KREDIBILITAS BANK INDONESIA DALAM MENCAPAI SASARAN INFLASI PERIODE JANUARI 2009-JANUARI 2010 (SUATU TINJAUAN DESKRIPTIF)
I. Pendahuluan
Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 memberi banyak pelajaran bagi Indonesia, salah satu di antaranya adalah perubahan fundamental dalam perumusan kebijakan moneter. Jika sebelum krisis, kebijakan moneter diarahkan untuk mecapai atau merealisasikan tujuan ganda (multiple objectives) antara lain: pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, stabilitas moneter, keseimbangan neraca pembayaran dan tujuan-tujuan pembangunan lainnya, maka sejak UU No. 23/1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia diberlakukan, kebijakan moneter di Indonesia diarahkan pada satu tujuan (single target) yaitu mencapai dan memelihara inflasi yang rendah dan stabil.
Disamping itu, untuk menjaga tingkat kestabilan inflasi, kredibilitas bank sentral pun patut menjadi perhatian. Ada beberapa bentuk pengukuran kredibilitas. Diantaranya diukur dari pencapaian realisasi inflasi dan dari peringkat utang pemerintahnya (Carare dan Stone, 2003). DIa membagi setidaknya terdapat tiga kelompok kredibilitas rezim ITF, yakni;
1. Rezim Full-fledged Inflation Targetting (FFIT)
Pada golongan ini, tingkat kredibilitas dapat dikatakan berada pada tingkatan menengah ke tinggi. DImana komitmen terhadap target inflasi telah jelas. Hal ini didukung dengan kelembagaan yang mendukunng akuntabilitas bank sentral dalam pencapaian target inflasi yang telah ditetapkan.
Penerapan Full-fledged Inflation Targetting (FFIT) ini mampu memberdayakan bank sentral dalm menjaga konsistensi kebijakan moneter dalm pengendalian inflasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu.
Contoh; Australia, Selandia Baru, Inggris, Kanada, Norwegia, Brazil, Chile, Korea Selatan, Thailand.
2. Rezim Eclectic Inflation Targetting (EIT)
Pada golongan ini, kebijakan moneter yang diterapkan memiliki kredibilitas yang sangat tinggi, sehingga mampu menjaga tingkat inflai yang rendah dan stabil tanpa harus memaksakan adanya transparansi dan akuntabiilitas secara penuh pada suatu target inflasi tertentu.
Kebijakan moneter yang dilakukan dengan tetap menjaga inflasi yang rendah dan stabil, serta dengan tetap menjaga sistem kestabilan keuangan yang ingin dicapainya telah memungkinkan bank sentral untuk dapat mengupayakan tujuan stabilisasi output dan kestabilan harga secara sekaligus.
Contohnya; Amerika Serikat, Bank Sentral Eropa, Jepang, Swiss, Singapura.
3. Rezim Inflation Targetting Lite (ITL)
Pada golongan ini, tujuan inflasi yang ditetapkan masih memiliki kredibilitas yang lemah, artinya target inflasi yang ditetapkan sulit untuk dijaga. Kredibilitas yang masih rendah ini, menunjukkan bahwa system moneter yang ada masih memiliki tingkat kerentanan terhadap shock (goncangan) yang terjadi dalam perekonomian. Kinerja kelembagaan yang masih rendah (lemah) serta didorong oleh terjadinya transisi di dalam otoritas moneternya, serta reformasi structural yang sedang dilakukan dituding sebagai penyebab rendahnya kredibilitas bank sentral dalam mencapai sasaran inflasinya.
Contohnya; Peru, Venezuela, Uruguay, Philipina, Kroasia, Rumania, Rusia, Srilanka.
Kerangka kebijakan yang mengacu pada target inflasi ini, (Inflation Targettting Framework), memiliki beberapa keunggulan. Mishkin dan Schmidt-Hebel (2001) menjelaskan bahwa, dari bukti empiris yang ada, maka penerapan ITF memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut;
1. ITF telah mampu membantu negara-negara yang menerapkan kerangka kebijakan ini dalam menurunkan tingkat inflasinya (terutama di negara-negara berkembang)
2. ITF telah teruji mampu menghadapi goncangan (shock) dalam perekonomian yang nantinya akan merugikan.
3. ITF telah mampu menurunkan sacrifice ratio dan volatilitas output di negara-negara yang menganutnya ke tingkat yang mendekati kinerja negara-negara maju yang tidak menerapkannya.
4. ITF telah mampu menurunkan dan menggiring ekspektasi inflasi serta menjaga goncangan (shock) terhadap inflasi.
5. Kebijakan moneter berdasar ITF dianggap cukup fleksibel dalam merespon secara simetris terhadap goncangan-goncangan yang mendorong inflasi dan mampu mengakomodasi goncangan-goncangan inflasi yang bersifat temporer sehingga tidak akan terlalu berpegaruh terhadap pencapaian target kebijakan moneter pada jangka menengah.
