,74%) dari nilai PDB Indonesia. Tentunya dengan ekonomi yang lebih besar, terlebih tidak ada hubungan langsung antara kedua negara, akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa ekonomi Yunani akan membebani ekonomi Indonesia.
Disamping itu, arah pertumbuhan ekonomi kedua negara (yang terlihat di gambar 4.5 dan 4.6, dibawah) juga memperlihatkan bagaimana sangat berbedanya ekonomi Yunani dengan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi cenderung bergerak negatif sejak 2010, sementara Indonesia malah bergerak positif.
Gb.4.5 Nilai Pertumbuhan Ekonomi Yunani-Indonesia
Periode 2004 – 2014
(dalam Persen, yoy)
Sumber ;  Worldbank (2015)
Gb.4.6 Nilai Pertumbuhan Ekonomi Yunani-Indonesia
Periode Q1 2010 – Q1 2015
(dalam Persen, yoy)
Sumber ;  Hellenic Statistical Authority dan BPS (2015)


2. Kondisi Daya Beli Masyarakat
Gb.4.7 Nilai IHK
Yunani-Indonesia
Periode Januari 2014 - Mei 2015
Sumber ;  Hellenic Statistical Authority dan BPS (2015)

Gb.4.8 Tingkat Inflasi Bulanan Yunani-Indonesia

Periode Januari 2014 - Mei 2015

(dalam Persen, YoY)

Sumber ;  Hellenic Statistical Authority dan BPS, diolah (2015)
Secara umum daya beli dapat diukur dari pendapatan per-kapita masyarakat. Namun tentu akan kurang adil jika membandingkan negara yang masih tergolong pada negara berkembang (seperti Indonesia), dengan negara yang sudah maju (layaknya Yunani). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan initial wealth (tingkat kesejahteraan awal) dari kedua negara.
Karenanya pilihan pengukuran daya beli dalam tulisan ini menggunakan indikator disposable income (pendapatan yang siap dibelanjakan) oleh masyarakat. Saat disposable income naik, dengan asumsi supply barang relatif sama, maka disanalah muncul inflasi. Dengan kata lain, inflasi juga dapat dijadikan sebagai suatu proxy untuk mengukur seberapa besar peningkatan disposable income masyarakat, seterusnya juga dapat memperlihatkan bagaimana bergairahnya perekonomian di negara tersebut dalam waktu tertentu.
Dengan dasar alasan-alasan diatas, maka dengan melihat gambar 4.7 dan 4.8 (disamping) dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan mendasar dari daya beli masyarakat di kedua negara. Indonesia relatif memiliki nilai IHK yang cenderung naik, sementara Yunani relatif turun. Begitupun dengan tingkat inflasi yang juga memperlihatkan kecenderungan yang sama. Karenanya hal ini dapat diartikan bahwa daya beli masayarakat Indonesia cenderung meningkat, hal yang tentunya berbeda dengan Yunani.



3. Kondisi Tenaga Kerja

Gb.4.9 Rata-Rata Tingkat Pengangguran Tahunan
Yunani-Indonesia
(dalam Persen)
Sumber ;  Hellenic Statistical Authority dan BPS (2015)
Kondisi ketengakerjaan tentunya berkaitan dengan daya beli masyarakat. Semakin banyaknya orang bekerja, pendapatan masyarakat sepatutnya menjadi lebih baik, dan daya beli cenderung akan meningkat. Sementara dengan melihat tingkat pengangguran Yunani yang sangat tinggi (berada di angka 26,5% pada tahun 2014), maka tidak mengherankan bila daya beli (yang ada di kelompok 2) juga menurun.
Dari struktur ketenagakerjaan, yang digambarkan oleh lapangan usaha pekerjaan utama (gambar 4.10, dibawah), juga dapat dilihat bahwa kecenderungan lapangan kerja di Yunani lebih didominasi oleh lapangan usaha jasa (9), yang relatif rentan terhadap perubahan pendapatan dan daya beli masyarakat.  Sementara Indonesia, lapangan pekerjaan utama penduduk lebih didominasi oleh sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan (1), yang relatif rentan terhadap kondisi alam.

Gb.4.10 Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2014
Yunani-Indonesia
(dalam Persen)
Sumber ;  Hellenic Statistical Authority dan BPS, diolah (2015)

