Skip to main content

Mumpung Tren Suku Bunga Global Rendah, Obligasi Global Jadi Pilihan Emiten

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren penurunan suku bunga acuan yang menjalar ke seluruh dunia berpotensi membuat penerbitan obligasi global atau global bond kembali marak. Namun, risiko perang dagang hingga potensi resesi ekonomi global dapat memengaruhi minat investor.

Dari dalam negeri, beberapa perusahaan memang sudah menyatakan niatnya untuk menerbitkan obligasi global. Misalnya, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) yang berencana menerbitkan junior global bond senilai US$ 200 juta-US$ 250 juta di awal tahun depan.

Ada pula PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang berharap dapat merealisasikan penerbitan global bond sebesar US$ 250 juta-US$ 300 juta sebelum pergantian tahun ini.

Ekonom Pemeringkat Efek Indonesia Fikri C. Permana mengatakan, penurunan suku bunga acuan yang dilakukan banyak bank sentral dunia sebenarnya menjadi sentimen positif bagi penerbitan global bond. Pasalnya, hal ini akan mendorong penurunan yield surat utang global, termasuk US Treasury.

Lihat saja, Rabu (18/9), yield US Treasury tenor 10 tahun berada di level 1,77%. "Yield obligasi di beberapa negara maju bahkan sudah ada yang berada di level minus," kata Fikri, kemarin. Pemangkasan suku bunga acuan juga membuat pergerakan nilai tukar rupiah stabil di sekitar Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat (AS).

Dengan demikian, cost of fund yang ditanggung perusahaan saat menerbitkan global bond jadi lebih murah. Risiko kerugian kurs dari penerbitan obligasi global juga dapat diminimalkan.

Di samping itu, peringkat utang Indonesia yang berada di level BBB versi S&P Global Ratings juga bisa menjadi stimulus bagi penerbitan global bond. Mengingat, rating utang tersebut merupakan gambaran kondisi makroekonomi Indonesia di tengah berbagai sentimen global.

Namun, dari sisi investor hal tersebut tidak bisa menjadi acuan utama. Meski faktanya peringkat utang Indonesia naik, belum tentu perusahaan-perusahaan penerbit obligasi global akan mengalami hal serupa.

"Rating suatu negara hanya acuan risiko yang dihitung secara agregat. Jadi investor juga akan melihat lagi kondisi perusahaannya secara spesifik," ungkap Fikri.


Tantangan penerbitan

Research Analyst Capital Asset Management Desmon Silitonga menambahkan, tantangan penerbitan global bond tetap ada. Terlebih, sentimen perang dagang antara AS dan China masih bergulir. Belum lagi, sentimen tersebut memicu potensi datangnya resesi ekonomi global.

Menurut Desmon, ketidakpastian global tersebut membuat para investor khawatir dan bersikap lebih hati-hati. Alhasil, ada kecenderungan sebagian investor global menghindari aset-aset dari negara berkembang dan memilih memburu instrumen yang lebih aman, seperti US Treasury atau mata uang yen.

Tak hanya itu, di tengah risiko global yang masih terlihat, para investor tentu akan mempertimbangkan kembali rekam jejak dan prospek bisnis perusahaan yang menerbitkan global bond.

Jika bisnis suatu perusahaan ikut terpapar sentimen negatif global, bukan mustahil investor akan memilih menghindari global bond yang diterbitkan perusahaan tersebut.

Jadi, daya serap pasar atas global bond dari perusahaan-perusahaan Indonesia akan terganggu.

"Kalau kondisinya begitu, perusahaan pemilik obligasi global perlu menyesuaikan lagi jumlah dana yang ingin diperoleh," jelas Desmon, Rabu (18/9).

Sementara itu, Fikri menilai, seiring risiko ketidakpastian global yang masih ada, para investor tidak hanya mempertimbangkan peringkat utang suatu perusahaan.

Dalam hal ini, para investor bisa saja akan meminta kupon yang lebih tinggi kepada penerbit global bond untuk mengompensasi risiko yang terjadi di pasar.


tulisan diatas juga dapat dilihat pada tautan berikut:
https://insight.kontan.co.id/news/mumpung-tren-suku-bunga-global-rendah-obligasi-global-jadi-pilihan-emiten?page=2

Comments

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...