6. Kebijakan moneter lebih bersifat jelas sehingga lebih berfokus pada pencapaian sasaran tingkat inflasi dan dapat lebih ketat dalam menerapkan kebijakan moneternya.
7. Penerapan ITF dapat memperkuat independensi bank sentral.
8. Serta dengan penerapan ITF dapat pula memperkuat komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas bank sentral.
Dari beberapa keuntungan yang didapatkan dengan diberlakukannya kerangka Inflation Targettting Framework (ITF) diatas, maka kredibilitas Bank Sentral sebagai inflation-fighters, juga patut menjadi suatu perhatian dan keharusan. Dengan menggunakan target inflasi yang stabil sebagai tujuan utama kebijakan moneter, sedangkan yang lainnya merupakan tujuan sekunder, dimana tujuan sekunder tidak boleh mengganggu tujuan utama. Namun, tingkat inflasi yang rendah dan stabil masih menjadi kontroversi dan besarnya tingkat inflasi di setiap negara sulit untuk dikatakan sama (Schmidt-Hebel,2003).
Dengan melihat tantangan yang dihadapi dalam kerangka ITF dalam menjaga sasaran inflasi yang rendah dan stabil, maka saya mencoba untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul tentang “kredibilitas bank indonesia dalam mencapai sasaran inflasi periode januari 2009-januari 2010 (suatu tinjauan deskriptif)”.
II. Kerangka Teori
2.1 Teori Tentang Kredibilitas (Credibility Theory)
Kydland dan Prescott (1977) merupakan salah satu perintis yang penting dalam pembangunan teori kredibilitas kebijakan (theory of policy credibility). Dimana dalam teori ini, diasumsikan bahwa agen bersifat rasional dan melakukan ekspektasi terhadap masa depan dengan menggunakan berbagai informasi. Selanjutnya, kredibilitas digunakan sebagai bentuk penilaian dari kebijakan yang akan diambil.
Secara umum, faktor-faktor yang menimbulkan masalah kredibilitas adalah sebagai berikut;
1. Potensi time inconsistency dari discretionary policy seperti yang ditunjukkan dalam analisis Kydland-Prescott Model
2. Ketidakselarasan kebijakan moneter dan fiscal, yang masing-masing tidak mencapai targetnya.
3. Respons masyarakat terhadap kebijakan, sehingga pembentukan ekspektasinya tidak sama dan bahkan mengutamakan kepentingan sendiri atau memberi tekanan kepada otoritas.
4. Struktur ekonomi dan kemampuan otoritas serta masyarakat untuk memahami perilakunya.
5. Sistem dan kondisi politik yang ada,yang menimbulkan kepentingan kebijakan belum tentu sama dengann kepentingan politik.
Kredibilitas disini merupakan penilaian dari agen ekonomi dalam melihat ekspektasi kebijakan yang dibuat oleh pemegang kebijakan sehingga kebijakan perekonomian dapat bersifat efektif (Blackburn dan Christensen 1989). Namun sayangnya, kredibillitas dari kebijakan yan dilakukan tidak mudah untuk dilakukan.
Isu kredibilitas setidaknya mencakup dua aspek (Warjiyo, handout mata kuliah uang dan bank, 2010), yaitu;
1. Kredibilitas Kebijakan, yaitu seberapa jauh ekspektasi masyarakat terhadap pelaksanaan suatu kebijakan konsisten dengan pernyataan otoritas atas tindakan ke depan atas kebijakan yang dimaksud. Hal ini akan tergantung apakah pelaksanaan kebijakan oleh otoritas akan menyimpang dari pernyataan yang telah dikemukakan sebelumnya, baik karena intervensi pihak pihak lain maupun karena perubahan kinerja ekonomi.
2. Kredibilitas target, yaitu seberapa jauh ekspektasi masyarakat terhadap kemungkinan tercapainya target kebijakan ke depan akan konsisten dengan pengumuman otoritas mengenai pencapaian target dimaksud. Hal ini akna dipengaruhi oleh seberapa tinggi kredibilitas kebijakan serta apakah struktur ekonomi (termasuk respons kebijakan oleh masyarakat) akan memungkinkan tercapainya target yang diumumkan tersebut.
2.2 Teori Kredibilitas Dan Kebijakan Neoliberal (Credibility Theory And Neoliberal Policy)
Pada teori ini dijelaskan bahwa terdapatnya kecepatan program reformasi neoliberal dalam tubuh bank sentral, terutama di negara-negara berkembang. Pada negara-negara yang sebelumnya komunis, kredibilitas masih merupakan debat selama reformasi ekonomi.
Kredibilitas kebijakan dan target juga ditentukan oleh;
(a) Respons masyarakat yang tercermin pada pembentukan ekspektasinya
(b) Pentingnya bagi bank sentral untuk menjaga, dan komitmen terhadap rezim kebijakan yang dirumuskannya dari waktu ke waktu.