4. Kondisi Keuangan Pemerintah

Gb.4.11 Rasio Hutang Pemerintah Pusat Yunani-Indonesia
Terhadap PDB
Periode 2004 - 2014
(dalam Persen)
Sumber;  Eurostat dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2015)
Dalam perekonomian yang mengikutsertakan negara (ataupun regulator) sebagai salah satu agen ekonomi, tentu anggaran pemerintah merupakan suatu hal yang mampu menjadi akselerator dalam perekonomian. Karenanya hutang bukanlah suatu hal yang “haram” untuk dilakukan oleh pemerintah, tapi dengan catatan nilai tersebut masih berada dalam batas yang normal. Melihat pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif, maka tidak mengherankan bila rasio hutang negara tersebut cenderung makin membengkak, dan berada di angka 177,10% dari nilai PDB.
Akibat dari hal ini, salah satu instrumen dalam membiayai defisit anggaran, yakni government bond (surat hutang negara) Yunani dipandang buruk oleh lembaga pemeringkat utang internasional dikarenakan kekhawatiran akan sulitnya pembayaran hutang di kemudian hari. Alasan tersebut menjadikan Standard&Poor’s memberi peringkat CCC, Moodys memberi peringkat Caa3 dan Fitch memberi peringkat CC
Gb.4.12 Yield Obligasi 10 Tahun
Pemerintah Yunani
Periode 2011 - 2015
(dalam Persen)
Sumber ;  Trading Economics, Public Debt Management Agency (2015)
bagi surat hutang Yunani, atau berada dalam kategori “deep junk” (sampah). Tentunya hal ini sangat jauh berbeda dengan Indonesia yang diberi kategori investment grade oleh ketiga lembaga tersebut (Standard&Poor’s memberi peringkat BB+; Moodys memberi peringkat Baa3; dan Fitch memberi peringkat BBB-).
Dengan buruknya peringkat hutang Yunani, hal ini tentunya akan dikompensasi dengan yield obligasi negara yang meningkat. Akibatnya pada Juli 2015, yield obligasi Yunani berada di angka 18,09%, sedangkan Indonesia jauh berada di bawah, yakni di angka 8,25%.
Gb.4.13 Yield Obligasi 10 Tahun
Pemerintah Indonesia
Periode 2011 - 2015
(dalam Persen)
Sumber ;  Trading Economics, Indonesia Bond Pricing Agency (2015)


5. Kondisi Neraca Perdagangan dan Cadangan Devisa
Dari kondisi perdagangan, yakni ekspor dan impor, dapat dilihat bahwa neraca perdagangan (atau net-ekspor) Yunani memliki kecenderungan selalu defisit dari 5 tahun terakhir (lihat gambar 4.14, dibawah). Secara tidak langsung, hal ini menggambarkan bahwa produk perdagangan Yunani terlihat lebih kurang kompetitif atau bahkan tingkat konsumsi dalam negeri lebih tinggi dibanding produksi.
Sementara untuk kasus Indonesia, disamping nilai perdagangan Indonesia yang bernilai lebih dari 2 kali lipat dibanding nilai perdagangan (baik ekspor maupun impor) Yunani, neraca perdagangan Indonesia juga relatif lebih mencatatkan nilai yang lebih baik (bahkan terkadang surplus) dalam 5 tahun terakhir. Hal ini setidaknya menggambarkan akan lebih aktifnya Indonesia dibanding Yunani dalam peta perdagangan internasional, sekaligus lebih kompetitifnya barang perdagangan Indonesia di pasar internasional.

Gb.4.14 Nilai Ekspor,Impor, dan Net Ekspor Yunani
Periode 2011 – 2015
(dalam USD)
Sumber ;  International Financial Statistic (2015)
Gb.4.15 Nilai Ekspor,Impor, dan Net Ekspor Indonesia
Periode 2011 – 2015
(dalam USD)
Sumber ;  International Financial Statistic (2015)

Selain nilai nominal perdagangan, cadangan devisa yang mendukung ketahanan pembayaran dalam mata uang yang diterima internasional merupakan suatu hal yang mesti dicermati. Cadangan devisa tentunya menggambarkan kemampuan negara tersebut dalam menyediakan nilai pembayaran terhadap nilai perdagangan yang terjadi (khususnya impor).
Karenanya, dalam menelisik kondisi perdagangan suatu negara, nilai cadangan devisa akan lebih baik bila dilengkapi dengan rasio total cadangan devisa terhadap berapa bulan impor negara tersebut. Semakin rendahnya rasio cadangan devisa terhadap bulan impor diperkirakan akan memperburuk intermediasi pembayaran perdagangan dan seterusnya berpengaruh pada nilai mata uang negara tersebut. Untungnya Yunani berada dalam mata uang bersama, yakni Euro, sehingga rendahnya nilai cadangan devisa dan rasio cadangan devisa terhadap impor tidak langsung berpengaruh bagi perekonomian Yunani, namun masih terjaga dikarenakan oleh surplus perdagangan negara-negara yang menggunakan mata uang lainnya, khususnya Jerman.
Untuk kasus Indonesia, cadangan devisa yang menunjukkan kecenderungan meningkat di tiap tahunnya, begitupun dengan rasio total cadangan menggambarkan semakin kuatnya daya tahan regulator (baik moneter dan fiskal) dalam menyediakan pembayaran perdagangan yang dilakukan dalam batas negara tersebut. Hal yang berlaku sebaliknya bagi Yunani. Sehingga tidak mengherankan bila negara-negara yang menggunakan Euro semakin mendesak Yunani untuk keluar dari Euro-Zone. Selain dirasa akan membebankan Euro (dikarenakan sentimen negatif yang dibawa oleh Yunani), selain itu dikarenakan adanya desakan politik dari penduduk di masing-masing negara pemberi bail-out (bantuan) kepada Yunani.

