Sinyal positif mulai disebarkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia seiring dengan paket kebijakan
ekonomi I dan II yang telah diumumkan pada 9 dan 29 September lalu. Walaupun dinilai agak terlambat,
namun setidaknya paket kebijakan yang diumumkan mulai menampakkan arah yang jelas, utamanya
dalam mendorong perekonomian di sisi penawaran (supply side). Disamping itu, integrasi sisi fiskal dan
moneter yang dalam satu tahun belakangan terlihat kurang padu, mulai memperlihatkan keselarasan
bauran kebijakan sesuai dengan daya jangkaunya masing-masing. Walaupun begitu, baik pemerintah
dan Bank Indonesia masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah (PR) guna mendorong perekonomian
Indonesia menjadi lebih inklusif dan berkesinambungan.
PR Bagi Otoritas Fiskal
Dari sisi pemerintah (atau dari sisi fiskal), paket kebijakan diwarnai oleh deregulasi utamanya bagi sektor
investasi. Sayangnya, sepertinya hal ini baru akan berdampak dalam jangka menengah-panjang. Ini
dikarenakan deregulasi lebih diarahkan pada investasi-investasi yang baru, sedangkan dalam rangka
menjaga produsen ataupun industri yang telah ada (existing) masih belum terlalu terlihat.
Walau kekosongan dorongan fiskal dalam jangka pendek-menengah coba diisi dengan mendorong
penyerapan anggaran pemerintah, khususnya di daerah-daerah. Namun sepertinya tetap akan
memakan waktu. Utamanya karena pengambil kebijakan di daerah terlihat “cemas” dalam menyalurkan
anggaran mereka. Penyebabnya apalagi kalau bukan kebijakan hukum yang terlihat inkonsisten. PR yang
sepertinya juga tidak fair jika hanya dialamatkan kepada pemerintah semata.
Disisi lain bila paket kebijakan ekonomi III yang isunya akan dihiasi dengan penurunan harga BBM
bersubsidi dan TDL (tarif dasar listrik). Memperlihatkan bahwa pemerintah mulai merasakan adanya titik
kritis perekonomian yang berasal dari daya beli masyarakat (demand side). Indikasinya deflasi yang
terjadi di bulan September. Walau di satu sisi deflasi memperlihatkan harga yang stabil di dalam negeri,
namun juga menyisakan kekhawatiran akan turunnya daya beli. Dan tentunya perlu diperhatikan bahwa
pengeluaran masyarakat mulai bergeser ke hal-hal yang bersifat sekunder, misalnya kebutuhan papan,
kebutuhan telekomunikasi dan juga rokok.
Sementara itu, kebijakan penurunan biaya pajak deposito DHE (devisa hasil ekspor) yang dikeluarkan
dirasa hanya akan berpengaruh pada industri berbasis ekspor. Sedangkan basis industri dalam negeri
sepertinya lebih mengarah ke pasar domestik. Indikatornya, nilai ekspor yang relatif menurun dibanding
tahun lalu bahkan disaat nilai rupiah terdepresiasi. Suatu hal yang bersifat anomali, mengingat nilai
tukar adalah salah satu bentuk comparative advantage produk dalam negeri di pasar global.
PR Bagi Otoritas Moneter
Dari sisi moneter, aura pendalaman pasar keuangan menjadi hal yang sangat terasa dalam paket
kebijakan I dan II. Namun perlu dicatat bahwa stabilisasi nilai tukar (rupiah) juga menjadi hal yang
diperhatikan oleh Bank Indonesia. Masih besarnya impor, khususnya berupa barang faktor produksi,
sementara target pasar yang berasal dari domestik menjadikan industri mulai bergerak pelan.
Walau disisi lain, tekanan terhadap rupiah yang berasal dari faktor global, khususnya terkait spekulasi
Fed Fund Rate masih sangat besar. Namun dengan cadangan devisa yang masih sangat sehat, sebesar
6,9 bulan impor dan hutang, tidak ada salahnya jika Bank Indonesia yang selama ini terlihat hati-hati
mulai terjun lebih dalam ke pasar.
Terlebih dengan kredibilitas Bank Indonesia yang pada tahun ini patut diapresiasi, dengan kemungkinan
akan mampu mendorong inflasi dalam rentang target yang dicanangkan di awal tahun. Sehingga
keberanian dan cara komunikasi Bank Indonesia yang lebih informatif bagi semua pihak sepertinya mulai
diperlukan bagi para investor, khususnya di pasar keuangan yang relatif sangat rentan dan bersifat
jangka pendek.
Walau disadari bahwa pasar keuangan bersifat sangat global, namun saat Bank Indonesia melakukan
kebijakan yang berani dan informatif, dampak ikutan dari investor khususnya dalam negeri,
kemungkinan juga akan bergerak searah dengan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan penjagaan LLD
(lalu lintas devisa) serta pengelolaan supply dan demand di pasar forward dimungkinan membutuhkan
waktu. Sehingga dirasa belum akan cukup mengembalikan rupiah kembali ke nilai riil-nya secara singkat.
Hal yang rasanya juga diperuntukkan sama dalam kegiatan pendalaman pasar keuangan, melalui
penerbitan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) Valas. Sehingga hasil akhir berupa stabilitas di pasar
keuangan, termasuk mendorong bursa saham-IHSG kembali ke nilai fundamentalnya, diharapkan dapat
dicapai secara lebih cepat.