Sementara pada negara-negara yang melakukan transisi menuju kapitalisme, kredibilitas kebijakan merupakan isu yang penting dikarenakan revolutionary nature of the societal transformation (Schmieding 1992).
2.3 Social Welfare Function (SWF)
Dengan memformulasikan keinginan bank sentral yang menjaga inflasi dan tingkat pengangguran yang netral, sehingga bank sentral memiliki social welfare function sebagai berikut;
Dari persamaan diatas diketahui bahwa social welfare (dalam hal ini bagi bank sentral) adalah untuk mengurangi pengangguran (u),dan menurunkan tingkat inflasi (). Disini ω/2 merupakan parameter, dimana ω merepresentasikan preferensi dari bank sentral dengan mempertimbangkan trade-off antara pencapaian penurunan pengangguran atau lebih mengacu pada penjagaan nilai inflasi yang rendah. Nilai dikarenakan peningkatan inflasi akan berbahaya bagi perekonomian dan yang nilainya akan lebih besar dari peningkatan proporsional tingkat inflasi.
Dengan mempertimbangkan adanya Philip Curve (tradeoff antara output dan inflasi), maka objective function dari bank sentral untuk mencapai inflasi optimal. akan menjadi;
Dengan mempertimbangkan kebijakan bank sentral yang menggunakan ekspektasi inflasi (expected inflation), yang bersifat forward-looking, dalam menggiring ekspektasi (perilaku) agen ekonomi yang bersifat rational expectation, maka ekspektasi inflasi agen ekonomi akan menjadi;
Karenanya tingkat pengangguran (unemployment rate) akan sama dengan u*, karenanya tingkat social welfare-function menjadi:
2.4 Nilai Kredibilitas Bank Sental (The Value of Central Bank Credibility)
Jika suatu bank sentral memiliki kredibllitas, dimana diandaikan bank sentral mengumumkan tingkat inflasi yang nol. Dan para agen ekonomi pun percaya dengan kredibilitas bank sentral (dimana mereka bersifat rational expectation), karenanya tingkat pengangguran akan menjadi sama dengan u*. Sehingga tingkat social welfare function akan menjadi;
Dengan persamaan diatas, maka inflasi oleh bank sentral akan tetap menjadi π=(1/ωβ). Untuk mengantisipasi perilaku bank sentral maka agen-agen ekonomi juga akan menjadikan target inflasinya menjadi π=(1/ωβ).
Dan saat bank sentral mengumumkan kebijakan zero-inflation policy, dimana πe=0, dan membuat tingkat inflasi menjadi π=(1/ωβ), karenanya;
Karenanya social welfare function akan menjadi;
Karenanya penjagaan reputasi bank sentral terhadap kredibilitas dan konsistensi, dengan penjagaan inflasi yang rendah, mesti dijaga. Begitupun dengan penguatan reputasi dari bank sentral sebagai sebagai pemegang kebijakan yang konsisten, dan dapat dipercaya.
III. Kebijakan Moneter di Indonesia (Januari 2009-Januari 2010)
Dalam UU no.23 tahun 1999 dijelaskan bahwa Bank Indonesia menganut sistem Inflation Targetting Framework (ITF) yang mulai diterapkan sejak tahun 2001, dan melakukan sedikit perubahan menuju Flexible Inflation Targetting Framework (flexible ITF) pada tahun 2005.
Sebagai jawaban atas tantangan perekonomian (khususnya di bidang moneter), maka Bank Indonesia menerapkan Flexible ITF di Indonesia. Hal ini didasarkan pada tiga aspek penting, yakninya;
1. Pencapaian stabilitas harga yang rendah dan stabil tidak bias hanya dilakukan dengan kebijakan moneter dari sisi permintaan, dan karenanya mengharuskan Bank Indonesia untuk berperan aktif mendorong fleksibilitas sisi penawaran.
2. Perlunya sinergi kebijakan untuk stabilitas moneter (harga dan nilai tukar) dengan stabilitas system keuangan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dan mengatasi ekses likuiditas yang berlebihan.
3. Perlunya bauran instrument moneter dan macroprudential untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi moneter dalam mendukung kredibilitas BI-rate sebagai stance kebijakan moneter (sejak Juni 2008, sasaran operasional menjadi suku bunga PUAB overnight).
Dan sebagaimana UU no.23 tahun 2009 dan amandemennya UU no.3 tahun 2004, yang menjelaskan penerapan kerangka kebijakan yang bertujuan menjaga inflasi (Inflation targeting framework), maka semenjak Juli 2005 Indonesia menerapkan kebijakan ITF secara penuh dengan otoritas moneter tertingginya yang berada di tangan Bank Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (Januari, 2010) menyatakan bahwa penerapan ITF telah mampu mengangkat kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia, khususnya dalam menjaga inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter, penguatan kerangka kelembagaan (independensi, akuntabilitas, dan transparansi), kerangka operasional, koordinasi kebijakan, maupun riset dan analisis yang mendukung. Akan tetapi, kinerja pencapaian inflasi yang rendah dan stabil masih belum sesuai harapan sementara biaya operasi moneter relative tinggi.
