Skip to main content

PERKEMBANGAN KREDIT INDONESIA TRIWULAN-I 2015



Outlook Ekonomi Dunia dan Indonesia
Selama Triwulan-I 2015, tingkat pertumbuhan ekonomi dunia bergerak dengan lamban. Hal ini dipicu oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara dengan PDB terbesar dunia yang turut mengalami pertumbuhan melam-bat yang utamanya didorong oleh perlambatan ekonomi dari dua negara dengan PDB terbesar dunia. China mengalami slowdown (perlambatan) pertumbuhan ekonomi yang dimungkinkan berada di angka 6,7% (terendah dalam dua dekade terakhir). Sementara Amerika Serikat juga masih menunggu penurunan data tingkat pengangguran mereka menuju angka dibawah 4%, posisi yang sama sebelum mortgage crisis (saat ini masih di angka 5,1%), untuk selanjutnya bisa bereaksi dengan meningkatkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate-FFR)-nya. Sementara Eropa dan Jepang masih berada dalam proses recovery ekonomi mereka, sebagai dampak kebijakan quantitative easing yang mereka luncurkan.
Akibat lemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara besar tersebut, menyebabkan permintaan (demand) barang-barang perdagangan dunia menjadi rendah, yang selanjutnya mau tidak mau menimbulkan kelebihan penawaran (excess supply) komoditas dan barang-barang perdagangan dunia. Seterusnya, ceteris paribus, menggerek harga barang-barang perdagangan dalam perdagangan dunia menjadi lebih rendah.
Bagi Indonesia, keadaan diatas diartikan sebagai “blessing in disguise”. Disatu sisi, dengan predikat sebagai negara dengan importir minyak, turunnya harga minyak dunia telah menurunkan besaran nilai impor minyak di Indonesia. Walau di level masyarakat, hal ini relatif tidak terasa secara langsung. Namun dari sisi neraca perdagangan, penurunan harga komoditas menyebabkan neraca perdagangan yang pada tahun 2014 lalu selalu mencatatkan nilai negatif (defisit), namun semenjak turunnya harga minyak dunia berbalik menjadi bernilai positif (surplus). Bahkan di bulan Maret 2015, surplus perdagangan tercatat sebesar USD 1,13 milyar.
Sementara itu, ditunjang dengan kebijakan baru terkait subsidi BBM yang diambil pemerintah, hal ini secara langsung berdampak pada data APBN Indonesia. Dimana pada tahun 2014 lalu, Indonesia mencatatkan nilai realisasi pos subsidi BBM mencapai 13% dari total belanja APBN 2014 (atau setara dengan Rp. 240 trilyun), namun pada tahun 2015 diperkirakan akan mampu menyentuh angka kurang dari 10% dari total belanja APBN 2015 (atau kurang dari Rp. 200 trilyun). Dengan kata lain, pos pembelanjaan lain lebih bisa dioptimalkan dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi.
Disamping itu, turunnya harga komoditas dunia juga berdampak pada terjadinya deflasi pada Januari dan Februari. Hal ini utamanya didorong oleh kelompok managed price (harga yang diatur pemerintah). Karenanya target tingkat inflasi sebesar 4% (±1%) yang dicanangkan BI di awal tahun bukan suatu hal yang mustahil tercapai di akhir 2015. Akibat lanjutannya, tingkat suku bunga acuan (BI rate) juga akan mampu ditahan di angka 7%, bahkan memiliki kecenderungan menurun hingga akhir tahun 2015.
Tetapi sayangnya, perlu kita ketahui juga bahwa barang-barang ekspor Indonesia didominasi oleh barang primer (atau masih berupa komoditas). Sehingga penurunan harga komoditas dunia akan menghambat laju pertumbuhan nilai barang-barang yang berbasis komoditas, yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk yang memiliki bersentuhan dengan hal tersebut. Untungnya, hal ini dibantu dengan depresiasi (penurunan nilai) rupiah (khususnya terhadap USD) yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Sehingga mengakibatkan walaupun volume ekspor menurun secara tajam, namun secara nilai (value) perubahannya tidak sebesar penurunan volume.