Seterusnya diharapkan koordinasi yang baik antara kedua otoritas ini tetap terjaga dengan baik dan
saling bahu-membahu dalam mencapai kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
ekonomi I dan II yang telah diumumkan pada 9 dan 29 September lalu. Walaupun dinilai agak terlambat,
namun setidaknya paket kebijakan yang diumumkan mulai menampakkan arah yang jelas, utamanya
dalam mendorong perekonomian di sisi penawaran (supply side). Disamping itu, integrasi sisi fiskal dan
moneter yang dalam satu tahun belakangan terlihat kurang padu, mulai memperlihatkan keselarasan
bauran kebijakan sesuai dengan daya jangkaunya masing-masing. Walaupun begitu, baik pemerintah
dan Bank Indonesia masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah (PR) guna mendorong perekonomian
Indonesia menjadi lebih inklusif dan berkesinambungan.
PR Bagi Otoritas Fiskal
Dari sisi pemerintah (atau dari sisi fiskal), paket kebijakan diwarnai oleh deregulasi utamanya bagi sektor
investasi. Sayangnya, sepertinya hal ini baru akan berdampak dalam jangka menengah-panjang. Ini
dikarenakan deregulasi lebih diarahkan pada investasi-investasi yang baru, sedangkan dalam rangka
menjaga produsen ataupun industri yang telah ada (existing) masih belum terlalu terlihat.
Walau kekosongan dorongan fiskal dalam jangka pendek-menengah coba diisi dengan mendorong
penyerapan anggaran pemerintah, khususnya di daerah-daerah. Namun sepertinya tetap akan
memakan waktu. Utamanya karena pengambil kebijakan di daerah terlihat “cemas” dalam menyalurkan
anggaran mereka. Penyebabnya apalagi kalau bukan kebijakan hukum yang terlihat inkonsisten. PR yang
sepertinya juga tidak fair jika hanya dialamatkan kepada pemerintah semata.
Disisi lain bila paket kebijakan ekonomi III yang isunya akan dihiasi dengan penurunan harga BBM
bersubsidi dan TDL (tarif dasar listrik). Memperlihatkan bahwa pemerintah mulai merasakan adanya titik
kritis perekonomian yang berasal dari daya beli masyarakat (demand side). Indikasinya deflasi yang
terjadi di bulan September. Walau di satu sisi deflasi memperlihatkan harga yang stabil di dalam negeri,
namun juga menyisakan kekhawatiran akan turunnya daya beli. Dan tentunya perlu diperhatikan bahwa
pengeluaran masyarakat mulai bergeser ke hal-hal yang bersifat sekunder, misalnya kebutuhan papan,
kebutuhan telekomunikasi dan juga rokok.
Sementara itu, kebijakan penurunan biaya pajak deposito DHE (devisa hasil ekspor) yang dikeluarkan
dirasa hanya akan berpengaruh pada industri berbasis ekspor. Sedangkan basis industri dalam negeri
sepertinya lebih mengarah ke pasar domestik. Indikatornya, nilai ekspor yang relatif menurun dibanding
tahun lalu bahkan disaat nilai rupiah terdepresiasi. Suatu hal yang bersifat anomali, mengingat nilai
tukar adalah salah satu bentuk comparative advantage produk dalam negeri di pasar global.
PR Bagi Otoritas Moneter
Dari sisi moneter, aura pendalaman pasar keuangan menjadi hal yang sangat terasa dalam paket
kebijakan I dan II. Namun perlu dicatat bahwa stabilisasi nilai tukar (rupiah) juga menjadi hal yang
diperhatikan oleh Bank Indonesia. Masih besarnya impor, khususnya berupa barang faktor produksi,
sementara target pasar yang berasal dari domestik menjadikan industri mulai bergerak pelan.
Walau disisi lain, tekanan terhadap rupiah yang berasal dari faktor global, khususnya terkait spekulasi
Fed Fund Rate masih sangat besar. Namun dengan cadangan devisa yang masih sangat sehat, sebesar
6,9 bulan impor dan hutang, tidak ada salahnya jika Bank Indonesia yang selama ini terlihat hati-hati
mulai terjun lebih dalam ke pasar.
Terlebih dengan kredibilitas Bank Indonesia yang pada tahun ini patut diapresiasi, dengan kemungkinan
akan mampu mendorong inflasi dalam rentang target yang dicanangkan di awal tahun. Sehingga
keberanian dan cara komunikasi Bank Indonesia yang lebih informatif bagi semua pihak sepertinya mulai
diperlukan bagi para investor, khususnya di pasar keuangan yang relatif sangat rentan dan bersifat
jangka pendek.
Walau disadari bahwa pasar keuangan bersifat sangat global, namun saat Bank Indonesia melakukan
kebijakan yang berani dan informatif, dampak ikutan dari investor khususnya dalam negeri,
kemungkinan juga akan bergerak searah dengan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan penjagaan LLD
(lalu lintas devisa) serta pengelolaan supply dan demand di pasar forward dimungkinan membutuhkan
waktu. Sehingga dirasa belum akan cukup mengembalikan rupiah kembali ke nilai riil-nya secara singkat.
Hal yang rasanya juga diperuntukkan sama dalam kegiatan pendalaman pasar keuangan, melalui
penerbitan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) Valas. Sehingga hasil akhir berupa stabilitas di pasar
keuangan, termasuk mendorong bursa saham-IHSG kembali ke nilai fundamentalnya, diharapkan dapat
dicapai secara lebih cepat.
Seterusnya diharapkan koordinasi yang baik antara kedua otoritas ini tetap terjaga dengan baik dan
saling bahu-membahu dalam mencapai kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Comments