Tabel perubahan inflasi atas dasar IHK month on month (mom), nilai inflasi atas dasar IHK yoy, PUAB overnight, perubahan base money, dan nilai perubahan ekspektasi konsumen;
sumber; Bank Indonesia
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa antara inflasi atas dasar (mom) dan nilai ekspektasi konsumen masih berada dalam batas wajar (+/- 1%). Karenanya dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas kebijakan moneter di Indonesia melalui instrument kebijakannya, yaitu PUAB overnight dan kebijakan menjadi uang beredar (base money) telah mampu menggiring konsumen ke arah ekspektasi inflasi yang diharapkan oleh bank sentral.
IV. Kesimpulan
Penjagaan kredibilitas Bank Sentral merupakan suatu hal yang mesti dicapai, terutama dalam kerangka Inflation Targetting Framework (ITF). Kredibilitas bank sentral dapat dilihat dari ekpektasi inflasi dan pencapaian inflasi riil yang terjadi. Kredibilitas sendiri dilihat dari bagaimana perilaku agen ekonomi melakukan kebijakan yang akan dilakukannya, dan hal ini terkait dengan pencapaian bank sentral itu sediri.
Ini sesuai dengan Kara (2003), yang menyatakan bahwa kerangka optimal monetary policy hendaknya meperhatikan dua asumsi yang bersifat full commitment solution; Pertama; bank sentral harus melakukan optimisasi komitmen sebagaimana yang ditetapkan pada awalnya dan bersifat konsisten terhadap kebijakan tersebut. Kedua pemegang kebijakan moneter haruslah bersifat kredibel, dimana ekspektasi agen ekonomi sejalan dengan prilaku bank sentral.
Melihat data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan bank Indonesia selama periode Januari 2009 hingga Januari 2010 bahwa bank Indonesia telah kredibel di mata para agen ekonomi. Ini terbukti dengan nilai ekspektasi perubahan harga umum konsumen yang hamper sama dengan nilai perubahan inflasi IHK month on month (mom) yang terjadi, atau masih dalam kisaran (+/- 1%). Karenanya kebijakan bank sentral melalui operasi PUAB overnight-nya dan dalam penjagaan base money-ya pun telah dapat dikatakan kredibel. Karenanya Bank Indonesia telah mampu disebut mencapai tingkat kredibilitas dalam kebijakan dan kredibel dalam menentukan target.
Dan dengan merujuk kepada Carare dan Stone (2003), maka selama periode observasi, dapat dikatakan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia telah mencapai rezim Full-fledged Inflation Targetting (FFIT).
DAFTAR PUSTAKA
Bernanke, B.,dan Mishkin. F.S., (2007), “Inflation Targeting: A New Framework for Monetary Policy?”, Monetary Policy Strategy, The MIT Press,
Cambridge, Massachusetts, USA. Blackburn, K. dan M. Christensen, (1989), “Monetary Policy and Policy Credibility: Theories and Evidence”, Journal of Economic Literature XXVII.
Borrero, Alberto Musalem., (2001), “On the Long and Short of Central Bank Independence, Policy Coordination, and Economic Performance”, IMF Working Paper WP/01/19.
Grabel, Ilene., (1999), The Political Economy of Policy Credibility The New-Nlassical Macroeconomics and The Remaking of Emerging Economies”, Working Paper No. 269.
Kara., A.Hasan., (2003),”Optimal Monetary Policy, Commitmen and Imperfect Credibility”, dissertation.
Mishkin, F. S., dan Schmidt-Hebbel, K. (2001), "One Decade Of Inflation Targeting In The World: What Do We Know And What Do We Need To Know?" NBER Working Paper, 8397.
Schmieding, H., (1992), “Lending Stability to Europe’s Emerging Market Economies”, Tübingen, Germany: J.C.B. Mohr.
Svensson, L. E. O. (2000), “Open Economy Inflation Targeting”, Journal of International Economics 50, 155–83.
Tanuwidjaja, Enrico., dan Choy Keen Meng., (2005), “Central Bank Credibility and Monetary Policy:Evidence from Small Scale Macroeconomic Model of Indonesia”, SCAPE Working Paper No.2005/14.
Taylor, J. B. (2000), “Low Inflation, Pass-Through, and the Pricing Power of Firms,” European Economic Review, 44(7), pp. 1389-1408.