Dan layaknya suatu lingkaran setan yang tidak putus, sayangnya depresiasi rupiah malah mendorong kenaikan biaya produksi industri dalam negeri dikarenakan masih banyaknya barang-barang produksi industri dalam negeri yang berasal dari impor. Selanjutnya, seiring dengan kebutuhan impor yang meningkat, rupiah kembali terdepresiasi karena permintaan dollar untuk memenuhi impor barang-barang produksi tersebut. Terlebih target pasar dari hasil produksi adalah pasar dalam negeri. Sehingga tidak mengherankan seiring dengan dilakukannya penyesuaian (adjustment) harga terhadap barang hasil produksi, menimbulkan kenaikan harga (inflasi) di bulan Maret. Hal ini diindikasikan dengan data inflasi IHK BPS yang menyatakan bahwa inflasi didorong oleh kelompok barang bergejolak (atau volatice price), yang didalamnya memasukkan komponen barang impor dan barang hasil industri.
Dari sisi likuiditas, posisi Indonesia yang hanya sebagai perekonomian terbuka kecil (small open-economy) dalam kancah ekonomi dunia kembali digoncang dengan isu pembalikan modal (capital reversal) investor luar negeri seiring dengan penantian mereka terhadap keputusan kenaikan Fed Fund Rate di Amerika Serikat. Akibatnya, terjadi penurunan jumlah likuiditas modal dalam negeri, khususnya yang berasal dari investor asing.
Perkembangan Total Kredit Indonesia
Dampak gabungan dari pengaruh ekonomi luar negeri dan kondisi dalam negeri menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turut melamban. Bagi sektor perbankan, ini menyebabkan sektor penyaluran kredit sebagai pendorong (booster) pertumbuhan ekonomi juga turut terhambat. Akibatnya tidak mengherankan bila jumlah total kredit di bulan Januari 2015 menjadi lebih rendah dibanding periode Desember 2014. Bahkan hal ini juga diperkirakan akan terus terjadi selama triwulan-I tahun 2015.
Berdasarkan laporan survei perbankan Triwulan-I Tahun 2015 yang dikeluarkan Bank Indonesia pada tanggal 13 April 2015, penurunan permintaan kredit baru terjadi pada enam lapangan usaha. Yakni lapangan usaha “Pertanian, Perburuan&Kehutanan”, lapangan usaha “Pertambangan&Penggalian, lapangan usaha “Real Estate, Usaha Persewaan,&Jasa Perusahaan”, lapangan usaha “Jasa Pendidikan”, lapangan usaha ”Jasa Kesehatan Kegiatan Sosial”, dan lapangan usaha “Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan & Perorangan Lainnya”.
Penurunan terbesar sendiri terjadi pada lapangan usaha “Pertambangan&Penggalian”, yakni sebesar 30,4% dibanding triwulan-IV tahun 2014. Faktor utama yang menyebabkan penurunan permintaan kredit pada lapangan usaha ini dikarenakan menurunnya permintaan global, penurunan harga barang tambang di pasar internasional dan kebijakan Pemerintah mengenai larangan ekspor barang mineral mentah.
Gambar 4.1. Jumlah Kredit Berdasarkan Lapangan Usaha
Tahun 2011 – Tahun 2015
 (Dalam Milyar Rp)
Gambar 4.2. Jumlah NPL Berdasarkan Lapangan Usaha
Tahun 2011 – Tahun 2015
 (Dalam Persen Terhadap Total Kredit)
Ket:
1: Pertanian, Perburuan dan Kehutanan
2: Perikanan
3 :Pertambangan dan Penggalian
4 :Industri Pengolahan
5 : Listrik, gas dan air
6 : Konstruksi
7 : Perdagangan Besar dan Eceran
8 : Penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum
9 : "Transportasi, pergudangan dan komunikasi "
10 : Perantara Keuangan
11 : "Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan"
12 : "Admistrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib"
13 : Jasa Pendidikan
14 : Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
15 :Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan dan Perorangan lainnya
16 : "Jasa Perorangan yang Melayani Rumah Tangga"
17 :"Badan Internasional dan Badan Ekstra Internasional Lainnya"
