Indonesia merupakan negara demokrasi
ketiga terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan India. Demokrasi ini adalah
hasil dari reformasi yang terjadi di tahun 1998. Alasan utama ketidakpuasan
masyarakat saat itu dikarenakan merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari para pemegang
kekuasaan politik, disamping politisasi aktivitas ekonomi dan keuangan.
Krisis ekonomi yang melanda Thailand di saat yang
sama (tahun 1997), yang berimbas ke
seluruh negara-negara ASEAN lainnya (termasuk Indonesia), menambah beban
Indonesia dan menjadikan Indonesia ke arah krisis multidimensi. Akibatnya pemerintahan Orde
Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun menjadi runtuh
lewat gerakan reformasi. Gerakan reformasi ini tuut menghantarkan terjadinya
perubahan Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen UUD 1945). Sehingga menyebabkan
terjadinya perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia dan berimbas pada terjadinya
perubahan sistem politik dan ekonomi Indonesia.
Bercermin pada kesadaran akan
perlunya “rule of the people” dalam
kehidupan bernegara inilah yang akhirnya memunculkan suatu sistem pemerintahan yang
dinamakan demokrasi. Sistem ini pada hakikatnya dicirikan dengan adanya jaminan
kebebasan dan hak individu (fundamental
freedom and fundamental rights) dalam sisi politik, serta kedudukan yang
sama di depan hukum (Becker, 2008), begitupun
dengan kebebasan dalam melakukan aktivitas perekonomian bagi warga negara (Tietmeyer, 2000).
Walaupun begitu, sistem demokrasi
belum menjamin adanya kepastian akan terciptanya stabilitas kehidupan politik
yang lebih baik. Dari jumlah partai yang ada, sistem demokrasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sistem
demokrasi dengan dua partai dan sistem demokrasi multipartai. Hermens (1941) dan Duverger (1954) menyatakan bahwa sistem demokrasi dengan dua partai
akan cenderung lebih stabil dibanding sistem demokrasi multipartai. Hal ini
dicontohkan dengan keadaan yang terjadi di negara Amerika Serikat dan Inggris.
Namun Mainwaring, (1990) menyatakan
bahwa sistem demokrasi dengan dua partai hanya akan membuat sistem politik di
suatu negara akan terpolarisasi. Karenanya Lijphart
(1977) lebih menyarankan jika dalam suatu masyarakat yang bersifat lebih
plural, kehidupan demokrasi multipartai akan lebih mampu menciptakan kehidupan
politik yang stabil. Hal ini demi menjamin hak-hak kaum minoritas dan
keterwakilan mereka dalam pemerintahan. Jika tidak maka dikhawatirkan mereka
akan lebih memilih untuk tidak ikut Pemilu, dan malah akan menciptakan instabilitas (kekacauan) politik[1].
Stabilitas politik juga berhubungan
erat dengan dimensi ekonomi suatu negara[2].
Lebih lanjut, Frey dan Stutzer
(1999) menjelaskan bahwa pendapatan suatu negara yang tinggi akan menciptakan
institusi demokrasi yang lebih baik. Sehingga akan mampu mendorong seseorang
untuk berpartisipasi dalam menyalurkan hak suara nya, yang pada gilirannya akan
menjamin terciptanya sistem demokrasi yang lebih baik. Dari sisi sebaliknya, Joshi (2011)
menemukan fakta bahwa terciptanya harmonisasi di kehidupan politik di suatu
negara, yang tercermin dari terciptanya kestabilan politik, merupakan suatu hal
yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Hal ini senada
dengan Huntington (1968) dan Alesina (1996) yang menilai bahwa
ketidakstabilan politik ini secara signifikan akan berdampak negatif bagi
pertumbuhan ekonomi. Karenanya dapat disimpulkan
bahwa peningkatan ekonomi suatu negara dibutuhkan dalam memastikan
kesinambungan sistem demokrasi, begitupun sebaliknya.
