Ajaran
ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan
kehidupan yang meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju kepada Tuhannya. Menurut
Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi dan
keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap diri dan
rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan
khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari
kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Dibutuhkan sebuah
kesadaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi
sebaliknya masalah ekonomi yang diciptakan untuk kepentingan manusia. Sehingga pada dasarnya, secara
personal, kegiatan ekonomi yang dilakukan pada level seorang muslim berdasarkan
kepada prinsip moral dan akan berlanjut pada level seterusnya, yaitu komunitas
atau level social (societal level).
Firman Allah SWT:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
suka sama suka di antara kamu.(QS. An-Nisa’/4:29)”.
Ajaran Islam, sama sekali,
tidak pernah melupakan unsur materi dalam kehidupan dunia. Materi penting bagi
kemakmuran, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang baik bagi setiap
manuisa, dan membantu manusia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Namun
demikian, walaupun kehidupan ekonomi yang baik merupakan tujuan Islam yang
dicita-citakan, bukan merupakan tujuan akhir. Kehidupan ekonomi yang baik, pada
hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih
jauh. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat esensial antara ajaran Islam
dengan faham materialisme yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para
Sekuleristik.
Menurut Qardhawi,
ideologi-ideologi materialisme bertumbuh kepada pemenuhan nafsu yang tidak
terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah. Kesenangan materi
menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan. Berbeda dengan
ekonomi yang dilandasi moral agama, kesejahteraan kehidupan menjadikan tujuan
untuk meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya. Materi digunakan
untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih
kekal.
Di ayat lain juga disebutkan
bahwa ;
”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Q.S. Al
Maa’uun/ 107: 1-3”).”
Telah dinyatakan tegas dalam
Islam, bahwa diajarkan seorang muslim untuk menjadi orang-orang yang dermawan
dan pemurah, dan agar mendorong untuk memberi dan berderma, dengan kata lain
bahwa manusia diperintahkan untuk bersedekah, terutama untuk orang-orang
terdekatnya terlebih dahulu.
Hadist juga menyebutkan bahwa;
”Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah orang yang berbuat baik kepada
sahabatnya, dan sebaik-baiknya tetangga di sisi Allah adalah orang yang berbuat
kepada tetangganya.”
Dalam ayat lain juga dikatakan
dalam Firman Allah SWT ;
”(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan
menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.”
Karenanya dalam Al-Quran
sangat ditentang untuk bersikap kikir. Kikir merupakan tabiat yang mencegah
pemiliknya untuk berderma, mendorong pemiliknya untuk menahan rezeki yang
diberikan kepadanya, menggengamnya dan tamak terhadapnya. Sifat ini akan
menjadikannya sebagai pribadi yang selalu merasa kekurangan, yang menjauhkannya
dari semangat bersaing dan berlomba dalam meraih kedudukan yang mulia (di sisi
Allah).
Disamping itu, prilaku kikir
akan membawa bencana dan petaka bagi masyarakat disekitarnya, bahakan bagi
dirinya sendiri. Prilaku ini akan menfokuskan keinginan individu untuk menumpuk
harta kekayaan dan kenikmatan duniawi. Hal ini secara lebih lanjut akan
mendatangkan kematian (kehancuran) moral yang jauh lebih berat dan beresiko
bagi struktur sosial masyarakat.
Dalam hadist, juga disebutkan
bahwa;
”Ada tiga golongan, di mana mereka merupakan golongan pertama yang kan
menghuni neraka. Mereka itu adalah orang alim, prajurit, dan orang dermawan
yang melakukan amalnya dengan riya’. Pada hari kiamat pemilik harta akan
berkata kepada Allah, ’Aku tidak pernah melakukan suatu perbuatan yang paling
aku cintai selain menginfakkan hartaku di jalan-Mu. ”Maka Allah menjawab,
’Pendusta kamu! Sebenarnya kamu berinfak karena kamu ingin disebut sebagai
seorang dermawan, dan hal itu telah kamu dapatkan’.”
Karenanya, walaupun berderma
merupakan suruhan Allah, namun hal ini akan menjadi bumerang seorang muslim
sendiri, bila diikuti dengan kebiasaan riya’ sebagai embel-embelnya.
Ajaran Islam mengakui
kebebasan pemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan pembangunan ekonomi,
namun harus diperoleh dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah. Pemilikan
harus melalui jalan halal yang telah disyariahkan. Demikian pula mengembangkan
kepemilikan harus dengan cara-cara yang dihalalkan dan tidak dilarang oleh
syariah. Islam melarang pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat
kerusakan di muka bumi atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia. Di
samping itu dilarang pula mengembangkan kepemilikan dengan cara merusak nilai
dan moral (akhlak), misalnya dengan menjualbelikan benda-benda yang diharamkan
dan segala yang merusak kesehatan manusia baik akal, agama maupun akhlaknya.
Dengan kata lain, nilai-nilai moralitas keagamaan sangat diperlukan dalam
prilaku individu dan masyarakat dalam islam.
Ini tulisan saat ambil matkul Ekonomi Islam di UNAND
Skitar akhir tahun 2006
Td baru ketemu stelah ngotak/atik komputer S1 dulu
Publish at home
10.05 PM WIB
after a whole family gathering day
Comments