Warjiyo, Perri., (2010), “Time Inconsistency and Credibility of Monetary Policy”, Handout mata kuliah Uang dan Bank pertemuan ke 8, disampaikan pada 12 november 2010.
www.bi.go.id
Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 memberi banyak pelajaran bagi Indonesia, salah satu di antaranya adalah perubahan fundamental dalam perumusan kebijakan moneter. Jika sebelum krisis, kebijakan moneter diarahkan untuk mecapai atau merealisasikan tujuan ganda (multiple objectives) antara lain: pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, stabilitas moneter, keseimbangan neraca pembayaran dan tujuan-tujuan pembangunan lainnya, maka sejak UU No. 23/1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia diberlakukan, kebijakan moneter di Indonesia diarahkan pada satu tujuan (single target) yaitu mencapai dan memelihara inflasi yang rendah dan stabil.
Disamping itu, untuk menjaga tingkat kestabilan inflasi, kredibilitas bank sentral pun patut menjadi perhatian. Ada beberapa bentuk pengukuran kredibilitas. Diantaranya diukur dari pencapaian realisasi inflasi dan dari peringkat utang pemerintahnya (Carare dan Stone, 2003). DIa membagi setidaknya terdapat tiga kelompok kredibilitas rezim ITF, yakni;
1. Rezim Full-fledged Inflation Targetting (FFIT)
Pada golongan ini, tingkat kredibilitas dapat dikatakan berada pada tingkatan menengah ke tinggi. DImana komitmen terhadap target inflasi telah jelas. Hal ini didukung dengan kelembagaan yang mendukunng akuntabilitas bank sentral dalam pencapaian target inflasi yang telah ditetapkan.
Penerapan Full-fledged Inflation Targetting (FFIT) ini mampu memberdayakan bank sentral dalm menjaga konsistensi kebijakan moneter dalm pengendalian inflasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu.
Contoh; Australia, Selandia Baru, Inggris, Kanada, Norwegia, Brazil, Chile, Korea Selatan, Thailand.
2. Rezim Eclectic Inflation Targetting (EIT)
Pada golongan ini, kebijakan moneter yang diterapkan memiliki kredibilitas yang sangat tinggi, sehingga mampu menjaga tingkat inflai yang rendah dan stabil tanpa harus memaksakan adanya transparansi dan akuntabiilitas secara penuh pada suatu target inflasi tertentu.
Kebijakan moneter yang dilakukan dengan tetap menjaga inflasi yang rendah dan stabil, serta dengan tetap menjaga sistem kestabilan keuangan yang ingin dicapainya telah memungkinkan bank sentral untuk dapat mengupayakan tujuan stabilisasi output dan kestabilan harga secara sekaligus.
Contohnya; Amerika Serikat, Bank Sentral Eropa, Jepang, Swiss, Singapura.
3. Rezim Inflation Targetting Lite (ITL)
Pada golongan ini, tujuan inflasi yang ditetapkan masih memiliki kredibilitas yang lemah, artinya target inflasi yang ditetapkan sulit untuk dijaga. Kredibilitas yang masih rendah ini, menunjukkan bahwa system moneter yang ada masih memiliki tingkat kerentanan terhadap shock (goncangan) yang terjadi dalam perekonomian. Kinerja kelembagaan yang masih rendah (lemah) serta didorong oleh terjadinya transisi di dalam otoritas moneternya, serta reformasi structural yang sedang dilakukan dituding sebagai penyebab rendahnya kredibilitas bank sentral dalam mencapai sasaran inflasinya.
Contohnya; Peru, Venezuela, Uruguay, Philipina, Kroasia, Rumania, Rusia, Srilanka.
Kerangka kebijakan yang mengacu pada target inflasi ini, (Inflation Targettting Framework), memiliki beberapa keunggulan. Mishkin dan Schmidt-Hebel (2001) menjelaskan bahwa, dari bukti empiris yang ada, maka penerapan ITF memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut;
1. ITF telah mampu membantu negara-negara yang menerapkan kerangka kebijakan ini dalam menurunkan tingkat inflasinya (terutama di negara-negara berkembang)
2. ITF telah teruji mampu menghadapi goncangan (shock) dalam perekonomian yang nantinya akan merugikan.
3. ITF telah mampu menurunkan sacrifice ratio dan volatilitas output di negara-negara yang menganutnya ke tingkat yang mendekati kinerja negara-negara maju yang tidak menerapkannya.
4. ITF telah mampu menurunkan dan menggiring ekspektasi inflasi serta menjaga goncangan (shock) terhadap inflasi.
5. Kebijakan moneter berdasar ITF dianggap cukup fleksibel dalam merespon secara simetris terhadap goncangan-goncangan yang mendorong inflasi dan mampu mengakomodasi goncangan-goncangan inflasi yang bersifat temporer sehingga tidak akan terlalu berpegaruh terhadap pencapaian target kebijakan moneter pada jangka menengah.