Disi lain, Przeworski (2008) menjelaskan bahwa demokrasi akan berakibat buruk pada
negara-negara miskin, sebaliknya negara-negara kaya malah akan cenderung
mendapat keuntungan dari adanya demokrasi. Hal ini diperkuat
oleh penelitian Nordhaus
(1975) yang menyatakan bahwa semua kehidupan perekonomian,
dan banyak hal yang ada, termasuk di dalamnya pemilihan kesejahteraan saat ini
dan masa datang. Hal ini khususnya akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
yang didasari oleh realitas politik yang terjadi pada masa itu. Sebagai
contoh, Mali dengan pendapatan per-kapita US$535 saat mulai menerapkan sistem
demokrasi pada tahun 1985 namun hingga saat ini pertumbuhan di negara tersebut
cenderung rendah. Sebaiknya Singapura dengan sistem politik diktator malah
mencatat pendapatan per kapita sebesar US$50,123 di tahun 2011 (Singapore Department of Statistics).
Dalam teori ekonomi, sistem
demokrasi multipartai diidentikkan dengan sistem ekonomi pasar bebas (free market economy). Dimana banyak
penjual dan pembeli, sehingga menciptakan keadaan pasar yang efisien. Kebebasan
individu, sebagai hak dasar dalam demokrasi, diharapkan dapat tercermin dalam
bidang ekonomi sehingga mampu menciptakan efisiensi ekonomi dalam bentuk
peningkatan kesejahteraan dan terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat.
Merujuk pada hal tersebut, maka kondisi politik yang memiliki tingkat kompetisi
yang lebih ketat (dicerminkan oleh sistem politik multipartai), ceteris paribus, menghasilkan sistem
politik yang juga akan lebih baik dan efisien sehingga mampu mendorong
terciptanya harmonisasi dengan sendi-sendi kehidupan lainnya, tak terkecuali
dengan bidang ekonomi.
Alesina (1987), menyatakan bahwa sistem
pemilihan umum yang berdasar pada sistem demokrasi multipartai merupakan sumber
ketidakpastian (source of uncertainty).
Hal ini disebabkan publik tidak akan tahu persis siapa yang akan duduk di
eksekutif maupun legislatif, tempat dimana suatu kebijakan pemerintahan
diambil. Karenanya tidak menutup kemungkinan akan memunculkan efek kejutan (surprise effect) jika ekspektasi yang
ada tidak sesuai dengan kenyataan, terutama apabila yang duduk di pemerintahan
bukanlah dari incumbent atau dari
partai yang sebelumnya diunggulkan, sehingga konsistensi kebijakan yang
diharapkan tidak tercapai. Hal ini didukung oleh Aisen dan Veiga
(2011) yang menjelaskan bahwa kehidupan demokrasi dengan sistem multipartai
dalam pemilihan umum suatu negara, akan meningkatkan kecenderungan perubahan
dalam politik. Dengan kata lain hal ini dapat menimbulkan ketidakstabilan
politik, yang pada gilirannya akan mendorong ketidakpastian dan ketidakstabilan
dalam perekonomian.
Caporaso (1993) juga mengingatkan bahwa
seringkali mekanisme pasar juga kurang berhasil dalam mempertemukan sisi supply dan demand (atau antara pemasok dan pembeli), dan malah menjadikan
kondisi pasar menjadi tidak efisien. Hal ini identik dengan penjelasan Keynes dalam memperlihatkan fenomena
adanya pengangguran dalam perekonomian. Dalam kaitannya dengan sektor politik,
perubahan terhadap penilaian kolektif di sektor perekonomian inilah yang
nantinya juga akan mampu mempengaruhi kemampuan pasar untuk mengatur dirinya
sendiri baik secara langsung ataupun tidak langsung. Akibatnya akan menghasilkan
beberapa masalah penting dalam agenda politik. Utamanya terkait dengan peran
pemerintah untuk menjamin kesejahteraan warga negara dan menjamin berjalannya
proses perekonomian masyarakat. Disinilah Keynesian berpandangan bahwa fungsi
negara diperlukan dalam mengatasi kegagalan mekanisme pasar tersebut, terutama
dengan memanfaatkan kebijakan fiskal pemerintah (Erani, 2010).
[1] Hipotesa Schumpeter
(1943) : demokrasi merupakan suatu akibat dari
pemberontakan masyarakat akan eksploitasi yang dilakukan oleh para kaum
kapitalis terhadap kaum pekerja (exploitation
of man by man).
[2] Boediono (2008) :menjelaskan bahwa hubungan simultan antara sistem demokrasi dan bidang ekonomi dicirikan dengan saling terkoneksinya tingkat kesejahteraan
suatu negara dengan kebutuhan atas
demokrasi yang bergerak searah.
Comments