Gb.4.16 Nilai Total* Cadangan Devisa Yunani-Indonesia
Periode 2011 - 2015
(dalam SDR)
Ket: Total Cadangan Devisa terdiri dari Emas (1 ons = 35 SDR), Base Money, SDR yang dimiliki, dan Mata Uang Asing
Sumber ;  International Financial Statistic (2015)
Gb.4.17 Rasio Nilai Total* Cadangan Devisa Terhadap Nilai Impor
Periode 2011 – 2014
(dalam Bulan)
Ket: Total Cadangan Devisa dalam nilai SDR, terdiri dari Emas (1 ons = 35 SDR), Base Money, SDR yang dimiliki, dan Mata Uang Asing
Sumber ;  International Financial Statistic (2015)

6. Kondisi Pasar Keuangan
Dalam sistem perekonomian, pasar keuangan merupakan pasar yang sangat sensitif terhadap isu dan kegiatan yang terjadi, baik dari sisi fundamental ataupun tidak. Sayangnya, terkadang hal ini diartikan terbalik oleh para pelaku ekonomi. Salah satu penyebabnya adalah karena jangka waktu perubahan nilai yang terjadi di pasar keuangan berlangsung dengan sangat cepat. Disadari bahwa setiap aksi dalam pasar keuangan terkadang dilandasi oleh faktor-faktor non-fundamental, seperti isu dan gosip atau sentimen yang terkadang sulit diartikan dalam nilai tertentu namun mampu mempengaruhi arah pergerakan pasar dalam waktu yang sangat cepat. Hal yang sangat berbeda tentunya dengan faktor fundamental (seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, ataupun tingkat pengangguran) yang cenderung memiliki waktu publikasi yang lebih lama dibanding faktor-faktor non-fundamental yang bisa muncul dan dihembuskan kapanpun.
Dengan kembali melihat faktor-faktor fundamental yang sebelumnya diutarakan di nilai (1) hingga (5), maka tidak mengherankan bila hal ini berimbas di masing-masing pasar keuangan, baik di Yunani ataupun Indonesia. Dari gambar 4.18 dan gambar 4.19, dapat dilihat bahwa nilai indeks bursa Yunani (ASE) cenderung bergerak ke nilai yang lebih rendah dan juga memiliki volatilitas yang lebih tinggi. Volatilitas yang tinggi juga mencerminkan resiko yang lebih tinggi dalam pasar keuangan. Hal yang tentunya sangat berbeda dibanding kondisi pasar keuangan Indonesia. Walau dengan nilai yang bergerak naik-turun, tetapi dapat dilihat bahwa kecenderungan indeks bursa Indonesia (JKSE) bergerak ke teritori positif. Begitupun dengan nilai return yang memiliki volatilitas lebih rendah, dalam artian resiko yang lebih rendah pula.

Gb.4.18 Indeks Bursa Yunani (Athens Stock Exchange)
Dan Indeks Bursa Indonesia (Jakarta Stock Exchange)
Periode 1 Januari 2013 – 6 Juli 2015
Sumber;  ASE dan BEI (2015)
Gb.4.19 Return Harian Indeks Bursa Yunani (Athens Stock Exchange) Dan Indeks Bursa Indonesia (Jakarta Stock Exchange)
Periode 1 Januari 2013 – 6 Juli 2015
Sumber;  ASE dan BEI, diolah (2015)


Penutup
Selain relatif kecilnya hubungan perekomian secara langsung antara Yunani dan Indonesia, ternyata indikator-Indikator perekonomian kedua negara juga menunjukkan hal yang berseberangan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa selain dihantui oleh jumlah hutang yang menumpuk, ternyata kemampuan perekonomian Yunani dalam meningkatkan daya beli masyarakat, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki kondisi neraca perdagangan, dan menurunkan resiko di pasar keuangan juga sulit dilakukan. Hal yang tentunya sangat berbeda dengan Indonesia. Dengan besaran perekonomian yang relatif jauh lebih besar dibanding Yunani, kondisi dari masing-masing indikator perekonomian masih memiliki ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik ke depannya. Karenanya kecemasan akan dampak default-nya Yunani akan berimbas pada Indonesia hendaknya dapat diminimalisir, tapi tentunya dengan tetap berhati-hati terhadap dampak contagion yang bisa saja muncul kapanpun dan lewat saluran mana saja. (FCP)




Artikel ini sebelumnya telah di post pada Update Makroekonomi Panin Bulan Juli 2015, dan SmartNews Panin Juli 2015.

10.36 WIB - 27 Juli 2015
Meja Tengah, Lantai.7, Panin Pusat


 


















Comments

Anonymous said…
Font-nya kecil amataaan yaaah, kakaaakkk..... pucing mata belbiiee... @,@

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...