6. Kebijakan moneter lebih bersifat jelas sehingga lebih berfokus pada pencapaian sasaran tingkat inflasi dan dapat lebih ketat dalam menerapkan kebijakan moneternya.
7. Penerapan ITF dapat memperkuat independensi bank sentral.
8. Serta dengan penerapan ITF dapat pula memperkuat komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas bank sentral.
Dari beberapa keuntungan yang didapatkan dengan diberlakukannya kerangka Inflation Targettting Framework (ITF) diatas, maka kredibilitas Bank Sentral sebagai inflation-fighters, juga patut menjadi suatu perhatian dan keharusan. Dengan menggunakan target inflasi yang stabil sebagai tujuan utama kebijakan moneter, sedangkan yang lainnya merupakan tujuan sekunder, dimana tujuan sekunder tidak boleh mengganggu tujuan utama. Namun, tingkat inflasi yang rendah dan stabil masih menjadi kontroversi dan besarnya tingkat inflasi di setiap negara sulit untuk dikatakan sama (Schmidt-Hebel,2003).
Dengan melihat tantangan yang dihadapi dalam kerangka ITF dalam menjaga sasaran inflasi yang rendah dan stabil, maka saya mencoba untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul tentang “kredibilitas bank indonesia dalam mencapai sasaran inflasi periode januari 2009-januari 2010 (suatu tinjauan deskriptif)”.
II. Kerangka Teori
2.1 Teori Tentang Kredibilitas (Credibility Theory)
Kydland dan Prescott (1977) merupakan salah satu perintis yang penting dalam pembangunan teori kredibilitas kebijakan (theory of policy credibility). Dimana dalam teori ini, diasumsikan bahwa agen bersifat rasional dan melakukan ekspektasi terhadap masa depan dengan menggunakan berbagai informasi. Selanjutnya, kredibilitas digunakan sebagai bentuk penilaian dari kebijakan yang akan diambil.
Secara umum, faktor-faktor yang menimbulkan masalah kredibilitas adalah sebagai berikut;
1. Potensi time inconsistency dari discretionary policy seperti yang ditunjukkan dalam analisis Kydland-Prescott Model
2. Ketidakselarasan kebijakan moneter dan fiscal, yang masing-masing tidak mencapai targetnya.
3. Respons masyarakat terhadap kebijakan, sehingga pembentukan ekspektasinya tidak sama dan bahkan mengutamakan kepentingan sendiri atau memberi tekanan kepada otoritas.
4. Struktur ekonomi dan kemampuan otoritas serta masyarakat untuk memahami perilakunya.
5. Sistem dan kondisi politik yang ada,yang menimbulkan kepentingan kebijakan belum tentu sama dengann kepentingan politik.
Kredibilitas disini merupakan penilaian dari agen ekonomi dalam melihat ekspektasi kebijakan yang dibuat oleh pemegang kebijakan sehingga kebijakan perekonomian dapat bersifat efektif (Blackburn dan Christensen 1989). Namun sayangnya, kredibillitas dari kebijakan yan dilakukan tidak mudah untuk dilakukan.
Isu kredibilitas setidaknya mencakup dua aspek (Warjiyo, handout mata kuliah uang dan bank, 2010), yaitu;
1. Kredibilitas Kebijakan, yaitu seberapa jauh ekspektasi masyarakat terhadap pelaksanaan suatu kebijakan konsisten dengan pernyataan otoritas atas tindakan ke depan atas kebijakan yang dimaksud. Hal ini akan tergantung apakah pelaksanaan kebijakan oleh otoritas akan menyimpang dari pernyataan yang telah dikemukakan sebelumnya, baik karena intervensi pihak pihak lain maupun karena perubahan kinerja ekonomi.
2. Kredibilitas target, yaitu seberapa jauh ekspektasi masyarakat terhadap kemungkinan tercapainya target kebijakan ke depan akan konsisten dengan pengumuman otoritas mengenai pencapaian target dimaksud. Hal ini akna dipengaruhi oleh seberapa tinggi kredibilitas kebijakan serta apakah struktur ekonomi (termasuk respons kebijakan oleh masyarakat) akan memungkinkan tercapainya target yang diumumkan tersebut.
2.2 Teori Kredibilitas Dan Kebijakan Neoliberal (Credibility Theory And Neoliberal Policy)
Pada teori ini dijelaskan bahwa terdapatnya kecepatan program reformasi neoliberal dalam tubuh bank sentral, terutama di negara-negara berkembang. Pada negara-negara yang sebelumnya komunis, kredibilitas masih merupakan debat selama reformasi ekonomi.
Kredibilitas kebijakan dan target juga ditentukan oleh;
(a) Respons masyarakat yang tercermin pada pembentukan ekspektasinya
(b) Pentingnya bagi bank sentral untuk menjaga, dan komitmen terhadap rezim kebijakan yang dirumuskannya dari waktu ke waktu.