18 : "Kegiatan yang belum jelas batasannya"
Sumber; Bank Indonesia (2015)
Sementara itu, dari laporan Statistik Bulanan Perbankan Indonesia yang dikeluarkan Bank Indonesia. Besaran kredit terbesar pada bulan Januari 2015 masih didominasi oleh lapangan usaha “Perdagangan Besar dan Eceran (kode 7, di gambar 4.1, diatas)” dan lapangan usaha “Industri Pengolahan (kode 4)”. Bahkan pada bulan Januari 2015 sebanyak 51,89% dari total penyaluran kredit berasal dari kedua lapangan usaha ini. Hal ini masih sama dengan periode-periode sebelumnya (setidaknya dari tahun 2011 hingga Januari 2015).
Dari sisi resiko, secara rata-rata nilai NPL kredit di bulan Januari 2015 tercatat sebesar 2,15%. Dan patut diingat bahwa walaupun lapangan usaha “Perdagangan Besar dan Eceran” memiliki tingkat penyaluran kredit yang besar, namun lapangan usaha ini juga diikuti dengan tingkat resiko NPL yang tinggi, yakni di angka 3,52% dari total kredit yang disalurkan pada bulan Januari 2015. Sementara lapangan usaha “Konstruksi” (kode 6 pada gambar 4.2, diatas) merupakan sektor dengan NPL tertinggi, yakni di angka 5,25% dari total kredit yang disalurkan pada lapangan usaha tersebut di bulan Januari 2015.
Perkembangan Nilai Total Penyaluran Kredit di Tingkat Provinsi
Berdasarkan wilayah (atau provinsi) penyaluran kredit secara total, pada Januari 2015 Provinsi DKI Jakarta masih menjadi daerah dengan dominasi kredit terbesar nasional. Yakni dengan jumlah kredit sebesar Rp.1.779,8 trilyun atau setara dengan 48,9% dari total kredit yang disalurkan di Indonesia. Berdasarkan jenis penggunaannya, sebesar Rp.908,9 triliun atau setara 51% dari total kredit provinsi merupakan Kredit Modal Kerja (KMK). Seterusnya sebesar Rp. 546,5 triliun atau setara dengan 31% dari total kredit provinsi merupakan Kredit Investasi (KI), dan lebihnya atau sejumlah Rp. 324,4 triliun atau setara dengan 18% dari total kredit provinsi diperuntukkan bagi Kredit Konsumsi (KK). Sementara berdasarkan lapangan usaha, penyaluran kredit di DKI Jakarta didominasi oleh lapangan usaha “Industri Pengolahan” dengan nilai kredit sebesar Rp. 385,2 triliun atau setara dengan 21,65% dari total kredit provinsi. Jumlah ini diikuti oleh lapangan usaha “Perdagangan Besar dan Eceran”; lapangan usaha “Perantara Keuangan”; lapangan usaha “Pertambangan dan Penggalian”; lapangan usaha “Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan” dengan persentase penyaluran kredit dari total kredit provinsi secara berturut-turut sebesar 14,41% ; 7,83% ; 7,05% ; dan 6,23%. Dengan merujuk pada besaran jenis penggunaan, lapangan usaha penyaluran kredit dan sumber daya daerah, secara tidak langsung ini juga menggambarkan bahwa nasabah kredit di Provinsi DKI Jakarta didominasi oleh nasabah-nasabah korporasi.
Provinsi dengan besaran penyaluran kredit yang besar selanjutnya diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dengan total nilai penyaluran kredit di bulan Januari sebesar Rp. 334,5 triliun atau setara dengan 9,21% dari total kredit nasional di bulan yang sama. Jumlah tersebut diikuti oleh Provinsi Jawa Barat dengan besaran total nilai penyaluran kredit sebesar Rp. 298,0 triliun atau setara dengan 8,20% dari total kredit nasional. Di tempat keempat diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah dengan total nilai penyaluran kredit provinsi sebesar Rp. 193,6 triliun atau setara dengan 5,33% dari total kredit nasional. Dan sebagai pelengkap di posisi lima sebagai provinsi dengan nilai penyaluran kredit terbesar nasional adalah Sumatera Utara, yakni sebesar Rp. 163,3 triliun atau setara dengan 4,49%.
Gambar 4.3. Nilai Total Kredit Tiap Provinsi dan Persentase Kredit Terhadap Total Nasional
Bulan Januari Tahun 2015

