Fed Rate Hike-I
Ada
hal yang menarik setelah terjadinya kenaikan suku bunga The Fed (atau Fed Fund Rate
– FFR) pada Rabu (16 Desember 2015) lalu. Hal ini khususnya terlihat dari
pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap USD. Diiringi dengan ketakutan akan
terjadinya capital outflow, nyatanya
setelah pengumuman Fed rate hike USD
seakan kehilangan tajinya terhadap Rupiah. Bahkan pada 22 Desember 2015, Rupiah
mengalami apresiasi 1,85% terhadap USD, tertinggi dalam 2 bulan terakhir.
Di satu sisi, tentunya hal
ini menandakan kinerja Rupiah yang membaik seiring waktu. Namun mengingat
kemungkinan masih adanya Fed-rate hike
lanjutan, dengan kemungkinan adanya kenaikan FFR hingga 4 kali di tahun
mendatang, kewaspadaan terkait anjloknya nilai Rupiah ke depan tentu masih
perlu ditingkatkan. Mengingat kondisi historis rupiah yang malah cenderung
lebih rentan terhadap isu dan perilaku spekulasi. Terakhir, kondisi ini
terlihat pada kurs Rupiah terhadap USD yang malah terdepresiasi tajam sehari
menjelang pengumuman Fed rate hike-I
lalu.
Adem-nya Pasar Keuangan Indonesia
Disamping kondisi kurs yang cukup baik. Ketakutan akan
anjloknya IHSG juga tidak terbukti. Walau terdapat pembalikan modal di
Indonesia, dengan foreign net di
pasar modal masih negatif dalam beberapa hari setelah Fed rate hike, namun hal ini tampaknya merupakan hal yang normal,
dengan nilai IHSG yang tertahan di angka 4400-an (jauh lebih baik dibanding
kondisi Oktober lalu). Dan bahkan sehari setelah Fed rate hike, foreign net
tercatat positif, sehingga mendorong lompatan IHSG menuju angka 4555,96.
Melihat relatif “adem”-nya pasar keuangan Indonesia,
baik dari kurs dan bursa, setidaknya terdapat 3 hal yang bisa diidentifikasi
sebagai penyebab pendorong “adem”-nya pasar keuangan Indonesia. Pertama,
tingkat inflasi yang rendah. Tidak bisa dipungkiri bahwa rendahnya harga minyak
(dan komoditas dunia) turut menyebabkan rendahnya tingkat harga dalam negeri.
Setidaknya hal ini meminimalisir adanya cost
push inflation melalui impor bahan baku komoditas yang berasal dari luar
negeri.
Kedua, nilai kurs dan pasar bursa yang sepertinya
telah menemui tingkat equilibirum baru. Sebagaimana diketahui, selama tahun
2015, rupiah menjadi mata uang yang terdepresiasi dengan sangat dalam
(peringkat terburuk kedua diantara emerging
economies lain). Disamping itu, imbas memburuknya pasar keuangan Tiongkok
tampaknya berefek pada pasar keuangan Indonesia. Sebagai salah satu investor
terbesar dunia dan sebagai mitra dagang utama Indonesia, penurunan SSEC
(Shanghai Composite Index) sebesar hampir 40% dari nilai tertingginya pada 12 Juni ke posisi 25 September, yang diselingi
dengan terjadinya default-nya Yunani di 30 Juni 2015, tampaknya memperburuk
kepercayaan investor di pasar keuangan dunia. Sehingga tidak mengherankan bila euforia
#IHSG5000 yang didengungkan di tahun lalu tampaknya akan sulit kembali tercapai
di tahun ini atau bahkan mungkin hingga akhir tahun mendatang.
Ketiga, untungnya dua
hal diatas tidak ikut diperkeruh dengan kondisi politik yang masih terlihat
kurang kondusif di dalam negeri. Penyesuaian nomenklatur pemerintahan, ditambah dengan
berbagai dinamika politik termasuk yang melibatkan perusahaan multinasional,
dan Pilkada serempak sepertinya mulai direspon masyarakat Indonesia dengan
memisahkan hal tersebut diluar keadaan ekonomi. Sehingga tidak mengherankan
bila kegaduhan politik lebih dianggap sebagai ranah yang terpisah. Hal yang turut
mencerminkan meningkatnya kecerdasan masyarakat Indonesia dalam berpolitik.
Kondisi Pasar Keuangan Indonesia Ke Depan
Mengingat tiga hal yang mendorong ademnya pasar
keuangan Indonesia pasca Fed-rate hike-I
ini, maka tidak ada salahnya bila kita memberi perhatian lebih pada bagaimana kondisi
pasar komoditas dunia ke depan, begitupun dengan kondisi pasar keuangan negara
lain (khususnya Tiongkok). Dengan outlook harga minyak (dan komoditas) dunia
yang masih akan bergerak dengan kecenderungan landai, maka dapat dikatakan
bahwa kondisi pasar keuangan Indonesia masih relatif aman, bahkan positif.
Selanjutnya, melihat pada kecenderungan kondisi perekonomian Tiongkok ke depan
yang masih melambat, maka kekhawatiran patut disematkan bagi pasar keuangan dalam
negeri. Membangun basis nasabah dalam negeri secara lebih masif dan lebih kuat
mungkin bisa menjadi jawaban bagi hal ini. Namun perlu diingat bahwa nilai
pengelolaan dana dalam negeri masih rendah, dengan kecenderungan investasi yang
bersifat tradisional.
Masih rendahnya tingkat melek investasi dalam negeri
dibanding negara lain, bahkan dengan negara kawasan, tentu perlu mendapat
perhatian lebih bagi para pemegang kebijakan. Seminar, pelatihan bahkan sharing pengetahuan pasar keuangan
secara masal yang telah dilakukan secara dengan baik di tahun ini sepertinya
perlu dipertahankan, atau mungkin bisa ditingkatkan. Sehingga kekehawatiran
akan melemahnya pasar keuangan Indonesia, baik nilai rupiah maupun nilai bursa,
di tahun depan dapat semakin diminimalisir.(FCP)
30 Desember 2015, 17.32 WIB, meja tengah
Selamat Tahun Baru 2016
Comments