Sementara pada negara-negara yang melakukan transisi menuju kapitalisme, kredibilitas kebijakan merupakan isu yang penting dikarenakan revolutionary nature of the societal transformation (Schmieding 1992).
2.3 Social Welfare Function (SWF)
Dengan memformulasikan keinginan bank sentral yang menjaga inflasi dan tingkat pengangguran yang netral, sehingga bank sentral memiliki social welfare function sebagai berikut;
Dari persamaan diatas diketahui bahwa social welfare (dalam hal ini bagi bank sentral) adalah untuk mengurangi pengangguran (u),dan menurunkan tingkat inflasi (). Disini ω/2 merupakan parameter, dimana ω merepresentasikan preferensi dari bank sentral dengan mempertimbangkan trade-off antara pencapaian penurunan pengangguran atau lebih mengacu pada penjagaan nilai inflasi yang rendah. Nilai dikarenakan peningkatan inflasi akan berbahaya bagi perekonomian dan yang nilainya akan lebih besar dari peningkatan proporsional tingkat inflasi.
Dengan mempertimbangkan adanya Philip Curve (tradeoff antara output dan inflasi), maka objective function dari bank sentral untuk mencapai inflasi optimal. akan menjadi;
Dengan mempertimbangkan kebijakan bank sentral yang menggunakan ekspektasi inflasi (expected inflation), yang bersifat forward-looking, dalam menggiring ekspektasi (perilaku) agen ekonomi yang bersifat rational expectation, maka ekspektasi inflasi agen ekonomi akan menjadi;
Karenanya tingkat pengangguran (unemployment rate) akan sama dengan u*, karenanya tingkat social welfare-function menjadi:
2.4 Nilai Kredibilitas Bank Sental (The Value of Central Bank Credibility)
Jika suatu bank sentral memiliki kredibllitas, dimana diandaikan bank sentral mengumumkan tingkat inflasi yang nol. Dan para agen ekonomi pun percaya dengan kredibilitas bank sentral (dimana mereka bersifat rational expectation), karenanya tingkat pengangguran akan menjadi sama dengan u*. Sehingga tingkat social welfare function akan menjadi;
Dengan persamaan diatas, maka inflasi oleh bank sentral akan tetap menjadi π=(1/ωβ). Untuk mengantisipasi perilaku bank sentral maka agen-agen ekonomi juga akan menjadikan target inflasinya menjadi π=(1/ωβ).
Dan saat bank sentral mengumumkan kebijakan zero-inflation policy, dimana πe=0, dan membuat tingkat inflasi menjadi π=(1/ωβ), karenanya;
Karenanya social welfare function akan menjadi;
Karenanya penjagaan reputasi bank sentral terhadap kredibilitas dan konsistensi, dengan penjagaan inflasi yang rendah, mesti dijaga. Begitupun dengan penguatan reputasi dari bank sentral sebagai sebagai pemegang kebijakan yang konsisten, dan dapat dipercaya.
III. Kebijakan Moneter di Indonesia (Januari 2009-Januari 2010)
Dalam UU no.23 tahun 1999 dijelaskan bahwa Bank Indonesia menganut sistem Inflation Targetting Framework (ITF) yang mulai diterapkan sejak tahun 2001, dan melakukan sedikit perubahan menuju Flexible Inflation Targetting Framework (flexible ITF) pada tahun 2005.
Sebagai jawaban atas tantangan perekonomian (khususnya di bidang moneter), maka Bank Indonesia menerapkan Flexible ITF di Indonesia. Hal ini didasarkan pada tiga aspek penting, yakninya;
1. Pencapaian stabilitas harga yang rendah dan stabil tidak bias hanya dilakukan dengan kebijakan moneter dari sisi permintaan, dan karenanya mengharuskan Bank Indonesia untuk berperan aktif mendorong fleksibilitas sisi penawaran.
2. Perlunya sinergi kebijakan untuk stabilitas moneter (harga dan nilai tukar) dengan stabilitas system keuangan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dan mengatasi ekses likuiditas yang berlebihan.
3. Perlunya bauran instrument moneter dan macroprudential untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi moneter dalam mendukung kredibilitas BI-rate sebagai stance kebijakan moneter (sejak Juni 2008, sasaran operasional menjadi suku bunga PUAB overnight).
Dan sebagaimana UU no.23 tahun 2009 dan amandemennya UU no.3 tahun 2004, yang menjelaskan penerapan kerangka kebijakan yang bertujuan menjaga inflasi (Inflation targeting framework), maka semenjak Juli 2005 Indonesia menerapkan kebijakan ITF secara penuh dengan otoritas moneter tertingginya yang berada di tangan Bank Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (Januari, 2010) menyatakan bahwa penerapan ITF telah mampu mengangkat kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia, khususnya dalam menjaga inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter, penguatan kerangka kelembagaan (independensi, akuntabilitas, dan transparansi), kerangka operasional, koordinasi kebijakan, maupun riset dan analisis yang mendukung. Akan tetapi, kinerja pencapaian inflasi yang rendah dan stabil masih belum sesuai harapan sementara biaya operasi moneter relative tinggi.