 
DKI Jakarta
a.     Jumlah Kredit
b.  Persentase Kredit Provinsi Thd Total Kredit Nasional


Ket : RHS : right hand side (menggunakan axis Y sebelah kanan)
LHS : left hand side (menggunakan axis Y sebelah kiri)
Sumber; Bank Indonesia (2015)

Perkembangan Nilai NPL Kredit di Tingkat Provinsi
Dari sisi resiko (dilihat dari NPL), berdasarkan nilai, NPL terbesar berasal dari DKI Jakarta, yakni dengan nilai NPL sebesar Rp. 36,1 trilyun. Selanjutnya diikuti oleh Jawa Barat dengan nilai NPL sebesar Rp. 9,1 triliun; Jawa Timur sebesar Rp. 6,9 triliun; Jawa Tengah sebesar Rp. 4,8 triliun; dan Sumatera Utara dengan jumlah NPL sebesar Rp. 4,5 triliun. Besarnya nilai NPL di kelima provinsi ini memang patut dimaklumi. Hal ini dikarenakan jumlah kredit yang disalurkan di provinsi-provinsi tersebut juga jauh melebihi provinsi-provinsi lainnya.
Sementara jika diukur dengan persentase nilai NPL dibandingkan dengan total nilai kredit yang disalurkan, lima provinsi dengan nilai NPL tertinggi berasal dari Provinsi Papua Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Papua, dan Gorontalo. Untuk provinsi Papua Barat sendiri, nilai NPL tertinggi berasal dari lapangan usaha “Pertanian, Perburuan dan Kehutanan” yang mencapai nilai 64,27% dari total nilai kredit yang disalurkan di lapangan usaha tersebut. Seterusnya diikuti oleh lapangan usaha “Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi” dan lapangan usaha “Konstruksi” dengan besaran persentase NPL berturut-turut sebesar 30,89%, dan 11,06% dari total nilai kredit yang disalurkan di lapangan usaha tersebut. Jika dilihat dari jenis penggunaan kredit, NPL tertinggi berdasarkan persentase bagi peruntukan kredit berasal dari peruntukan bagi Kredit Investasi (KI). Dimana sebesar 17,89% dari kredit yang digolongkan KI termasuk dalam NPL. Sementara Kredit Modal Kerja (KMK) memiliki NPL sebesar 8,54%; dan Kredit Konsumsi (KK) memiliki nilai NPL sebesar 1,53% dari total kredit yang diperuntukkan di daerah tersebut.
Sementara untuk provinsi Kalimantan Timur, NPL terbesar disumbang oleh lapangan usaha “Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan dan Perorangan Lainnya” dan lapangan usaha “Kegiatan Yang Belum Jelas Batasannya” yang sama-sama memiliki besaran NPL sebesar 16,7% dari total nilai kredit yang disalurkan pada lapangan usaha tersebut.
Sementara berdasarkan persentase bagi peruntukan kredit nya, sebesar 7,39% dari total nilai Kredit Investasi (KI) di provinsi ini termasuk dalam kategori NPL. Untuk Kredit Modal Kerja sendiri sebesar 5,76%; dan untuk Kredit Konsumsi mencatatkan nilai NPL sebesar 2,19% dari total nilai kredit yang diperuntukkan di daerah tersebut.

Gambar 4.4 Nilai Total NPL Tiap Provinsi dan Persentase NPL Terhadap Kredit Provinsi
Bulan Januari Tahun 2015
Ket : RHS : right hand side (menggunakan axis Y sebelah kanan)
LHS : left hand side (menggunakan axis Y sebelah kiri)
Sumber; Bank Indonesia (2015)