Tabel perubahan inflasi atas dasar IHK month on month (mom), nilai inflasi atas dasar IHK yoy, PUAB overnight, perubahan base money, dan nilai perubahan ekspektasi konsumen;
sumber; Bank Indonesia
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa antara inflasi atas dasar (mom) dan nilai ekspektasi konsumen masih berada dalam batas wajar (+/- 1%). Karenanya dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas kebijakan moneter di Indonesia melalui instrument kebijakannya, yaitu PUAB overnight dan kebijakan menjadi uang beredar (base money) telah mampu menggiring konsumen ke arah ekspektasi inflasi yang diharapkan oleh bank sentral.
IV. Kesimpulan
Penjagaan kredibilitas Bank Sentral merupakan suatu hal yang mesti dicapai, terutama dalam kerangka Inflation Targetting Framework (ITF). Kredibilitas bank sentral dapat dilihat dari ekpektasi inflasi dan pencapaian inflasi riil yang terjadi. Kredibilitas sendiri dilihat dari bagaimana perilaku agen ekonomi melakukan kebijakan yang akan dilakukannya, dan hal ini terkait dengan pencapaian bank sentral itu sediri.
Ini sesuai dengan Kara (2003), yang menyatakan bahwa kerangka optimal monetary policy hendaknya meperhatikan dua asumsi yang bersifat full commitment solution; Pertama; bank sentral harus melakukan optimisasi komitmen sebagaimana yang ditetapkan pada awalnya dan bersifat konsisten terhadap kebijakan tersebut. Kedua pemegang kebijakan moneter haruslah bersifat kredibel, dimana ekspektasi agen ekonomi sejalan dengan prilaku bank sentral.
Melihat data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan bank Indonesia selama periode Januari 2009 hingga Januari 2010 bahwa bank Indonesia telah kredibel di mata para agen ekonomi. Ini terbukti dengan nilai ekspektasi perubahan harga umum konsumen yang hamper sama dengan nilai perubahan inflasi IHK month on month (mom) yang terjadi, atau masih dalam kisaran (+/- 1%). Karenanya kebijakan bank sentral melalui operasi PUAB overnight-nya dan dalam penjagaan base money-ya pun telah dapat dikatakan kredibel. Karenanya Bank Indonesia telah mampu disebut mencapai tingkat kredibilitas dalam kebijakan dan kredibel dalam menentukan target.
Dan dengan merujuk kepada Carare dan Stone (2003), maka selama periode observasi, dapat dikatakan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia telah mencapai rezim Full-fledged Inflation Targetting (FFIT).
DAFTAR PUSTAKA
Bernanke, B.,dan Mishkin. F.S., (2007), “Inflation Targeting: A New Framework for Monetary Policy?”, Monetary Policy Strategy, The MIT Press,
Cambridge, Massachusetts, USA. Blackburn, K. dan M. Christensen, (1989), “Monetary Policy and Policy Credibility: Theories and Evidence”, Journal of Economic Literature XXVII.
Borrero, Alberto Musalem., (2001), “On the Long and Short of Central Bank Independence, Policy Coordination, and Economic Performance”, IMF Working Paper WP/01/19.
Grabel, Ilene., (1999), The Political Economy of Policy Credibility The New-Nlassical Macroeconomics and The Remaking of Emerging Economies”, Working Paper No. 269.
Kara., A.Hasan., (2003),”Optimal Monetary Policy, Commitmen and Imperfect Credibility”, dissertation.
Mishkin, F. S., dan Schmidt-Hebbel, K. (2001), "One Decade Of Inflation Targeting In The World: What Do We Know And What Do We Need To Know?" NBER Working Paper, 8397.
Schmieding, H., (1992), “Lending Stability to Europe’s Emerging Market Economies”, Tübingen, Germany: J.C.B. Mohr.
Svensson, L. E. O. (2000), “Open Economy Inflation Targeting”, Journal of International Economics 50, 155–83.
Tanuwidjaja, Enrico., dan Choy Keen Meng., (2005), “Central Bank Credibility and Monetary Policy:Evidence from Small Scale Macroeconomic Model of Indonesia”, SCAPE Working Paper No.2005/14.
Taylor, J. B. (2000), “Low Inflation, Pass-Through, and the Pricing Power of Firms,” European Economic Review, 44(7), pp. 1389-1408.
Warjiyo, Perri., (2010), “Time Inconsistency and Credibility of Monetary Policy”, Handout mata kuliah Uang dan Bank pertemuan ke 8, disampaikan pada 12 november 2010.
www.bi.go.id
Comments