DKI Jakarta
a.        a.  Jumlah NPL
 
b.  Persentase NPL Thd Total Kredit Provinsi


Untuk provinsi Aceh, NPL terbesar berasal dari lapangan usaha “Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan dan Perorangan Lainnya” dan lapangan usaha “Konstruksi” yang masing-masingnya memiliki nilai NPL sebesar 28,19% dan 26,78% dari total nilai kredit yang disalurkan pada lapangan usaha tersebut. Namun berkebalikan dari dua provinsi sebelumnya, nilai NPL berdasarkan peruntukan lebih banyak berasal dari Kredit Modal Kerja, dengan nilai NPL sebesar 12,38% dari total Kredit Modal Kerja yang disalurkan di provinsi tersebut. Sementara untuk Kredit Investasi, nilai NPL nya sebesar 4,02%; dan Kredit Konsumsi sebesar 0,97%.
Provinsi Papua sendiri mencatatkan nilai NPL terbesar yang berasal dari lapangan usaha “Konstruksi” dan lapangan usaha “Industri Pengolahan” dengan nilai NPL sebesar 24,36% dan 23,37% dari total nilai kredit yang disalurkan pada lapangan usaha tersebut. Dan berdasarkan peruntukannya, nilai NPL di Provinsi Papua identik dengan yang terjadi di Provinsi Aceh. Dimana nilai NPL terbesar berdasarkan peruntukannya berasal dari Kredit Modal Kerja sebesar 7,03%; Kredit Investasi sebesar 6,80%; dan Kredit Konsumsi sebesar 1,48%.
Seterusnya Gorontalo memiliki besaran nilai NPL yang terbesar disumbang oleh lapangan usaha “Konstruksi” dan lapangan usaha “Perantara Keuangan” sebesar 36,82% dan 32,10% dari total nilai kredit yang disalurkan pada lapangan usaha tersebut. Dan berdasarkan persentase nilai NPL terhadap peruntukan di masing-masing kredit, besaran NPL terbesar berasal dari Kredit Modal Kerja dengan nilai NPL sebesar 8,31%; Kredit Investasi sebesar 7,88%; dan Kredit Konsumsi sebesar 1,55%. (FCP)


Tulisan ini telah di-post pada Update Makroekonomi Panin Bulan April 2015
Post di meja sebelah jendela, lantai 7

Comments

Popular posts from this blog

Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997)_Review

Thomas M. Humphrey Fisher and Wicksell on the Quantity Theory (1997) Terdapatnya hubungan antara market price dengan money’s value in terms of goods Quantity Theory of Money Demand Fisher mecoba menjelaskan hubungan antara total quantity of money (M) dan jumlah total spending terhadap final goods and services yang diproduksi dalam perekonomian (yang dipengaruhi oleh tingat harga, P; dan aggregate output,Y). Sementara velocity of money (V) merupakan total spending (P×Y) dibagi quantity of money (M), atau; Saat money market berada di equilibrium (M = Md), menggunakan k sebagairepresentasi dari 1/V (constant); Fisher juga menjelaskan bahwa demand for money dipengaruhi oleh; 1) Oleh evel transaksi disebabkan oleh level of nominal income (PY) 2) Oleh institusi dalam perekonomian yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat melakukan transaksi (yang akan mempengaruhi V, dan seterusnya, k) Fisher; public’s real demand for money terutama mengacu pada domestic price level Wicksell; non-monetary de...

test-test existing of philips curve in Indonesia

Philips Curve (berdasarkan Solikin, 2004) I.    p = m + g p e + d Ygap + ε     Keterangan;       p ;            inflasi actual p e ;          ekspektasi inflasi (menggunakan Hodrick-Prescot filter) Y gap ;    GDPriil gap (GDPriil – GDPriilexpected) 1.                 Full Sampel - Data Tahunan (1961-2010) Dependent Variable: CPIINF Method: Least Squares Date: 03/18/11   Time: 17:55 Sample: 1961 2010 Included observations: 50 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.   ...

Investor Takut, Penawaran di Lelang SUN Menciut

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran investor terhadap penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia membuat jumlah penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara (SUN) kian menciut. Dalam lelang yang digelar hari ini, Selasa (14/4/2020), total penawaran yang masuk mencapai Rp27,65 triliun. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang tahun berjalan. Total nominal yang dimenangkan pemerintah dalam lelang tersebut mencapai Rp16,88 triliun. Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan angka penawaran yang rendah dalam lelang SUN hari ini disebabkan kekhawatiran investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Terlebih, berbagai upaya yang dilakukan belum membuat kurva penyebaran melandai. “Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang risiko perekonomian dan recovery Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020). Fikri menilai minimnya penawaran yang masuk dalam lelang SUN bukan disebabkan oleh risk appetite. Menurutnya, SUN semestikan r...